Sesampainya di kelas, aku duduk di kursiku dan menutup wajah dengan novel, berharap bisa menghindari percakapan yang tak kuinginkan.
Namun, Gading menghampiriku lagi. "Lu gapapa, Wi?" tanyanya, suaranya terdengar ragu.
"Maksudnya?" jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari buku.
"Ya... tadi malam gue mau ke rumah lu, cas HP gue ketinggalan. Terus, gue denger lu dimarahin cowok gitu," ucapnya sambil menyingkirkan novel dari wajahku.
Aku terdiam. Benar juga, tadi malam Ayah datang saat Mama tak di rumah.
Mendengar nilaiku yang mulai turun, kemarahannya meledak tanpa ampun.
Aku mengeratkan genggaman pada novel di tanganku.
Ayah memukulku seolah aku adalah lawan bertarungnya. Tangannya berat, penuh amarah, seakan ingin menghancurkan ku hanya karena aku mengecewakannya. Aku mencoba menghindar, tapi tubuhku lemah. aku hanya bisa menahan sakit, menunggu semuanya berlalu.
Tapi itu hanya ingatan. Bayangan yang masih melekat di kepalaku, membisikkan ketakutan yang belum usai.
Aku menghela napas pelan, berusaha mengusir kenangan itu. "Gak ada apa-apa," gumamku akhirnya, mencoba meyakinkan Gading atau mungkin diriku sendiri.
"Cerita aja, Wi... Gua denger kok." Kata-katanya terasa menyentuh hati.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali ada orang yang benar-benar menanyakan keadaanku...
Aku mengalihkan pandangan, menekan perasaan yang mulai menghangat. "Kita baru kenal. Ga usah ikut campur, bisa ga sih?" Tanpa menunggu jawaban, aku langsung beranjak keluar kelas, meninggalkan Gading begitu saja.
Di belakang sekolah, aku duduk di sudut yang sepi. Hanya di tempat ini aku bisa sendiri, merasa tenang meskipun hanya sesaat.
"Kenapa sih... hidupku gini amat?" gumamku, menahan isak.
Suara langkah mendekat. Aku menoleh dan mendapati Gading berdiri di depanku, mengulurkan secarik tisu. "Lu jauh dari Tuhan, Wi."
Aku mendengus. "Berisik. Aku doa terus minta nikah, tapi ga nikah-nikah. Malah cowok pada takut semua sama aku." Aku merebut tisu itu dan mengusap air mataku.
Gading mengernyit. "Kenapa lu pengen nikah?"
Aku menghela napas berat. "Kalau udah nikah, aku bisa lepas dari keluarga itu. Aku bebas. Ga ada aturan konyol mereka lagi, ga ada yang caci maki aku, ga ada yang bully aku, ga ada ya-"
Tiba-tiba, tubuhku ditarik ke dalam pelukan. Erat.
"Gua paham, Wi... Berat banget ya hidup lu..." Suaranya terdengar pelan di dekat telingaku, tangannya mengelus rambutku lembut. "Ini baru bagian kecil. Kalau lu ngerasain tiap hari... pasti lu ngerasa bukan anak mereka, kan?"
Dadaku terasa sesak. Pelukannya hangat, tapi juga menyesakkan.
"Apaan sih! Lepas ga!" Aku meronta, tapi dia tetap menahan ku.
"Gua janji... gua bakal jaga lu, Wi."
Aku terdiam.
Entah kenapa, aku ingin percaya pada kata-katanya.
"Lu mau ga jadi pacar gua?" tanyanya tiba-tiba, serius.
Aku mendengus. "Aku ga mau pacaran."
Dia tersenyum kecil. "Nikahnya tunggu gua cukup secara finansial, Wi. Oke, sahabatan dulu aja... atau mau ta'aruf?"
Aku memalingkan wajah. "Huh... terserah deh. Mau pacar kek, apa kek, bebas. Suka-suka kaulah."
Gading terkekeh. "Berarti resmi ya. Wi, gua ga main-main. Gua bakal buktiin kalau ga semua cowok itu sama."
Tanpa peringatan, dia menggendongku.
"Turunin aku!" bentak ku, spontan menarik rambutnya.
"Ntar lu capek, Wi." Dia tetap berjalan santai menuju kelas.
Begitu sampai, suasana sudah ramai.
"Cieee, Dwi punya pacar!" goda Ayu dengan suara nyaring.
"Masih murid baru udah bisa melelehkan hati Dwi, woi!" timpal Tamrin.
"Bukannya dia bilang ga mau pacaran?" Ramlah menyipitkan mata curiga.
Aku menghela napas, sudah malas menanggapi.
Tapi sebelum aku sempat bicara, Gading lebih dulu menjawab santai, "Sibuk amat lu sama urusan orang."
Aku meliriknya sekilas.
Entah kenapa, berada di dekatnya membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Gosip kedekatan kami menyebar secepat virus corona. Hampir seluruh sekolah membicarakannya, seolah-olah aku dan Gading adalah tontonan baru yang menarik perhatian.
Saat jam istirahat, seperti yang kuduga, Suci kembali menghampiriku di kantin dengan wajah penuh kesombongan.
"Eh, Medan! Katanya kamu dekat sama anak baru itu, ya?" Nada bicaranya kasar, seperti biasa.
Aku hanya fokus memakan bakwan dan mie gelas tanpa menghiraukannya.
"Eh! Kamu denger gak sih kalau aku ngomong? Gak sopan banget!"
Tanpa peringatan, tangannya menyambar makananku dan membuangnya ke lantai.
Aku menatap makanan itu dengan tatapan kosong. Nafas terasa berat, dadaku mulai panas.
"Beliin ulang," ucapku pelan, tapi tajam.
Namun, mereka hanya tertawa, menganggap perkataanku sebagai ancaman kecil dan lelucon konyol.
Aku mengepalkan tangan.
"Aku bilang, beliin ulang!"
Tanpa aba-aba, kakiku melayang menendang perut Suci, membuatnya terhuyung ke belakang. Anggi, temannya, mencoba melindunginya, tapi aku lebih cepat. Tanganku mencengkeram rambutnya dan menariknya dengan kasar.
"Awh! Dwi, sakit, Dwi!" Anggi menjerit, tapi aku tidak peduli.
Ayu, yang menyaksikan dari jauh, langsung menoleh ke arah Gabriel. "Eh, Dwi hilang kendali lagi."
"Pisahin, pisahin!" Beberapa siswa mulai panik dan berlari ke arah kami untuk melerai.
Tapi aku sudah telanjur dikuasai amarah.
"Kalian gak mikir?! Banyak orang di luar sana yang gak bisa makan!" Aku berteriak dengan suara bergetar emosi.
"Dwi, udah, Dwi... Tenang." Ayu berusaha membujukku, tapi aku tidak mendengar apa pun.
"Cepat panggil Gading!" Gibran yang menahan tubuhku terlihat kewalahan karena aku terus memberontak.
Tanpa menunggu lebih lama, Ayu berlari ke kelas, nafasnya tersengal-sengal saat menemukan Gading yang sedang asyik mendengarkan musik.
"Gading!" Ia menepuk pundaknya dengan panik.
Gading melepas earphone. "Napa lu, Yu?" tanyanya, bingung melihat Ayu ngos-ngosan.
"Dwi... Dwi berantem di kantin!"
Mata Gading langsung menyipit. Tanpa banyak tanya, dia bangkit dan berlari menuju kantin.
Begitu sampai, keadaan sudah sangat kacau. Aku masih terus menginjak perut dan dada Suci yang terbaring di lantai, tidak ada yang bisa menghentikan ku karena aku terlalu gesit.
"Wi, udah, Wi!"
Gading tiba-tiba menarik tubuhku dan membawaku menjauh dari Suci. Pelukan eratnya menahan seluruh amarah yang hampir meledak dalam diriku.
"Minggir! Aku mau bunuh dia! Dia gak tahu cara menghargai makanan!" Aku terus memberontak, tapi pelukannya semakin erat.
Suci dan gengnya hanya diam, syok melihat emosiku yang tiba-tiba meledak tanpa kendali.
"Iya, Wi... Lu tenang dulu."
Gading menangkup pipiku dengan kedua tangannya, berusaha menatap mataku.
Aku menggeleng keras. "Aku bilang lepas!"
"Lihat gue, Wi. Lihat gue!"
Suara itu memaksaku menatapnya.
"Tenang, Wi... Tenang..."
Nafasnya teratur, berbeda dengan nafasku yang masih memburu. Perlahan, amarah dalam dadaku mulai surut, seperti api yang disiram air.
Aku menelan ludah. "Gading... kamu gak takut?" tanganku bergetar hebat.
Dia tersenyum kecil. "Alhamdulillah... Udah ya, Wi, gak perlu pakai kekerasan."
Sebelum aku sempat menjawab, dia kembali menarik ku ke dalam pelukannya.
"Alah! Kau sama aja kayak bapakmu! Preman! Huuuu!" ejek Suci dengan suara lemah.
Gading menoleh tajam. "Udah! Kalian kira ngebully itu keren? Norak tau gak!"
Dia lalu melepas jaketnya dan memakaikannya ke tubuhku. Topi jaket itu menutupi kepalaku.
"Jangan takut, Wi... Ada gue."
Bisikan itu terdengar lembut di telingaku sebelum dia menggenggam tanganku dan menarik ku pergi dari kerumunan.
"Gading… kenapa kamu begitu melindungiku?" tanyaku pelan.
Gading menatapku sejenak sebelum menjawab, "Wi, dibully itu nggak enak. Gue paham banget rasanya." Nada suaranya terdengar berat, seolah ada masa lalu yang menyakitkan di balik kata-katanya.
Aku terdiam, lalu tersenyum tipis. "Oh… makasih ya. Andai abangku sikapnya sematang kamu," gumamku pelan.
Gading mengernyit. "Emang abang lu kayak gimana?" tanyanya penasaran.
"Hmm… kapan-kapan aja gue ceritain," jawabku singkat.
Belum sempat Gading membalas, tiba-tiba suara speaker sekolah bergema di seluruh ruangan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Panggilan kepada Meisya Dwi Arianti, silakan datang ke kantor."
Aku menghela nafas panjang. "Bentar ya," ucapku sebelum berlari menuju kantor.
Sesampainya di sana, aku mendapati Bu Juni sudah menungguku dengan ekspresi serius. Di sampingnya, ada orang tua Suci dan Anggi yang terlihat kesal.
"Apalagi sekarang…" batinku dengan malas.
Aku berdiri di ambang pintu, menatap ruangan itu dengan enggan. Wajah Bu Juni tampak serius, sementara orang tua Suci dan Anggi memandangku dengan ekspresi penuh tuduhan.
“Silakan duduk, Dwi,” suara Bu Juni terdengar tegas.
Aku melangkah masuk, menarik kursi dengan malas, lalu duduk tanpa berkata apa-apa.
“Meisya Dwi Arianti, kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?” tanyanya.
Aku hanya menghela nafas. “Mungkin karena insiden di kantin tadi?” jawabku santai.
Orang tua Suci langsung bereaksi. “Santai banget kamu? Anak saya dipukuli sampai lebam, dan kamu masih bisa santai?” suara ibunya meninggi.
Aku menatapnya dengan datar. “Makanan saya dibuang. Saya cuma minta tanggung jawab mereka.”
“Itu bukan alasan buat main tangan, Nak! Kamu itu anak perempuan, harusnya lebih lembut,” kata ibu Anggi.
Aku mengepalkan tangan di atas pahaku. “Jadi menurut kalian, boleh membuang makanan orang lain gitu aja?”
“Kita nggak membenarkan perbuatan mereka, tapi kekerasan juga bukan jalan keluar, Dwi,” ujar Bu Juni mencoba menengahi.
Aku tertawa kecil, sinis. “Kalau saya diam, nggak ada yang bakal peduli. Saya cuma balas apa yang mereka lakukan.”
Suasana hening sejenak.
“Dwi, kamu harus minta maaf,” akhirnya Bu Juni berbicara lagi.
Aku menatapnya tajam. “Mereka juga harus minta maaf ke saya.”
“Dwi!” suara Bu Juni sedikit meninggi.
Aku bangkit berdiri, menatap mereka satu per satu. “Kalau mereka minta maaf duluan, saya bakal mikir-mikir buat minta maaf balik.”
Tanpa menunggu tanggapan, aku berbalik dan berjalan keluar ruangan.
Di luar, Gading sudah berdiri, bersandar di dinding dengan tangan terlipat.
“Gimana?” tanyanya.
Aku menghela nafas. “Drama biasa.”
Dia tersenyum kecil. “Wi, lu tau kan gua di pihak lu?”
Aku menatapnya sesaat. Entah kenapa, ada rasa tenang setiap kali Gading ada di dekatku.
“I know… thank you, Gading.” Aku menundukkan kepala.
“Iya, Wi… asal lu aman aja, dah seneng gua.” Ia kembali menutup kepalaku dengan hoodie-nya.
Dari dalam kantor, makian orang tua Suci dan Anggi mulai terdengar. Aku berusaha mengabaikannya, tapi suara mereka terus menghantui.
“Jangan didenger, Wi…” Gading mengambil headphone Bluetooth-nya, menyambungkannya ke ponsel, lalu memutarkan musik. Dengan lembut, ia memasangkannya di kepalaku.
Tangannya meraih tanganku, menggenggamnya erat, lalu membawaku pergi.
Untuk menghindari amukan keluarga mereka, Gading membawaku ke belakang sekolah tempat di mana tak ada seorang pun yang bisa menemukan kami.
Aku menatapnya. Sejak awal, dia selalu ada di sisiku.
Tanpa sadar, jemariku terangkat, mengelus pipinya perlahan.
Ia terkejut. “Wi, lu sehat?”
Sadar dengan tindakanku, aku buru-buru menarik tanganku. “Ah, maaf…”
Gading hanya menatapku, lalu tersenyum kecil.
“Makasih ya…” Untuk pertama kalinya, aku tersenyum di hadapannya.
“Santai, Wi.” Ia mengelus rambutku dengan lembut.
Dari sini, aku menyadari… rumah tak selalu berbentuk bangunan.
Jam pelajaran terus berjalan, tapi kami tetap di tempat ini. Tak kembali ke kelas. Tak peduli pada waktu. Hari ini, kebersamaan kami jauh lebih berharga.
—
Beberapa jam kemudian, Gading mengantarku pulang.
“Makasih ya buat hari ini,” ucapku saat mengembalikan helmnya.
“Iya, Wi… Oh iya, bagi nomor lu dong.” Ia menyodorkan ponselnya ke hadapanku.
“Oh, bentar.” Aku mengambil ponselnya dan memindai QR WhatsApp ku, lalu mengembalikannya.
“Ok, Wi, masuk gih. Ntar gua chat lu.”
Aku mengangguk, lalu masuk ke rumah tanpa menoleh.
Di luar, Gading masih berdiri di tempatnya, menatap ponselnya yang kini berisi kontak ku.
“Seriusan… gua dapet nomornya!” gumamnya penuh semangat.
Senyumnya melebar, seolah baru saja menemukan harta karun.
“Senyumnya manis banget… sering-sering dah lu senyum, Wi,” ucapnya pada dirinya sendiri sebelum akhirnya pergi dengan motornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments