Bab 8: Rencana Aurelia yang Dahsyat

Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Di luar, langit masih kelabu meski matahari sudah menampakkan sinarnya. Aurelia duduk di depan meja riasnya, memandang bayangan dirinya di cermin. Mata itu… tidak lagi menyimpan kesedihan. Tidak ada jejak kepedihan yang dulu selalu menghantuinya setiap kali melihat bayangannya sendiri.

Yang ada hanyalah tekad.

Hari ini adalah hari di mana semuanya akan berubah.

Aurelia tahu Aditya bukan pria yang mudah dijatuhkan. Pria itu seperti ular berbisa—licik, cerdas, dan selalu menemukan cara untuk lolos dari jebakan. Tapi kali ini, Aurelia tidak akan memberinya celah.

Ia menarik napas panjang, mengenakan setelan kerjanya yang elegan. Dress hitam yang membalut tubuhnya sempurna, sepatu hak tinggi yang mengeluarkan suara tajam setiap kali ia melangkah. Penampilannya pagi ini sempurna—bukan untuk menarik perhatian Aditya, tapi untuk menegaskan satu hal.

Dia bukan lagi wanita yang bisa diinjak-injak.

Di Kantor – Awal dari Kekacauan

Begitu Aurelia memasuki kantor, semua mata tertuju padanya. Sejak perselisihan terbuka dengan Karina beberapa hari lalu, orang-orang di kantor sudah mulai berbisik-bisik. Tapi Aurelia tidak peduli.

Yang ia pedulikan saat ini hanyalah rencana besarnya.

Dia berjalan lurus ke ruangannya, meletakkan tas di meja, lalu mengambil ponselnya. Dengan jemari yang cekatan, ia mengetik pesan singkat.

— Sudah siap? —

Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan datang.

— Semuanya berjalan sesuai rencana. Kita mulai dalam satu jam. —

Aurelia tersenyum puas.

Saat ia masih sibuk menyiapkan dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka dengan kasar. Tanpa mengetuk, tanpa peringatan.

Aditya.

Pria itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang tak bisa dibaca. Rahangnya mengatup erat, matanya menatap tajam ke arah Aurelia seolah mencoba menembus pikirannya.

"Apa yang kau lakukan?" suara Aditya berat, penuh amarah yang ia tahan.

Aurelia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatapnya santai sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Selamat pagi juga untukmu, Aditya."

Pria itu melangkah masuk, menutup pintu dengan keras di belakangnya. "Aku tidak ingin bermain-main, Aurelia. Aku tahu kau sedang merencanakan sesuatu."

Aurelia tertawa pelan, lalu bersandar di kursinya. "Tentu saja aku sedang merencanakan sesuatu. Aku tidak akan tinggal diam setelah semua yang kau lakukan."

Aditya mendengus sinis. "Kau pikir kau bisa menjatuhkanku? Kau lupa siapa aku?"

Aurelia berdiri, langkahnya mendekat ke arah Aditya dengan percaya diri. "Oh, aku sangat tahu siapa kau, Aditya. Aku tahu betapa liciknya kau. Tapi masalahnya, kau lupa siapa aku."

Dia menyodorkan sebuah amplop ke dada Aditya. Pria itu mengambilnya dengan ragu, lalu membukanya. Begitu matanya membaca isi dokumen di dalamnya, ekspresinya berubah drastis.

"Sialan… kau tidak mungkin melakukan ini!" suara Aditya meninggi, matanya membelalak.

Aurelia menyilangkan tangan di dadanya. "Oh, aku sudah melakukannya."

Aditya meremas kertas itu. "Kau mencoba menyeretku ke dalam skandal, Aurelia?!"

Aurelia menghela napas panjang seolah bosan. "Kau yang menyeret dirimu sendiri. Aku hanya memastikan dunia tahu siapa dirimu yang sebenarnya."

Aditya mencengkeram meja dengan keras. "Kau pikir aku akan diam saja?! Aku bisa membalikkan keadaan dalam sekejap!"

Aurelia tersenyum miring. "Silakan, Aditya. Lakukan yang terbaik. Aku ingin tahu seberapa jauh kau bisa bertahan sebelum segalanya runtuh di sekitarmu."

Tiba-tiba, ponsel Aditya bergetar. Dengan gerakan cepat, ia mengambilnya dari saku dan membaca pesan yang baru masuk.

Ekspresinya langsung berubah—dari kemarahan menjadi keterkejutan, lalu ketakutan.

Aurelia tahu pesan itu pasti dari seseorang yang sudah bekerja dengannya. Dan reaksinya? Itu lebih dari cukup untuk memastikan bahwa rencananya berjalan sempurna.

Aditya menatapnya tajam. "Apa yang kau lakukan, Aurelia?"

Aurelia melangkah lebih dekat, cukup dekat hingga mereka bisa mendengar napas masing-masing. "Aku? Aku hanya memberimu apa yang pantas kau dapatkan."

Tepat pada saat itu, pintu ruangannya kembali terbuka.

Karina.

Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bingung dan marah. "Aditya? Ada apa ini?"

Aurelia menoleh dan tersenyum manis. "Oh, Karina. Aku senang kau datang. Kau akan suka kejutan ini."

Karina menatap Aditya, lalu Aurelia. "Apa yang sedang terjadi?"

Aditya tidak menjawab. Pria itu tampak tegang, matanya menatap ke layar ponselnya dengan ekspresi panik.

Karina semakin kesal. "Aditya! Apa yang terjadi?!"

Dan saat itu, ponsel Karina juga bergetar.

Dia mengeluarkan ponselnya, membaca pesan yang masuk, dan wajahnya langsung memucat.

Aurelia menatap mereka berdua dengan puas. "Aku harap kalian menikmati babak baru dalam hidup kalian."

Aditya menatapnya dengan kemarahan yang memuncak. Rahangnya mengatup erat, dan matanya menyala dengan emosi yang meledak-ledak.

"Kau tidak akan lolos dari ini, Aurelia!" suaranya terdengar seperti raungan binatang buas yang terpojok.

Aurelia tertawa pelan. "Oh, Aditya… aku sudah lolos sejak lama. Kau yang baru menyadari bahwa permainan ini baru saja dimulai."

Dan dengan itu, dia berbalik, melangkah keluar dari ruangannya dengan kepala tegak, meninggalkan Aditya yang hampir kehilangan akal sehatnya.

Suasana di dalam ruangan itu menegang. Aditya masih berdiri di tempatnya, napasnya berat, matanya tetap terkunci pada layar ponselnya. Karina di sisinya, wajahnya memucat seperti baru saja melihat hantu.

Aurelia tersenyum tipis, menikmati momen ketika segalanya perlahan mulai terurai di hadapan mereka. Ini baru permulaan.

"Apa… apa maksud semua ini?" suara Karina bergetar, tangannya mencengkeram ponsel dengan gemetar.

Aurelia menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan. "Oh, kau masih tidak mengerti, Karina? Aku hanya memberimu sedikit hadiah sebagai balasan atas semua yang kau lakukan padaku."

Aditya mendongak, menatapnya tajam. "Apa yang kau sebarkan, Aurelia?!"

Aurelia mengangkat alis, berpura-pura tidak tahu. "Sebarkan? Aku tidak menyebarkan apa pun. Aku hanya memastikan bahwa kebenaran akhirnya muncul ke permukaan."

Karina melangkah maju, ekspresinya penuh kemarahan. "Kau pikir kau bisa menghancurkan kami dengan cara ini?! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan!"

Aurelia terkekeh. "Oh, aku tahu persis dengan siapa aku berhadapan. Kau hanya pion kecil dalam permainan ini, Karina. Jangan terlalu besar kepala."

Karina mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam. "Kau—"

Aditya tiba-tiba melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, membuat semua orang terdiam. "Cukup!" suaranya terdengar serak, penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Aurelia, aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Aku tidak akan membiarkan ini berlanjut!"

Aurelia melangkah mendekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Aditya. Suara sepatu hak tingginya yang menghantam lantai terdengar begitu tegas di ruangan yang sunyi.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Aditya?" bisiknya dengan nada menantang.

Aditya diam, rahangnya mengatup erat. Tangannya mengepal kuat, seolah berusaha menahan amarah yang siap meledak kapan saja.

Karina menoleh ke Aditya, tampak panik. "Aditya, kau tidak bisa membiarkannya melakukan ini!"

Aurelia menyeringai. "Kasihan sekali, Karina. Kau masih berpikir dia akan melindungimu? Kau sungguh naif."

Karina terperanjat, ekspresinya berubah menjadi cemas. "Apa maksudmu?"

Aurelia menghela napas, berpura-pura merasa iba. "Lima tahun, Karina. Selama lima tahun aku bersama Aditya, aku belajar banyak hal tentangnya. Kau mungkin merasa kau adalah orang paling spesial dalam hidupnya sekarang. Tapi percayalah, kau hanya satu dari sekian banyak wanita yang mengira mereka 'istimewa' bagi Aditya. Dari kemarin sudah aku buktikan, tapi kau tidak percaya."

Karina tampak terkejut. "Kau bohong!"

Aurelia menggeleng pelan. "Aku tidak perlu berbohong. Kenapa tidak kau tanyakan sendiri pada pria di sampingmu?"

Karina menatap Aditya dengan penuh kecurigaan. "Aditya… apa maksudnya ini?"

Aditya tidak menjawab. Dia hanya berdiri di tempatnya, diam, seolah sedang memikirkan sesuatu.

Aurelia tersenyum sinis. "Aku sudah memperingatkanmu, Karina. Tapi kau memilih untuk menutup mata. Sekarang, hadapi konsekuensinya."

Ponsel Aditya kembali bergetar. Pria itu mengangkatnya dengan kasar dan membaca pesan yang masuk. Matanya semakin membelalak.

Aurelia melihat ekspresi itu dan tahu bahwa rencana yang ia susun sudah mulai bekerja.

"Kau pikir ini sudah berakhir, Aurelia?" Aditya akhirnya bersuara, suaranya lebih rendah, penuh ancaman. "Kau membuat kesalahan besar jika kau mengira aku akan membiarkan ini begitu saja."

Aurelia tersenyum tipis. "Oh, aku tidak pernah menganggap ini sudah berakhir, Aditya. Aku justru baru saja mulai."

Aditya mendekat, menatapnya tajam. "Kau pikir kau bisa menghancurkanku?"

Aurelia tidak mundur, tatapannya penuh percaya diri. "Aku tidak perlu menghancurkanmu, Aditya. Kau akan menghancurkan dirimu sendiri."

Saat itu juga, pintu ruangan terbuka kembali.

Semua orang menoleh, dan di ambang pintu, berdiri seseorang yang membuat ruangan itu membeku dalam sekejap.

Pak Surya.

Ayah Aditya.

Seorang pria tua dengan aura kuat, mata tajam yang menilai setiap orang yang ada di ruangan. Wajahnya dingin, penuh ketegasan.

Aditya tampak kaget. "Ayah…? Kenapa kau ada di sini?"

Pak Surya melangkah masuk perlahan, mengamati situasi. Dia lalu menatap Aditya dengan tajam.

"Karena aku harus meluruskan kekacauan yang kau buat, Aditya."

Ruangan itu sunyi. Tidak ada yang berani berbicara.

Aurelia mengamati ekspresi Aditya. Untuk pertama kalinya, dia melihat sesuatu yang jarang terlihat di wajah pria itu.

Ketakutan.

Aditya menelan ludah. "Ayah, ini bukan seperti yang kau pikirkan."

Pak Surya menatapnya dingin. "Benarkah?"

Karina yang masih kebingungan akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. "Pak Surya, saya bisa menjelaskan—"

"Diam." Suara Pak Surya tajam, memotong Karina tanpa ampun.

Karina langsung terdiam, wajahnya pucat.

Aurelia menahan senyum. Ini lebih baik dari yang ia harapkan.

Pak Surya mengalihkan pandangannya ke Aurelia. "Dan kau, Aurelia… aku ingin tahu seberapa jauh kau akan pergi dengan rencana ini."

Aurelia tidak gentar. Ia justru menatap pria tua itu dengan percaya diri. "Sejauh yang diperlukan, Pak Surya."

Pak Surya menyipitkan matanya, seolah menilai sesuatu dalam dirinya. Lalu, dia mengangguk pelan. "Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kau menyelesaikan ini."

Aditya tampak semakin frustrasi. "Ayah, kau tidak bisa membiarkan dia melakukan ini!"

Pak Surya menatap putranya dengan tajam. "Dan kau berpikir aku akan membiarkanmu terus seperti ini?"

Aditya terdiam.

Aurelia tersenyum puas. Permainan ini masih panjang, dan dia baru saja mendapatkan sekutu yang tidak terduga.

Sementara itu, Aditya berdiri di tempatnya, wajahnya menegang, amarahnya mencapai puncak.

Dia tidak akan tinggal diam.

(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA…)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!