Chapter 5

Gadis yang tengah bergelung dengan selimut itu melenguh dalam tidurnya. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seluruh wajahnya dibanjiri dengan keringat. Sesekali kedua tangannya meremas seprai dengan kuat.

"AAAAA!!" Rara menjerit terbangun dari tidurnya karena teringat kejadian mengerikan malam kemarin. Napasnya memburu dengan air mata yang sudah berlinang. "HAH?! HAH!"

Sagara, telah berhasil menghancurkan kehidupannya dengan cara yang paling hina. Setelah puas menjamah tubuhnya, lelaki kejam itu langsung menyuruh Rara pulang. Tanpa peduli dengan kesakitan yang ia rasakan. Rara sudah benar-benar kehilangan harga dirinya yang selama ini ia jaga dengan sekuat tenaga kini hilang porak poranda dalam satu kedipan mata. Direnggut paksa oleh pemuda yang ditolongnya.

Rara kembali meraung di dalam kamarnya setelah sejenak terlelap dalam tidurnya. Namun hanya sekejap karena peristiwa mengerikan itu tidak benar-benar menghilang dari ingatannya.

Flashback on. 

Sagara mendesah panjang untuk yang ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali ia mencapai kl*maks. Yang jelas, malam ini ia benar-benar puas. Setelah menggulirkan tubuhnya dari atas tubuh Rara, Sagara berkata dengan wajah tanpa dosa. "Gue kasih lo waktu sepuluh menit. Beresin barang lo dan pergi dari sini! Gue capek mau tidur!"

Tanpa belas kasihan. Ia berkata demikian.

"SATU!"

......

Dengan tubuh ringkih dan langkah tertatih, Rara memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Dipakainya satu persatu dengan tangan gemetar karena merasakan sakit yang teramat sangat luar biasa. Lahir dan batinnya terkoyak.

"Waktu lo tinggal tiga menit lagi!!" Gelegar suara Sagara membuat tubuhnya semakin tremor. Dengan menyeret kedua kakinya, gadis yang kini sudah tak per*wan lagi itu melangkah tergesa-gesa keluar dari kamar mewah sang tuan muda. "Gue nggak akan kasih lo duit karena barang-barang dan makanan yang gue berikan ke elo dan adik lo tempo hari udah lebih dari cukup untuk membayar harga diri lo. Jadi sekarang, keluar dari apartemen gue!!" Sagara mendorong tubuh Rara keluar dari apartemennya.

Dia menutup pintu dengan sangat keras, mengabaikan gadis yang telah diset*b*hinya itu.

Pecahlah tangis Rara. Ia merasa seperti seonggok sampah. Rara meraung meratapi nasibnya. Beruntungnya tak ada satu orang pun yang satu lift dengannya karena hari masih terlalu subuh untuk beraktivitas.

Lift terbuka. Rara keluar sembari mengusap kedua matanya yang basah dan sembab. Ia sempat berpapasan dengan dua orang satpam yang tengah berjaga saat akan keluar dari gerbang apartemen. Telinganya mendengar dengan jelas obrolan dari kedua satpam tersebut.

"Tamunya siapa tuh baru pulang subuh begini? Mana keadaannya memprihatinkan lagi."

"Iya. Kedua kakinya ampe gemetar begitu. Kasihan banget! Kayaknya dari malem ampe dini hari nggak berhenti digempur itu."

Gelak tawa pun mengakhiri obrolan kedua satpam tersebut.

Rara berusaha mengabaikan cibiran itu. Ia sangat yakin jika cibiran kedua satpam itu ditujukan kepadanya. Namun, ah ... sudahlah!

Setelah menunggu selama dua puluh menit, akhirnya ojek online yang dipesannya datang juga. Rara segera naik karena ingin segera pulang ke rumahnya.

Flashback off. 

Terpaksa hari senin ini, Rara meminta izin tidak masuk kerja karena sakit yang mendera jiwa dan raganya dan juga banyak bercak merah yang bertebaran di lehernya. Tidak mungkin ia pergi bekerja dalam keadaan seperti ini. Bisa-bisa satu kantor geger melihatnya.

Setelah memastikan Raja berangkat sekolah, Rara pergi ke dapur dan segera mengompres lehernya dengan es batu, agar tanda kissmark itu segera memudar. Ia jijik melihatnya. Apalagi mengingat orang yang telah memberikan tanda itu kepadanya. Ia benci Sagara. Sangat membencinya!

___

"Wiih, cerah banget tu muka, kayak habis belah duren!!" Seruan konyol terlontar dari sahabat Sagara yang bernama Rayden Ignatius Dosca. Cowok blasteran Sunda-Amerika.

"Kayaknya sih iya!" timpal Berlin Mahardika, sahabat Sagara yang satunya.

Sagara tergelak mendengar celotehan receh dari kedua sahabatnya. "Tebakan lo berdua seribu persen benar!" ucapnya setelah duduk di kursinya di samping Rayden.

Rayden dan Berlin langsung bertepuk tangan bangga.

"Anak sekolah mana?" bisik Rayden penasaran.

"She's not a student!" jawab Sagara dan membuat kedua sahabatnya memekik heboh.

"Mahasiswi?!" seru Rayden dan Berlin.

Sagara menggeleng. "No. Dia udah kerja." Sontak jawaban tersebut semakin membuat Rayden dan Berlin penasaran.

"Berarti dia udah tua? Tante-tante dong?" celetuk Rayden yang memang terkenal ceplas-ceplos kalau berbicara.

"Six years apart."

"Really?!" seru Rayden dan Berlin tidak percaya.

"Yes, but she is very beautiful and voluptuous!" Sagara menerawang, mengingat kembali pergulatan panasnya bersama Rara. Darahnya seketika berdesir dan jaguarnya langsung menegang. "FUCK!" erangnya dalam hati.

"Waw! Gue jadi penasaran pengen nyoba!" Sagara langsung memelototkan matanya ke arah Berlin yang berkata demikian.

"She's mine!" ucapnya dengan penuh penekanan membuat kedua sahabatnya bergidik dan saling melempar pandangan.

"Oh ok. Sorry, kalau begitu." Berlin langsung menyahut karena ngeri mendapat tatapan intimidasi dan menyeramkan dari seorang Sagara Aletrino Brawijaya.

"Tapi kita boleh kenalan dong sama dia?" Rayden mencoba mencairkan suasana.

"Maybe!" Sagara mengedikkan kedua bahunya. Berbarengan dengan itu, seorang gadis cantik berambut lurus sepunggung menghampiri mereka. Sagara langsung membuang muka sedangkan kedua sahabatnya melempar senyum canggung dan sapaan basa-basi busuk kepada si gadis jelita.

"Pagi Celline, ada apa nih, tumben nyamperin kita?" Berlin yang bicara.

"Aku ada perlu sama Saga," jawab Celline tanpa membalas senyuman dari dua cowok tengil di sebelahnya.

"Ga, kita ke atas duluan!" Rayden dan Berlin beranjak pergi tanpa menunggu jawaban dari Sagara. Kata atas yang mereka maksud adalah rooftop sekolah.

"Waktu lo cuma lima menit!" Suara Sagara mengintrupsi.

"Besok malam Papa ulang tahun."

Mendengar hal itu, Sagara berdecih sembari melempar tatapan sinis kepada Celline. "Terus ... hubungannya sama gue apa?" Sagara mengangkat sebelah alisnya.

"Ya kamu harus pulang buat ngasih selamat ke Papa," kata Celline penuh penekanan.

Sagara terkekeh. "Gue nggak mau!" tolak Sagara enteng.

"Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus pulang. Papa minta aku buat bujuk kamu! Dia mau kita berempat dinner bersama," perintah Celline memaksa. Satu tangannya mencekal pergelangan Saga.

"Gue nggak mau dan camkan kata-kata gue ini ... jangan pernah memerintah gue untuk melakukan apa yang lo mau, karena hubungan kita udah nggak sedekat dulu. Lo, bukan siapa-siapa lagi buat gue!" geram Sagara sembari melepaskan cekalan tangan Celline dari pergelangan tangannya, tentunya dengan cara yang sangat kasar. Membuat gadis bermata belo itu tersentak kaget.

"Saga!!" Celline berteriak memanggil Sagara yang sudah keluar dari ruang kelas. Celline mendesah, merasakan ada yang berdenyut nyeri di dalam dadanya. Sagara yang ia kenal dulu seperti hilang ditelan bumi. Berganti dengan Sagara yang menakutkan. "Saga, maafin aku," lirihnya sembari melangkah keluar dari kelas XII-IPS, ruang kelas Sagara.

____

"Kak, minum obat ya? Badan Kakak panas banget!" Raja menyodorkan segelas air putih dan satu butir obat penurun panas kepada Rara yang tidak kunjung turun dari ranjangnya. Padahal tadi pagi sebelum ia berangkat ke sekolah, Kakaknya itu terlihat baik-baik saja, tapi pas pulang sekolah, keadaan kakaknya sungguh memprihatinkan.

"Makasih Ja," kata Rara saat sudah meminum obat yang diberikan adiknya. "Kamu udah makan belum?" tanya Rara dengan suara parau.

"Udah Kak. Tadi pas pulang sekolah, aku langsung manasin sayur sop yang tadi pagi kakak buat, terus aku makan deh," celoteh Raja menjelaskan. Rara tersenyum lalu kembali menjatuhkan kepalanya ke atas bantal.

"Kakak tidur lagi aja! Kalau butuh apa-apa teriak aja ya Kak? Aku ada di ruang tv!" beri tahu Raja sebelum keluar dari kamar Rara.

"Iya, Ja!" Rara menganggukkan kepala. Tak berselang lama kantuk pun mulai menyerang, Rara kembali memejamkan kedua matanya.

____

Saga mengusap wajahnya beberapa kali karena tidak bisa mengindahkan gejolak hasr*t di jiwanya setiap teringat akan desa han dan rintihan dari gadis yang semalam ia gauli. Rara Aprilia berhasil membuat konsentrasinya terbuyarkan. Alhasil tanding basket kali ini sungguh di luar dugaan. Timnya kalah oleh tim lawan. Sagara mengerang frustrasi, lagi-lagi di dalam hatinya menyalahkan Rara sebagai biang kerok kekalahannya.

"Ga! Lo mau ke mana?!" teriak Rayden yang melihat Sagara berjalan menuju motornya.

Sagara tidak menjawab. Ia mengacuhkan teriakan Rayden. Segera ia naik ke atas motornya.

"Si any*ng!!" umpat Rayden kesal karena merasa diabaikan.

"Kasihan deh lo, dikacangin Saga!" ledek Berlin tersenyum puas.

"SET*N LO!!" sembur Rayden yang malah membuat Berlin tertawa ceria. "Padahal gue pengen ngajak dia ke club buat menghilangkan stress. Eh, si any*ng malah pergi begitu aja! Semprul dasar!!" Lagi-lagi Rayden mengumpat kesal.

"Kita pergi berdua aja! Saga lagi juwet deh kayaknya. Buktinya pas tanding tadi, performanya jelek banget. Gue jadi curiga, kalau ini ada hubungannya dengan obrolan dia sama si Celline tadi pagi. Kira-kira si Celline ngomong apaan ya ke Saga?" Berlin berucap menerka-nerka.

"Meneketehe!" celetuk Rayden acuh. "Yuk ah, cabut!" Berlin pun mengikuti langkah Rayden menuju parkiran sekolahnya.

Sementara itu, Sagara sudah memarkirkan motor Ducati-nya di halaman sebuah rumah bercat putih. Dia segera membuka helm full face yang bertengger di kepalanya lalu turun dari motornya. Sagara menyugar rambut hitamnya yang sedikit berantakan. Kemudian melangkah menuju pintu bercat putih yang ada di depannya.

Dia mengetuk pintu sebanyak dua kali dan tidak lupa mengucapkan salam. Tak berapa lama pintu di hadapannya terbuka.

"Kak Saga!" Si empunya rumah menyapa dengan riangnya.

"Sore Raja!" balas Sagara dengan senyum manis merekah menghiasi bibirnya.

"Sore juga Kak. Ayo masuk Kak!" Raja membuka pintu lebar, mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. Keduanya kini duduk di ruang tamu. Sagara meneguk air putih yang baru saja dihidangkan Raja.

"Kak Rara ke mana? Apa dia belum pulang kerja?" Sagara mulai menanyakan seseorang yang menjadi alasan dia datang ke rumah sederhana ini.

"Ada di kamarnya. Kakak sakit jadi dia nggak kerja," jelas Raja apa adanya.

Sagara sedikit tersentak kemudian membatin dalam diamnya. "Sakit? Kok bisa, padahal tadi subuh dia biasa-biasa aja. Jangan-jangan dia pura-pura?"

"Ja, emangnya Kak Rara sakit apa?" Sagara penasaran dan ingin memastikan. Ia pura-pura perduli agar bisa mengambil hati bocah kurus di hadapannya.

"Badannya panas, terus di lehernya ada bercak merah-merah gitu kayak yang DBD. Tapi Kakak bilang dia cuma panas biasa." Hampir saja Sagara tertawa mendengar penjelasan dari Raja.

"Ni anak polos banget sih! Itu bukan bercak DBD, tapi kissmark dari gue! Dasar oon lo!" Sagara terbahak di dalam hatinya.

"Udah ke dokter?" tanya Sagara guna menekan rasa geli di dadanya. Demi Tuhan, ia ingin sekali terbahak melihat kepolosan Raja.

"Belum Kak. Kakak nggak mau diajak ke dokter. Tapi aku udah kasih dia obat penurun panas dan kayaknya Kakak langsung tidur deh."

Sagara menganggukkan kepala mendengar penuturan Raja. Selanjutnya terbersitlah ide di benaknya saking inginnya ia melihat keadaan Rara yang sebenarnya. "Boleh aku lihat keadaan Kak Rara?"

"Boleh Kak, ayo!" Sagara pun menyeringai penuh kemenangan tentunya tanpa diketahui oleh Raja yang memang sudah berjalan lebih dulu ke kamar Rara yang terletak di sebelah kamar almarhum kedua orang tuanya.

"Masuk aja Kak! Aku mau ke warung dulu. Mau beli gula," beri tahu Raja hendak berbalik tapi Sagara menahannya sehingga Raja melemparkan tanya. "Ada apa Kak?"

"Nih buat kamu jajan!" Sagara merogoh saku celana abu-abunya dan memberikan dua lembar uang seratus ribuan kepada Raja.

Mata bening Raja berbinar. Namun bocah dua belas tahun itu ragu-ragu untuk mengambilnya. "Ambil Ja!" Akhirnya dia pun mengambilnya seraya terus melontarkan ucapan terima kasih.

Setelah kepergian Raja, lelaki yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu masuk ke dalam kamar Rara. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri Rara yang sedang terlelap. Dielusnya pipi Rara yang terlihat memerah sehingga si empunya mengerjapkan mata lalu selanjutnya kedua mata terpejam itu terbuka dan langsung terbeliak mendapati pemandangan mengagetkan di depan matanya.

"Sa-Saga ..." cicit Rara tidak percaya. Ini mimpi ataukah nyata? Pikirnya menerka.

"Iya, ini gue," jawab Saga sambil memajukan wajahnya agar berhadapan dengan Rara. "Cepet sembuh! Gue rindu tvbvh lo."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!