"Klenting Kuning..." bisik Ande pelan, seolah sedang mengingat sesuatu. Dia menatap Denara dengan senyum hangat yang tak terduga. "Apa kamu anak dari Nyonya Klenting? Yang tinggal di sudut desa itu?"
"Ya, itu aku," jawab Denara tenang, menjaga ekspresi tetap biasa saja.
Pemuda itu mengerutkan kening. "Aneh... Bukankah orang-orang mengatakan kamu adalah calon istri sang pangeran?"
Kalau sebelumnya Denara sempat curiga, kini rasa curiganya sedikit menguap. Tidak mungkin dia sang pangeran kalau bahkan tidak tahu soal itu.
Denara pun akhirnya menghela nafas lega. Dia tertawa kecil dan menggelengkan kepala.
"Bukan. Kamu mungkin salah dengar," ujarnya ringan. "Aku tidak terpilih. Malahan, aku termasuk salah satu dari para wanita yang ditolak."
Saat ini, dipengaruhi oleh emosi Klenting Kuning, Denara tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengan Ande-ande Lumut atau sang pangeran.
Dalam ingatan Klenting Kuning, Ande-ande Lumut adalah sosok bejat yang menganiaya para wanita. Meskipun dia sempat mendapat kesan baik saat pertama kali bertemu, itu tidak cukup untuk menghapus kesan buruk yang telah tertanam dalam diri Klenting Kuning pada saat itu.
Suasana kembali hening sesaat. Denara tidak menyadari bahwa pemuda di seberangnya mengepalkan tangan erat, rahangnya mengencang seolah menahan sesuatu. Namun saat dia kembali menatap wajah Denara, senyum itu muncul lagi.
Denara melanjutkan mencuci baju, mencoba mengabaikan kehadiran Ande yang masih berdiri di seberang sungai, mengamatinya dalam diam.
"Uh, aku sudah selesai mencuci. Kalau begitu... selamat tinggal?" katanya canggung, berusaha tersenyum.
Ande mengangguk pelan. "Ya," jawabnya dengan senyum lembut.
Denara berdiri sambil membawa pakaian basahnya, tapi tanpa sengaja kakinya menginjak batu licin di tepi sungai. Mungkin karena terlalu lama jongkok, Denara merasa kakinya lemah. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dia melirik ke arah bebatuan tajam di bawah, dan panik mulai menyelimuti wajahnya.
"Aduh—!"
Dia memejamkan mata erat, bersiap menerima rasa sakit. Namun, tak ada yang datang. Tak ada benturan, tak ada luka.
Saat dia membuka mata perlahan, yang dilihatnya adalah wajah Ande begitu dekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya tercekat.
Baru kali ini Denara menyadari... mata pemuda itu luar biasa indah. Dalam dan tajam, seolah bisa menyingkap isi hatinya. Tatapan yang tak hanya melihat, tapi juga mengikat.
Wajah Denara langsung memerah. Selama hidupnya, baik sebagai Denara maupun dalam tubuh Klenting Kuning, dia belum pernah sedekat ini dengan makhluk bernama pria. Kontak fisik seperti ini… mungkin benar-benar yang pertama.
Begitu kesadarannya kembali, dia buru-buru menepuk lengan Ande dengan tangan yang tidak memegang baju. “A-aku… aku baik-baik saja. Terima kasih,” ucapnya tergagap, sambil berusaha mundur.
“Ehem…” Ande ikut salah tingkah. Dia berdehem pelan, lalu membantunya berdiri dengan mantap. “Sama-sama.”
Mereka berjalan sedikit menjauh dari tepian sungai yang licin. Denara masih menunduk, berusaha menenangkan detak jantungnya yang belum juga normal. Namun kemudian, dia melirik ke arah Ande, tatapannya penuh rasa ingin tahu.
Bagaimana dia bisa menolongku? Jelas tadi kami berjarak tiga meter...
Mungkin menyadari sorot matanya yang panas, Ande berpaling ke arah lain, tidak sanggup menerima tatapan itu
"Itu..." Denara membuka suara, masih bingung, "...aku benar-benar berterima kasih. Kalau kamu membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk datang padaku. Selama aku bisa membantu, aku akan melakukannya."
Ande menggelengkan kepala. "Itu hanya bantuan kecil, tidak masalah."
"Tidak, aku benar-benar harus membalasnya," kata Denara mantap. "Begini saja... datanglah ke rumahku nanti malam? Aku akan memasak untukmu."
"Tidak perlu..." Ande kembali menolak.
Namun Denara segera memotong, "Tidak. Jangan menolak. Aku memaksa."
Sama seperti Klenting Kuning yang sempat memiliki kesan baik saat pertama kali melihat Ande-ande Lumut, Denara pun merasakan hal yang sama sekarang. Karena itu, dia ingin menghabiskan sedikit lebih banyak waktu bersama pria ini.
Ande terdiam sejenak. Dia menghela napas lalu mengangguk. "Kalau begitu, aku akan merepotkan."
Denara tersenyum. "Tidak merepotkan sama sekali, sungguh. Kalau begitu... sampai nanti."
Dia melambaikan tangan, lalu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Ande yang masih memandangi punggungnya.
Dia pun berjalan perlahan menuju rumahnya, meninggalkan Ande yang masih berdiri di tepi sungai, mengamatinya dalam diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments