Setelah makan malam yang cukup memalukan bagi beberapa orang, suasana perlahan kembali tenang. Denara dan Ande kini duduk di bawah pohon tua di halaman samping rumah, diterangi cahaya bulan dan gemerlap kunang-kunang malam.
Ande sebenarnya sudah berniat pamit sebelumnya, namun dia dihentikan oleh suara Yuyu Kangkang yang memanggil dari depan rumah.
"Aku tidak bisa tinggal disini. Nak, bisakah aku menginap ditempat mu?" Kata Yuyu.
Ande terkejut. Namun mengingat bahwa rumah ini hanya berisi dua perempuan, Klenting Kuning dan Ibunya, memang tidak pantas jika Yuyu Kangkang tinggal.
Jadi Ande mengangguk. "Tentu, Kang."
Nada bicaranya sopan, tapi hangat. Sama seperti Klenting Kuning yang memanggil Yuyu dengan sebutan akrab itu, Ande pun mulai menggunakan panggilan yang sama.
"Terimakasih, Nak. Kalau begitu aku akan membantu Nyonya Klenting dengan sisa kayu sebelum pergi. Tunggu sebentar." Kata Yuyu mengambil kapak, bersiap memotong kayu lagi.
Ande mengangguk pelan, lalu berdiri sejenak sebelum akhirnya memilih duduk kembali di bangku kayu di halaman depan. Malam semakin sunyi, hanya terdengar suara jangkrik dan semilir angin yang melewati dedaunan.
Tak lama kemudian, Denara keluar dari rumah. Melihat Ande sendirian di bawah cahaya remang, dia sempat berhenti di ambang pintu. Namun setelah menarik napas pendek, dia melangkah maju dan duduk di sampingnya.
“Tidak jadi pulang?” tanyanya ringan, berusaha terdengar santai.
Ande menggeleng pelan. “Menunggu Kang Yu,” jawabnya singkat sambil menatap halaman yang tenang.
Denara segera mengerti dalam hitungan detik. Dia mengangguk sebagai jawaban. Angin malam berhembus pelan, membawa keheningan yang mendalam di antara mereka. Beberapa saat berlalu sebelum Denara terlihat ragu-ragu. Tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah Ande, namun cepat berpaling setiap kali mata mereka hampir bertemu.
Ande yang menyadari kegelisahan itu, akhirnya bertanya, “Kenapa?”
“Huh? Tidak… hanya saja…” Denara menunduk, mengusap jemarinya dengan gugup sebelum melanjutkan, “…apa kamu mendengar kabar tentang Pangeran? Maksudku, Ande-Ande Lumut. Apa… dia sudah menikah?”
Suara Denara melemah di akhir kalimatnya, seolah pertanyaan itu terlalu berat untuk diucapkan.
“Aku dengar... belum,” jawab Ande akhirnya, suaranya pelan namun pasti.
“Ya?” Denara menoleh padanya, matanya membulat sedikit, menyiratkan rasa penasaran. Lalu, tanpa sadar, dia mengucapkan sesuatu yang seharusnya tak banyak orang tahu. “Apakah... pangeran sekarang ada di gunung, untuk bersembunyi?”
Ande langsung menegakkan tubuhnya, keningnya mengerut tajam. “Bagaimana kamu tahu?” tanyanya dengan suara lebih rendah. Itu informasi yang seharusnya hanya diketahui oleh beberapa orang. Bahkan Yuyu sepertinya belum mengetahui kabar ini karena baru kembali.
Denara menyadari bahwa ucapannya terlalu jauh. Bahunya menegang, namun dia tak berpaling dari Ande.
“Aku... hanya dengar dari seseorang selama perjalanan,” ujarnya hati-hati, mencoba membuatnya terdengar seremeh mungkin.
Ande menatapnya dalam diam. Tatapannya sulit dibaca, namun tak ada kemarahan di sana. Hanya kehati-hatian. Lalu, dia menghela napas pelan. “Aku tidak tahu keadaan Pangeran. Dia... sepertinya menghilang selama setahun ini.”
Dia memalingkan wajah, menatap langit malam yang tertutup awan tipis. Udara malam membawa hawa dingin, namun keheningan di antara mereka terasa lebih membekukan.
Denara menatap tanah di bawah kakinya, lalu memberanikan diri bicara. “Aku dengar... Pangeran dijebak dalam pernikahan itu. Apa itu benar?”
Ande menegang. Dia tak segera menjawab.
“Entahlah. Aku juga tidak tahu,” ujarnya akhirnya, datar. Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman yang enggan keluar dari bibirnya.
Denara mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Ande mungkin benar-benar bukan pangeran.
Mengingat gerak-gerik, tutur katanya, cara dia memegang sendok, cara dia memperhatikan sekitar. Semuanya terlalu halus untuk pria desa biasa. Sesekali, ada sorot kesepian di matanya... yang membuatnya terlihat seperti seseorang yang menyembunyikan dunia di balik senyumannya.
Namun untuk sekarang, Denara memilih untuk tidak menyelidiki lebih jauh.
Lagipula... bagaimana jika benar dia bertemu sang Pangeran? Dan kemudian, memintanya untuk tidak bunuh diri? Tanpa bukti, tanpa penjelasan. Bukankah dia akan terdengar seperti orang gila?
Denara menghela napas berat. Pikiran itu menekan dadanya, tapi dia menyimpannya rapat-rapat.
Di sisi lain, Ande meliriknya diam-diam. Setelah jeda panjang, dia bertanya pelan.
“Apa kamu menyukai Pangeran... si Ande-ande Lumut itu?”
Suaranya terbawa angin malam, terlalu pelan untuk bisa terdengar jelas.
“Hm?” Denara menoleh sedikit, alisnya mengernyit. “Kamu bilang apa?”
Ande menggeleng. “Tidak. Aku cuma mau bilang... masakanmu tadi enak.”
Dia tersenyum, tapi ada sesuatu di balik senyum itu.
Denara hanya menatapnya sebentar, lalu tersenyum menerima penilaian Ande.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments