keluarga toxic

Keringat membanjiri tubuhku, nafasku tersengal. Aku tersentak, mendapati diriku sudah berada di kamar. Pandanganku masih buram, tapi suara percakapan dari luar kamar terdengar jelas.

"Kalau gitu saya pamit ya, Tante. Dwi kayaknya butuh istirahat nih," suara Gading terdengar santai.

Aku mengedipkan mata, mencoba mengatur napas, lalu turun dari kasur dan menghampiri mereka.

"Dah bangun lu, Wi?" tanyanya dengan wajah yang tampak biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Tadi lu pingsan pas kamu di bu-"

Belum sempat Gading menyelesaikan kalimatnya, aku buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Jantungku mencelos.

"Kenapa, Mey?" tanya Mama, menatapku curiga.

"Bukan apa-apa, Ma..." Aku cepat-cepat menarik Gading keluar sebelum dia bisa bicara lebih banyak.

Begitu sampai di luar, aku melepaskannya dengan kasar.

"Bisa nggak kau nggak usah ikut campur? Urus aja urusanmu sendiri! Aku nggak butuh bantuan mu buat ngadepin pembully itu!" dengusku tajam.

Gading menyeringai, matanya berbinar jail. "Lu takut emak lu tahu kalau anaknya yang sok mandiri ini pingsan gara-gara di-bully? Gua laporin, ah!" godanya dengan nada menyebalkan.

Aku mengepalkan tangan. "Ku tabok kau!"

"Yaelah, galak amat lu," cibirnya santai, masih dengan wajah menyebalkannya.

"Menyebalkan..." gumamku.

"Iya, santai aja, Wi. Nggak akan gua bocorin kok," jawabannya membuatku sedikit lega.

"Yaudah, makasih. Sana pulang," aku membalikkan badan dan kembali ke rumah.

Gading masih berdiri di tempatnya, menatap punggungku yang menjauh. Sudut bibirnya tertarik ke atas sebelum akhirnya ia berbalik menuju parkiran.

"Menarik juga tuh cewek... kayak Yui Hirasawa... suaranya imut banget tapi wataknya keras..." gumamnya sambil meraih helm hitam yang tergantung di stang motornya.

Dengan gerakan santai, ia memasangnya, menarik tali pengikat hingga pas. Visor gelap perlahan turun, menyembunyikan ekspresinya di balik bayangan sore yang mulai meredup. Sekilas, ia menoleh ke belakang, lalu tanpa ragu naik ke motornya. Suara mesin menyala halus, menyatu dengan hiruk-pikuk parkiran yang mulai lengang.

Tanpa terburu-buru, ia memutar gas dan melaju, meninggalkan tempat itu dengan tenang.

Dari balik jendela, Mama menatap kepergiannya lalu melirik ke arahku dengan senyum jail.

"Cowokmu ya, Mey?" godanya.

Aku mendesah, lalu duduk di sofa dan membuka laptop. "Bukan. Dia murid baru di kelasku," ujarku, jemariku mulai menari di atas keyboard, melanjutkan naskahku yang sudah mencapai bab tiga.

"Kalian cocok, loh... cobalah sekali-sekali pacaran," kata Mama penuh harap.

Aku tersenyum sinis. "Biar apa? Biar disakiti kayak pas Mama disakiti Ayah?"

Tanpa menunggu jawaban, aku menutup laptop dan berjalan ke kamar, meninggalkan Mama di ruang tamu.

Suara dengus kesalnya terdengar jelas. "Anak setan... anaknya Amir ee!" makinya.

Aku hanya tersenyum miring sebelum menutup pintu kamar.

"Aku kan anakmu juga... Huh, andai aku cepat nikah, pasti nggak serumit ini," gumamku, menatap kosong ke arah langit-langit kamar.

Tiba-tiba, suara ketukan keras menggema dari balik pintu.

Tok! Tok! Tok!

"Sabar, loh!" bentakku kesal sebelum membuka pintu.

Di depan berdiri Roland dengan ekspresi datarnya yang menyebalkan.

"Masak dulu sana. Kami lapar," perintahnya tanpa basa-basi.

Aku menghela napas kasar, menahan diri untuk tidak membanting pintu di wajahnya. Tanpa protes lebih lanjut, aku beranjak ke dapur.

Aku membuka kulkas, mencari bahan-bahan yang tersisa. Ikan segar masih tersimpan dalam wadah plastik, bersama dengan seikat kangkung yang sedikit layu. Aku menghela napas pelan sebelum mulai menyiapkan semuanya.

Aku mengambil seekor ikan, membersihkannya di bawah air mengalir, lalu menaburkan garam dan sedikit perasan jeruk nipis agar bau amisnya hilang. Setelah itu, aku menyiapkan bumbu: cabai merah, bawang putih, bawang merah, tomat, dan sedikit terasi. Aku mengulek semuanya hingga halus, mencium aroma pedas yang menusuk hidung.

Dengan sigap, aku menyalakan kompor, menuangkan minyak ke dalam wajan, dan menunggu hingga panas. Begitu minyak mulai berasap tipis, aku memasukkan ikan yang sudah dibumbui. Cresss! Suara ikan yang bersentuhan dengan minyak panas menggema di dapur. Aku membaliknya perlahan, membiarkannya matang merata.

Setelah ikan berwarna kecokelatan, aku menyingkirkannya ke sisi wajan dan mulai menumis bumbu yang sudah diulek tadi. Bau harum langsung memenuhi udara, membuat perutku sendiri ikut keroncongan. Aku menambahkan sedikit air, garam, dan gula untuk menyeimbangkan rasa, lalu memasukkan ikan kembali ke dalam wajan, membiarkannya meresap dalam kuah asam pedas yang kental.

Sambil menunggu, aku melirik kangkung di meja.

Aku mencuci kangkung, merobek-robek batang yang terlalu keras, lalu meniriskan nya. Setelah itu, aku menyiapkan bawang putih, cabai rawit, dan sedikit lada bubuk sebagai bumbu.

Wajan kedua sudah panas, jadi aku langsung menumis bawang putih dll, mencium aroma gurih yang menggoda. Begitu bawang mulai kecokelatan, aku memasukkan kangkung dan cabai rawit, mengaduknya cepat agar tidak terlalu layu. Sedikit garam, gula, dan kecap ikan ku tambahkan untuk memperkaya rasa.

Begitu semua matang, aku menuangkan tumis kangkung ke piring, memastikan warnanya tetap hijau segar. Lalu, aku menyendok ikan asam pedas ke mangkuk besar, membiarkan kuahnya menggenang di sekelilingnya.

Aku menghela napas, memandangi hasil masakanku. Sederhana, tapi aroma dan tampilannya menggoda.

"Udah jadi?" Suara Roland terdengar dari ruang tamu.

Aku hanya mendengus kecil sebelum membawa makanan ke meja makan.

"Gitu dong... lama amat. Dasar sombro!" makinya.

Sombro adalah sebutan untuk cewek pemalas. Dulu, ibu tiriku sering menyebutku seperti itu, meskipun aku sebenarnya cukup rajin.

Aku menghela napas panjang lalu kembali ke kamar, mengabaikan semua caci maki itu seolah hatiku sudah lama mati.

Hari yang panjang itu pun berakhir.

---

Keesokan harinya, jarum jam menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan jendela yang cukup keras membangunkanku. Dengan malas, aku bangkit dari kasur dan berjalan ke arah jendela, membuka tirainya sedikit.

Di luar, Gading sudah berdiri dengan seragam sekolahnya.

"Bangun, Wi. Ayo sekolah... gua sendirian di kelas, cuy!" katanya santai, menatap wajahku yang masih setengah sadar.

Aku menyipitkan mata, mencoba fokus.

"Ini masih jam setengah enam... Kau psikopat, ya? Masuk jam segini?" dengusku sebelum menutup jendela dengan kasar dan kembali menjatuhkan diri ke kasur.

Tak sampai lima menit, Mama datang ke kamarku.

"Mey, itu temanmu yang kemarin nungguin, loh. Mau berangkat bareng katanya," ucapnya.

Aku menghela napas panjang. Mau tak mau, aku pun bangkit dan segera menuju kamar mandi.

Air dingin membasahi tubuhku, menghapus sisa kantuk yang masih melekat. Aroma sabun menyelimuti tubuhku, menggantikan bau keringat setelah semalaman tertidur.

Setelah selesai, aku cepat-cepat bersiap dan keluar kamar.

Di luar, Gading berdiri dengan tatapan puas, seolah mengatakan bahwa ia baru saja menang dalam perdebatan kecil kami. Rasanya aku ingin sekali memukulnya, tapi Mama masih berdiri di dekat kami dengan ekspresi angkuhnya.

"Yaudah, hati-hati di jalan. Gading, Tante titip Mey, ya," katanya.

Gading tersenyum lebar. "Iya, Tante. Pasti dong. Ayo, Wi!" Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menggenggam tanganku dan menarikku keluar.

Di halaman rumahku, sebuah motor Kawasaki Ninja ZX-25R berwarna hitam dengan corak merah sudah terparkir dengan gagahnya.

Aku menatapnya sejenak, lalu melirik Gading dengan alis terangkat. "Serius nih? Lu bawa motor ini?"

Gading hanya menyeringai sambil meraih helm dan menepuk jok motor. "Masa naik sepeda?"

Aku mendesah pelan, lalu tanpa banyak protes, mengambil helm yang ia sodorkan. Hari ini pasti akan panjang lagi.

Gading melaju kencang menuju sekolah. Angin pagi menerpa wajahku, membuat rambutku sedikit berantakan. Tanganku hanya bertumpu di bagian belakang motor, mencoba menjaga keseimbangan.

"Pegangan, Wi. Nggak takut jatuh, lu?" tanyanya tanpa menoleh.

Sebelum sempat menjawab, ia tiba-tiba meraih tanganku dan menariknya ke perutnya, seolah memintaku untuk memeluknya.

Aku menggerutu, "Kayaknya kalau belum dipukul, lu belum puas, deh."

Gading terkekeh pelan. "Ya daripada lu jatuh, ntar gua yang repot, Wi."

Menyebalkan, tapi... entah kenapa ada sisi lain dari dirinya yang terasa perhatian.

Aku menghela napas, lalu perlahan menyandarkan kepalaku ke punggungnya. Kehangatan tubuhnya terasa nyata, menembus seragam sekolah kami. Rasanya seperti sesuatu yang pernah kurasakan dulu...

Seperti saat aku bersama Ayah.

Seketika, dadaku terasa sesak.

Apakah… ini cinta?

Mustahil.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!