awal yang baru

Tak terasa setahun sudah berlalu. Setahun Gading kembali ke Bandung, meninggalkanku di sini dengan hati yang hampa akan kehadirannya.  Aku yang dulu sangat menutup diri dari dunia luar, kini telah mampu beradaptasi. Wajahku yang dulu tak pernah tersentuh makeup dan skincare, kini jauh lebih cerah, jerawat pun telah hilang.

Suatu hari, tepatnya saat aku memiliki janji makan malam dengan keluarga baru Ayah, aku pergi ke Revive Resto.  Aku mengenakan dress overall khaki panjang berkancing depan, dipadukan dengan inner putih polos dan hijab putih. Dress ini memiliki ikat pinggang dan potongan rok yang sedikit melebar di bagian bawah, memberikan kesan yang anggun dan sederhana.

Di tengah keheningan makan malam, Ayah tiba-tiba mengutarakan sesuatu yang membuatku canggung.  "Besok kamu ikut Ayah ke Bandung," katanya, sebelum memasukkan sepotong daging ke mulut.  Aku yang sedang mengunyah, langsung berhenti dan menatapnya bingung. "Lah? Ngapain, Yah?" tanyaku.

"Kamu ikut Ayah, kerja sambil kuliah saja," jawabnya. Mendengar itu, nafsu makanku langsung hilang.

"Anu, Kak... Ayahmu ini cemas. Bagaimanapun juga, kamu anak gadisnya satu-satunya, Kak," timpal Tante Ani, ibu tiriku.

"Bacot banget sih anjing." batinku.

"Ayah sudah izin sama mamamu... Katanya ikut saja. Jangan kau repotkan lagi mamamu itu. Dari kecil sampai sekarang, kau tak pernah bisa membuatnya bahagia." Ucap ayah dengan nada dingin.

Aku mengepalkan tangan, amarah membakar dadaku. Dengan kasar, aku membanting sendok ke piring, suaranya berdenting nyaring di ruangan yang tiba-tiba terasa sesak. Tanpa banyak bicara, aku meraih tasku dan melangkah pergi.

Tiba-tiba, tangan mungil Shiva, adik tiriku, mencengkeram pergelangan tanganku dengan lembut.

"Kakak... jangan pergi. Aku masih kangen," ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca.

Dengan berat hati, aku melepaskan genggaman tangan mungilnya. Shiva menatapku dengan mata berkaca-kaca, tapi aku tetap melangkah pergi, dingin dan tanpa kata.

"Mey memang begitu ya, Kanda? Gak ada sopan santun sama sekali," suara sindiran Tante Ani terdengar tajam, menusuk seperti belati.

Ayah hanya diam, tapi aku bisa merasakan tatapannya semakin dingin,semakin muak.

"Pasti karena terlalu sering bergaul dengan teman-teman disabilitasnya itu," lanjut Tante Ani, suaranya penuh ejekan.

"Sudahlah... ayo, Shiva." Ayah langsung menggendongnya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Sementara itu, amarah masih membakar dadaku. Aku menyalakan motor dan melajukannya dengan kecepatan tinggi, seolah ingin melarikan diri dari semua yang menyakitiku.

Angin menerpa wajahku, tetapi aku tak peduli. Aku terus menambah kecepatan, hingga tanpa sadar, aku tiba di tengah rel kereta.

Saat hendak melaju lagi, motorku tiba-tiba mogok. Aku mencoba menyalakannya berulang kali, tetapi mesin itu mati total. Panik mulai merayapi tubuhku.

Lalu, sesuatu yang lebih buruk terjadi—kakiku tersangkut di sela rel. Aku berusaha menariknya, mencengkeram lututku dengan tangan gemetar. Namun, semakin aku mencoba, semakin panik aku dibuatnya.

Dari kejauhan, suara gemuruh mulai terdengar. Lampu besar menyala terang di depanku. Kereta itu semakin dekat.

"Ya Allah... apakah ini akhir hidupku?" gumamku lirih, napasku memburu. Aku terus berusaha, menarik kakiku sekuat tenaga, tapi tak ada hasil.

Jarak kereta kian menyempit. Nafasku tercekat. Aku menutup mata, menyerah pada takdir buruk yang terasa begitu dekat.

Lalu, tiba-tiba "AWAS!!"

Aku di dorong ke sisi rel, kepalaku terbentur keras di aspal dan kesadaranku perlahan memudar.

Apakah aku sudah mati? Apakah ini surga? Apakah aku benar-benar sudah tiada?

Di antara kesadaran yang memudar, samar-samar aku mendengar suara seorang laki-laki.

"hei.. kamu gapapa?"

Suara itu semakin jauh… hingga akhirnya semuanya menjadi gelap.

Entah berapa lama aku pingsan. Saat kesadaranku perlahan kembali, aku merasakan kelembutan di bawah tubuhku. Perlahan, aku membuka mata.

Aku berada di sebuah kamar yang luas dengan pencahayaan hangat. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu-lampu kecil yang tertanam rapi. Dinding bercorak beton ekspos memberi kesan modern dan mewah, sementara lantai marmer dingin terasa kontras dengan kehangatan selimut yang menyelimutiku.

Kasur ini begitu empuk, seolah menenggelamkanku dalam kenyamanan. Di sudut ruangan, tanaman hijau menambah kesan alami. Sebuah jendela besar terbuka sedikit, membiarkan angin laut masuk, menggoyangkan tirai tipis yang menjuntai indah. Dari kejauhan, aku bisa melihat lautan yang membentang luas di bawah langit senja.

Aku mencoba bangkit, tapi kepalaku terasa berat. Dadaku naik turun dengan napas tersengal.

Aku mencoba mengingat sesuatu… apa pun… tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan.

Aku mengerutkan kening, jantungku mulai berdebar panik.

Suara langkah kaki terdengar mendekati pintu kamar. Aku menegang, rasa takut merayap di tubuhku saat gagang pintu berputar perlahan.

Seorang laki-laki tinggi, sekitar 184 cm, masuk ke dalam. Tatapannya ramah, dan senyum kecil di wajahnya memberikan kesan menghangatkan, seolah dia bukan orang yang perlu kucurigai.

"Eh, kamu sudah bangun?" tanyanya ringan.

Aku menatapnya dengan kebingungan.

"Hah? Kamu siapa?"

Dia tertawa kecil sebelum menjawab, "Namaku Rei Shota. Panggil saja Rei. Kamu sudah koma selama sebelas hari akibat kecelakaan di rel kereta itu. Untungnya, aku datang tepat waktu, jadi kamu nggak tertabrak."

"Kecelakaan...?" Aku mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu.

"Iya," katanya dengan nada santai. "Oh iya, namamu siapa? Dan kamu tinggal di mana? Biar aku antar pulang."

Aku membuka mulut, mencoba menjawab. "Namaku..."

Tapi, tiba-tiba, rasa sakit luar biasa menusuk kepalaku. Aku menggenggam sisi tempat tidur, napasku memburu.

Semuanya kosong.

Siapa aku?

Di mana aku?

Apa yang terjadi denganku?

Aku meringis, tubuhku gemetar karena sakit yang menyerang otakku. Rei yang melihat itu segera beranjak keluar, memanggil dokter pribadinya.

Tak berapa lama, dokter keluar dari kamar, dan Rei langsung menyergapnya dengan pertanyaan.

"Apa yang terjadi, Dok?"

Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Dia kehilangan ingatannya sepenuhnya."

Rei terdiam sejenak. Tatapannya berubah dingin saat melihat ke arah kamar.

"Oh, baguslah kalau begitu," gumamnya pelan.

Setelah dokter pergi, dia kembali masuk dan mendekat ke tempat tidurku.

"Bagaimana keadaanmu? Dokter bilang kamu amnesia."

Aku menatapnya, masih dengan kebingungan yang sama.

"Ahh, iya juga. Pasti sekarang kamu bingung, ya..." Rei menatapku sejenak, lalu tersenyum seolah menemukan ide. "Hmm, karena kamu lupa namamu... bagaimana kalau sekarang aku panggil kamu Melly?"

Aku diam, memalingkan wajah ke arah jendela. Langit senja mulai meredup, berganti dengan warna keemasan yang perlahan ditelan gelapnya malam. Angin lembut berbisik melewati celah jendela, membawa ketenangan yang aneh di tengah kekacauan pikiranku.

"Melly?" Aku mengulanginya pelan, membiarkan nama itu menggantung di udara. Bibirku sedikit melengkung. "Nama yang indah..." bisikku lembut.

Untuk pertama kalinya sejak aku sadar, ada sesuatu yang terasa... sedikit familiar. Atau mungkin, aku hanya ingin mempercayainya.

"Ah iya, kamu pasti lapar. Pelayanku sudah menyiapkan makan malam. Gimana kalau kita makan sekarang saja?" tawar Rei dengan senyum ramah.

Aku hanya mengangguk, tapi saat mencoba bangun, tubuhku terasa lemas. Aku menatap kakiku yang diam tak bergerak.

"Aku... aku tidak bisa menggerakkan kakiku," ucapku panik.

Rei menatapku tenang. "Itu wajar. Orang yang baru bangun dari koma sering mengalami kelumpuhan sementara. Tubuhmu butuh waktu untuk beradaptasi."

Dia mendekat dan membuka selimutku. Aku menatapnya dengan bingung.

"Permisi ya..." ucapnya sebelum mengangkat tubuhku dengan mudah.

"Eh!?" Aku terkejut, tatapanku terkunci ke arahnya. Jantungku berdebar, tapi dia hanya berjalan santai seolah ini bukan hal besar.

"Ayo, kita makan."

Dia membawaku ke ruang makan. Mataku melebar saat melihat meja yang penuh dengan berbagai makanan lezat.

Ada sepiring besar udang panggang keju yang tersusun melingkar dengan warna keemasan menggoda. Tepat di sampingnya, ada ayam goreng renyah dalam keranjang anyaman, lengkap dengan saus cocolan. Tak jauh dari situ, sepiring steak daging panggang disajikan bersama tomat bakar dan sayuran hijau.

Aku melihat sepiring spaghetti dengan saus merah menggoda, dihiasi potongan paprika dan tomat ceri. Di sisi lain, ada ayam panggang dengan kulit kecokelatan mengilap karena saus madu. Nasi goreng nanas tersaji di tengah meja dengan taburan kacang hijau dan potongan nanas segar.

Di antara makanan utama, ada juga camilan menggoda: daging sapi gulung asparagus, telur isi dengan topping olive hitam, dan sepiring buah segar seperti semangka merah yang dipotong rapi. Tak lupa, makanan penutup berupa yogurt dengan taburan blueberry dan irisan mangga.

Beberapa gelas minuman merah disusun rapi, tampak menyegarkan.

Rei menurunkanku ke salah satu kursi dengan hati-hati, lalu duduk di sebelahku.

"Aku nggak tahu selera makanmu… semoga kamu suka dengan pilihanku, ya. Oh iya, makan ramai-ramai nggak masalah kan?" tanyanya dengan nada lembut.

Aku mengangguk pelan. "Iya, nggak apa-apa."

Tak lama kemudian, beberapa orang masuk ke ruang makan—koki, tiga pelayan, dokter pribadi, dan supir. Mereka semua mengambil tempat di kursi kosong yang tersedia, menciptakan suasana makan malam yang hangat dan penuh kebersamaan.

Namun, di sisi lain dunia, duka sedang melanda…

---

Sholat jenazah baru saja selesai dilakukan. Ruangan itu dipenuhi isak tangis, dan aroma dupa yang membaur dengan kesedihan. Mama dan ayah menangis tersedu-sedu, meratap di depan peti yang telah tertutup rapat.

"Mey… kenapa kamu pergi secepat ini, Nak…?" Suara mama parau, seakan seluruh jiwanya terkoyak. "Mama minta maaf… Mama minta maaf sudah bikin kamu sedih… Mama salah, Nak…"

Ibu tiriku mencoba menenangkan, tapi kehadirannya hanya menyulut api di hati mama.

"Mbak, sabar ya…" bujuknya lembut.

Namun, mama menoleh dengan tatapan penuh kebencian. "DIAM KAU!! ASU KAU!! KARENA KAU, ANAKKU MATI! IBLIS KAU!" Suaranya pecah di antara isakan.

Ketegangan meledak. Ayah hanya bisa menunduk, sementara suasana berubah semakin pilu. Tangisan keluarga membanjiri ruangan, seakan kesedihan ini tidak akan pernah berakhir.

Di antara mereka, Roland dan Zaky berdiri kaku. Mata mereka membengkak karena menangis, bibir bergetar tanpa kata.

"Mey…" bisik Zaky, suaranya penuh keputusasaan. "Ini nggak mungkin… Ini nggak mungkin…"

Roland menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, tapi gagal. "Dia nggak bisa pergi secepat ini… Nggak seperti ini…"

Namun, yang terbujur di depan mereka hanyalah jenazah tanpa bentuk, tubuh yang tak lagi utuh, seolah menjadi bukti bahwa aku memang sudah mati tertabrak kereta, meskipun sebenarnya aku ada di tempat lain dan tidak mengingat siapa keluargaku.. dan siapa orang yang amat ku cintai.

Berita kematianku sampai ke telinga gading. Ia lemas mendengarnya dan akhirnya tidak fokus belajar

Namun, yang terbaring di hadapan mereka hanyalah jenazah tanpa bentuk, tubuh yang tak lagi utuh sebuah bukti nyata bahwa aku memang telah tiada, tertabrak kereta. Padahal, di suatu tempat, aku masih hidup, meski tanpa ingatan tentang siapa keluargaku atau siapa orang yang paling aku cintai.

Berita kematianku akhirnya sampai ke telinga Gading. Seketika tubuhnya melemas, matanya kosong menatap layar ponsel yang menampilkan kabar duka. Nafasnya tersengal, pikirannya kacau. Sejak saat itu, ia tak lagi bisa fokus belajar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!