Beberapa bulan sudah berlalu, seluruh murid di SMK Ma'arif Khusnul Khatimah sibuk belajar dan memperbaiki nilai karena ujian tinggal tiga hari lagi.
"Wi, lihat catatan Bahasa Inggris lu," ucap Gading tergesa-gesa saat memasuki kelas, bahkan tasnya pun belum sempat ia buka.
"Hm? Lagi dipinjam Naura," jawabku santai tanpa mengalihkan pandangan dari novel yang sedang kubaca.
"Ok, gua pinjam ya, Wi." Ia meletakkan tasnya sembarangan, lalu langsung menghampiri Naura.
"Oi, Nau, pinjam buku Bahasa Inggrisnya Dwi," panggil Gading santai, tapi cukup keras agar terdengar.
"Ih, bentar loh! Aku duluan!" Naura tampak terburu-buru menyalin catatan di bukuku.
Gading menghela napas panjang, sedikit kesal. "Napa nada bicara lu tiba-tiba mirip Dwi dah?"
Alih-alih menyerahkan buku, Naura malah tetap kekeuh menahannya, tidak peduli apakah buku itu akan robek atau rusak.
Sementara itu, seperti biasa, aku membuka tas milik Gading untuk memeriksa kelengkapan buku dan alat tulisnya. Kebiasaan kecil yang tanpa kusadari sudah menjadi bagian dari keseharianku.
Namun, fokusku teralihkan ketika melihatnya bersama Naura.
Dari sudut mataku, Naura tampak memeluk Gading erat dan Gading pun membalas pelukannya.
Sesuatu terasa menusuk di dalam dadaku. Meski aku tahu perasaanku padanya tidak lebih dari sekadar teman, tetap saja... rasanya menyakitkan.
Perlahan, aku menutup novelku, memasukkannya ke dalam tas, lalu bangkit dan berjalan keluar tanpa mengatakan apa-apa.
Yang tidak kuketahui adalah… mereka sebenarnya hanya sedang berebut buku, dan pelukan itu terjadi tanpa sengaja.
Gading yang menyadari kesalahpahaman ini langsung mendorong Naura menjauh dan berlari keluar kelas untuk mengejarku.
Namun, saat ia keluar, aku sudah tidak terlihat lagi.
Tepat saat ia berbalik, sebuah pukulan mendarat di wajahnya.
"Awh! Apa sih, Mel?!" serunya kesal sambil memegangi pipinya.
Amel menatapnya tajam, ekspresinya penuh amarah. "Sakit, kan?! Bagus! Biar lo tau sedikit rasanya sakit yang Dwi rasain!"
Gading menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Dwi kenapa?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
"Dia ngeliat lo berpelukan sama Naura, tolol!" Amel mendesis kesal. "Lo pikir dia nggak bakal sakit hati?!"
Gading terdiam. Dada yang tadi terasa sesak karena berlari kini terasa lebih berat.
"Dia nggak bilang apa-apa, kan?" gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.
Amel menggeleng. "Nggak. Tapi dari cara dia pergi… dia kecewa banget."
Gading mengepalkan tangannya, lalu mendongak ke langit-langit, berusaha menenangkan pikirannya.
"Gue harus jelasin ke dia."
Amel hanya mendengus. "Terserah." Lalu ia pergi, meninggalkannya dengan kesal.
Namun, sebelum Gading sempat melangkah lebih jauh, sebuah tangan mencengkeram lengannya dari belakang.
Ia menoleh dan terkejut mendapati papanya berdiri di sana, ekspresinya tenang tapi tegas.
"Kenapa, Pah?" tanyanya bingung.
"Kamu mau ke mana?" suara papanya terdengar datar, tapi penuh arti.
"Ini… gua mau kejar Dwi, Pah…"
"Oh…" Papanya mengangguk pelan. "Jangan lama-lama. Papa mau kasih tahu sesuatu."
Gading mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. "Apa?"
Papanya menghela napas sebelum berkata, "Besok kita kembali ke Bandung. Surat pindah sekolahmu sudah Papa urus. Siapkan barang-barangmu."
Seketika, dunia Gading terasa berhenti berputar.
"Pindah?" suaranya hampir tidak terdengar.
"Iya. Pamitan saja sama teman-temanmu, termasuk Dwi," tambah papanya tanpa memberikan ruang untuk penolakan.
Gading menundukkan wajahnya. "Gua masih mau di sini, Pah… Dwi nggak bisa tanpa gua."
Mamanya, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya lembut, tapi tajam menusuk.
"Kakak nggak boleh egois. Kalau kakak terus-terusan di sini hanya untuk menjaga Dwi, kapan kakak bisa memikirkan masa depan yang lebih baik? Setelah lulus, kakak akan langsung ambil alih jabatan Papa. Itu sudah keputusan keluarga."
Gading mengepalkan tangannya. "Itu… baik, Pah… Ma…" ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak punya pilihan.
Namun, sesuatu terlintas di pikirannya. "Eh, tapi Pah… ujian sisa tiga hari lagi," Gading menatap papanya penuh harap.
Papanya menatapnya sekilas, lalu menjawab tanpa ragu, "Iya, kamu ujian online saja."
Pupus sudah harapannya untuk tetap di sini. Tapi setelah berpikir lebih jauh… orang tuanya ada benarnya juga.
Dwi nggak mungkin hanya makan cinta. Dia butuh kesiapan mental dan finansial. Untuk itu, Gading harus maju, bukan?
"Baik, Pah… kita balik ke Bandung," ucapnya, lebih mantap dari sebelumnya.
Ia mengulurkan tangannya. "Boleh minta kartu rekeningku?"
Papanya membuka dompet tebalnya, mengambil kartu ATM Mandiri milik Gading yang terselip di antara kartu-kartu lainnya.
"Yaudah, hati-hati," katanya sambil menyerahkan kartu itu.
Gading menggenggam kartu tersebut erat. Orang tuanya pergi, meninggalkan dirinya dengan seribu pikiran yang melayang di kepalanya.
Mungkin… ini bukan akhir. Mungkin, ini awal dari sesuatu yang lebih besar.
Pandangannya teralihkan ke aku yang berjalan kembali ke kelas bersama Ayu.
"Nanti malam lah aku ke rumahmu… ajak Siti juga tuh, ntar dia ngambek lagi," kataku pada Ayu.
"Iya, lihat nanti malam aja deh. Tau sendiri Mama kayak gimana… semenjak sakit jadi sensitif banget."
Dering ponsel Ayu tiba-tiba berbunyi. Ia mengangkatnya setelah berkata, "Eh, sebentar ya, Dwi."
Aku mengangguk dan melanjutkan langkahku kembali ke kelas.
Begitu duduk, tanganku meraba kantong jaket, memastikan benda kecil yang tadi kubeli masih ada di sana. Aku mengeluarkan dua gantungan kunci berbentuk beruang salah satunya putih dengan dasi kupu-kupu hitam, yang satunya cokelat dengan syal lembut melilit lehernya. Keduanya tampak tersenyum, seakan saling melengkapi.
Senyum kecil tersungging di bibirku.
Tanpa pikir panjang, aku membuka tas Gading yang tersampir di kursinya dan memasangkan gantungan kunci putih itu ke resletingnya. Lalu, aku memasangkan yang cokelat ke tasku sendiri.
Sesederhana ini… tapi entah kenapa, aku merasa tenang. Seakan ada bagian kecil dari aku dan Gading yang kini saling terhubung.
Langkah kaki terdengar dari koridor kelas. Aku menoleh dan mendapati Gading masuk ke kelas dengan terburu-buru.
"Guru bilang hari ini rapat, jadi kita sekelas dipulangkan," ucap Gabriel dengan nada dingin dari belakang Gading. Ia juga baru masuk ke kelas.
"Wih, pulang bareng gua la- eh… gantungan kunci ini lu yang kasih?" tanya Gading, matanya langsung tertuju pada resleting tasnya.
Aku mengangguk pelan. "Iya… sebagai hadiah karena kamu rajin belajar aja sih," jawabku santai.
"Sumpah, Wi… makasih, loh…" Gading terus memandangi gantungan kunci itu seolah-olah benda kecil itu adalah permata langka yang sulit ditemukan.
"Ciee, Ayah Bunda sudah baikan, nih!" goda salah satu teman sekelas.
Yang lain pun ikut tertawa, membuat suasana kelas jadi riuh.
"Apa sih! Berisik tahu nggak!" bentakku kesal.
Tapi bukannya diam, mereka malah tertawa lebih keras melihat reaksiku.
"Sudahlah! Aku mau pulang!" Aku segera mengenakan tasku lalu berjalan keluar kelas.
"Eh, Wi! Tungguin gua!" Gading buru-buru mengambil tasnya lalu mengejarku.
Di parkiran, sikap Gading membuatku sedikit bingung.
Tanpa banyak bicara, ia mengambil helm cadangannya dan memasangkannya ke kepalaku. Aku sempat terdiam.
Padahal, Gibran pernah bilang kalau Gading paling tidak suka ada orang lain yang memakai helm milik adiknya. Tapi sekarang… ia sendiri yang memakaikannya untukku.
Helm itu pas di kepalaku, tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil.
Bahkan, ia membantuku menguncikannya agar tidak lepas terkena angin.
Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Ada sesuatu yang terasa berbeda, tapi aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.
"Napa lu, Wi?" tanyanya bingung, menatapku lekat-lekat.
"Gapapa, Aniki… yaudah, ayo berangkat," jawabku tanpa menatapnya.
Aniki adalah panggilan khusus yang kuberikan untuk Gading, sesuatu yang hanya aku yang menyebutnya begitu. Sementara dia? Biasanya memanggilku Wi, Jawir, atau kalau sedang usil, Kurcaci.
Gading memundurkan motornya dengan hati-hati, lalu membuka pijakan kaki untukku.
Aku sempat terdiam.
Belum pernah ada yang melakukan ini untukku, bahkan ayahku sendiri. Hal kecil, tapi entah kenapa terasa begitu berarti. Dari sini, aku semakin yakin.
Aku harus memulai duluan.
Aku harus membulatkan tekad untuk menembaknya.
Mungkin terdengar aneh jika seorang perempuan yang lebih dulu menyatakan perasaan, tapi… aku tidak peduli.
Aku naik ke motornya, dan tanpa banyak bicara, Gading langsung melajukan kendaraannya.
Namun, bukannya menuju rumah, ia malah membawaku ke Ramayana.
Aku menatapnya heran. "Kita ke sini buat apa?"
Gading hanya tersenyum kecil tanpa menjawab, membuatku semakin penasaran.
"Kita ke Timezone, ya, Wi!" Gading tiba-tiba menarik tanganku dan membawaku menaiki eskalator tanpa menunggu persetujuanku.
Aku terdiam sejenak. Setelah kupikir-pikir, memang sudah lama aku tidak bermain di Timezone. Terakhir kali mungkin saat SD.
"Wi, lu ngelamun mulu," tegurnya sambil melirikku.
"Ah, enggak… udah dekat tuh," jawabku buru-buru. Langkah kami pun seirama melewati ujung eskalator.
"Kamu nggak takut uangmu habis? Di sini mahal-mahal, loh. Split bill aja, ya?" tanyaku sambil menatapnya.
Gading malah terkekeh. "Dih, dikira gue miskin banget, kali… padahal iya."
Aku melotot kesal. "Aniki minta ditabok!"
Gading tertawa kecil sebelum akhirnya kami sampai di Timezone. Ia langsung berjalan ke konter penukaran dan menukarkan uangnya dengan koin Timezone. Setelah kembali, ia menatapku penuh semangat.
"Gue capit boneka buat lu, Wi," ujarnya dengan percaya diri.
"Serius?" tanyaku ragu.
"Yakinlah! Pili
h, Wi. Gue tunjukin keahlian gue!" katanya dengan pen
uh percaya diri.
Aku mendengus kecil. "Idih, pede banget… Hmm, aku mau yang itu, boneka kelinci yang imut!" Aku menunjuk ke arah boneka kelinci putih berbulu lembut yang mengenakan aksesori lucu.
"Ok, sip. Bentar ya." Gading memasukkan koinnya ke mesin, menggerakkan pedal dengan hati-hati.
"Ayo dikit lagi… geser dikit lagi, Aniki!" seruku antusias.
"Bentar, Wi… Oke!" Ia menekan tombolnya dengan penuh keyakinan.
Namun, boneka kelinci itu jatuh tepat sebelum mencapai lubang hadiah.
"Ahh! Dikit lagi!" Aku refleks berteriak kecewa.
Gading hanya terkekeh, lalu mencubit pipiku gemas. "Sabar, Wi. Lihat aja, gua bakal bawa pulang boneka itu buat lu." Ia memasukkan koin kedua dengan senyum percaya diri.
"Wajib, pokoknya!" Aku tersenyum melihat keseriusannya. Mataku tertuju pada tangannya yang dengan cekatan mengontrol tuas.
Untuk kedua kalinya, ia menekan tombolnya. Capit turun perlahan, menggenggam boneka itu dengan lebih kuat.
"Ayo… ayo… ayo!!" Aku menahan napas.
"DAAAAPAT!!" seruku girang saat boneka itu akhirnya jatuh ke lubang hadiah.
"Dapat, Wi!" Gading bersorak.
Tanpa sadar, aku langsung memeluknya erat.
"Wi? Lu sehat?" tanyanya terkejut.
Aku segera melepas pelukan itu, wajahku memanas. "Maaf… aku kelepasan."
Tapi sebelum aku bisa mundur, Gading malah menarik ku ke dalam pelukannya lagi.
"Tetap kayak gini ya, Wi… gua suka liat lu ceria kayak gini," bisiknya lembut.
Ia mengambil boneka itu dan menyerahkannya padaku. "Jaga baik-baik, Wi." Senyumnya hangat, menatapku dengan penuh makna.
"Makasih, Aniki." Aku memeluk boneka itu erat.
Apa aku jujur sekarang aja ya? batinku.
"Iya, Wi… Btw, lu jinjit?" godanya tiba-tiba.
Aku memanyunkan bibir. "Kamu aja tuh yang tiang!"
Gading hanya tertawa kecil. "Iya, iya, maaf. Yaudah, ayo gua antar pulang."
Kami berjalan menuju parkiran, tapi sebelum naik motor, ia menyodorkan kantong plastik besar berisi koin.
"Nah, dengerin gua. Ini sisa koinnya masih banyak. Sengaja gua beli banyak biar lu bisa main di sini terus. Simpan ya," katanya serius.
Aku hanya mengangguk dan menerimanya. Kenapa dia tiba-tiba baik banget?
---
Setelah perjalanan panjang, akhirnya aku sampai di rumah.
"Makasih ya buat hari ini…" ucapku sambil berusaha melepas helm.
"Santai aja, Wi," katanya ringan, lalu dengan cekatan membantu melepaskan helmku yang tersangkut.
"Oh iya, Aniki… aku boleh ngomong sesuatu nggak?" tanyaku serius.
Namun, Gading tiba-tiba memotong, "Eh, bentar, Wi… gua mau jujur dulu."
Aku mengernyit. "Yaudah, Aniki duluan."
Ia menarik napas dalam, lalu menunduk sedikit. "Jadi gini, Wi… gua mau balik ke Bandung. Besok subuh gua udah harus berangkat ke bandara… Maaf ya, gua nggak bisa nemenin lu lagi."
Aku terdiam. Kok tiba-tiba banget?
"Iya, Papa ada urusan kerjaan mendadak. Jadi kita harus pulang," lanjutnya pelan.
Hatiku mencelos. Harapanku untuk mengajaknya pacaran seketika pupus.
Air mata yang kutahan mulai jatuh satu per satu. Aku mencoba menahannya, tapi sia-sia.
"Eh, Wi… jangan nangis. Maafin gua," katanya panik, berusaha menghapus air mataku.
"Aniki bakalan pergi… aku sendirian," suaraku lirih dan serak.
Gading menggenggam tanganku erat. "Maaf, Wi… gua janji, tunggu gua sukses, gua cari lu lagi. Tungguin gua ya."
Aku menggigit bibir, berusaha menahan isakan. "Sering-sering kabarin aku, ya?"
Ia mengangguk pelan, menatapku dalam-dalam sebelum akhirnya pergi.
Aku menunduk, menahan air mata yang terus jatuh.
"Aniki… aku menyukaimu… tapi sebelum aku sempat jujur, kau sudah pergi…" gumamku pelan.
Yang kutahu… dia benar-benar pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Gaara
Waduh, aku ikutan deg-degan baca nya. 😱😍
2025-03-26
1