Aurelia menatap pria di luar mobilnya dengan mata yang menyipit. Tangannya menggenggam kemudi, hatinya berdebar kencang meskipun wajahnya tetap tenang.
Orang itu—Arman Surya—berdiri di sana dengan jas hitam yang rapi, ekspresi dingin namun penuh makna.
"Bukankah kita seharusnya sudah selesai sejak lama, Aurelia?" suaranya dalam, mengalun tenang tapi memiliki tajam seperti pisau.
Aurelia menatapnya tanpa ekspresi. "Aku tidak pernah selesai dengan siapa pun yang masih berutang padaku."
Arman tersenyum miring. "Selalu setajam itu, ya? Lima tahun, dan kau masih berdiri tegak dengan dendam yang sama."
Aurelia mendengus. "Jangan bicara seolah kau tahu apa yang kurasakan, Kak Arman."
Lelaki itu menundukkan kepala sedikit, lalu menghela napas. "Aku tahu lebih dari yang kau kira. Kau pikir hanya kau yang dirusak oleh keluarga ini?"
Matanya menajam, membuat Aurelia diam sejenak. Ia bisa melihat kesungguhan dalam sorot mata pria itu, sesuatu yang ia tahu tidak dibuat-buat.
Arman Surya—anak sulung Pak Surya—kakak tiri Aditya yang selama ini memilih diam di bayang-bayang.
"Kau ingin menonton kehancuran mereka?" Aurelia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Silakan duduk dan nikmati saja. Aku akan mengurus semuanya."
Arman terkekeh, lalu melipat tangannya di dada. "Dan setelah semuanya hancur, lalu apa? Kau pikir akan merasa puas?"
Aurelia membuang napas. "Kepuasan tidak pernah menjadi tujuanku. Keadilan, iya."
"Keadilan untuk siapa?" Arman mencondongkan tubuhnya sedikit. "Untukmu sendiri, atau untuk semua wanita yang dikhianati oleh Aditya?"
Aurelia terdiam.
Arman menatapnya tajam. "Aku tahu kau sudah berusaha keras untuk menghancurkan Aditya dan Karina, dan ya, aku menikmati tontonan ini. Tapi aku juga tahu sesuatu, Aurelia. Kau tidak benar-benar ingin mengakhiri ini."
Aurelia menegang. "Apa maksudmu?"
Arman mendekat, suaranya nyaris seperti bisikan. "Kalau kau benar-benar ingin mengakhiri semuanya, kau sudah bisa sejak lama. Tapi lihat dirimu sekarang—masih di sini, masih terlibat, masih membiarkan dirimu terseret dalam pertarungan ini."
Aurelia mengepalkan tangan, menahan sesuatu yang tiba-tiba bergejolak di dadanya.
Dia benar.
Tapi Aurelia tidak mau mengakuinya.
"Kau tidak tahu apa-apa, Kak Arman."
Arman tersenyum kecil. "Oh, aku tahu banyak. Lebih dari yang kau kira. Termasuk siapa saja korban sebelum dirimu."
Aurelia mendadak membeku. Matanya menatap Arman dengan tajam.
"Apa maksudmu?"
Arman menarik napas panjang, lalu bersandar pada pintu mobilnya. "Satu hal yang tidak pernah kau tahu, Aurelia. Kau bukan wanita pertama yang dihancurkan oleh Aditya."
"Aku tahu itu," sahut Aurelia cepat. "Aku tahu dia pernah selingkuh sebelum menikah denganku."
Arman menggeleng. "Bukan hanya itu. Ada seseorang sebelummu. Seseorang yang lebih dulu merasakan sakit yang kau rasakan sekarang. Dan bedanya, dia tidak sekuat dirimu."
Aurelia terdiam.
Arman mengeluarkan ponselnya, menggeser beberapa layar, lalu menunjukkan sebuah foto.
Aurelia melihatnya—dan hatinya langsung mencelos.
Seorang wanita dengan mata kosong, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang tampak dipaksakan.
"Namanya Sofia," Arman berkata pelan. "Dia tunangan Aditya sebelum dia bertemu denganmu. Dan dia—tidak seberuntung dirimu."
Aurelia merasakan sesuatu yang dingin menjalar di punggungnya.
"Apa yang terjadi padanya?" suaranya nyaris berbisik.
Arman menatapnya lama sebelum menjawab. "Aditya menghancurkannya. Secara mental, emosional… dan fisik."
Aurelia terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, tangannya mulai bergetar di atas kemudi.
"Kau bohong," katanya akhirnya, meskipun dalam hatinya, ia tahu Arman tidak mungkin berbohong tentang ini.
"Aku berharap aku bohong," jawab Arman datar. "Tapi kau bisa melihatnya sendiri, bukan?"
Aurelia merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. Lima tahun. Lima tahun ia merencanakan pembalasan ini, berpikir bahwa ia satu-satunya yang menderita di tangan Aditya.
Tapi ternyata, ia hanyalah satu dari sekian banyak korban.
Dan yang lebih menyakitkan, ada orang lain yang lebih hancur darinya.
Sofia.
Pertengkaran yang Membakar
Aurelia mengangkat wajahnya, matanya menyala. "Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?"
Arman tersenyum miring. "Karena aku tahu kau belum siap menerimanya."
Aurelia menggertakkan giginya. "Dan menurutmu aku siap sekarang?"
Arman menatapnya dalam. "Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan dengan kebenaran ini, Aurelia. Akan kau biarkan begitu saja? Atau kau akan membalasnya… untuk Sofia juga?"
Aurelia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi dalam dirinya, kemarahan sudah menyala lebih besar dari sebelumnya.
Dia pikir dia sudah selesai dengan Aditya.
Tapi ternyata, ini baru permulaan.
Dan saat itulah, suara langkah kakI terdengar dari belakang mereka. Langkah yang begitu familier bagi Aurelia, langkah yang dulu selalu membuatnya merasa aman, tapi kini hanya menimbulkan rasa jijik.
Aditya.
Wajah pria itu mengeras saat matanya bertemu dengan Arman, lalu berpindah ke Aurelia. Rahangnya mengatup, matanya menyipit penuh kecurigaan.
"Apa yang kau lakukan di sini, Kak Arman?" suaranya terdengar dingin, tapi Aurelia menangkap nada gugup yang tersembunyi di baliknya.
Arman melirik Aditya sejenak sebelum kembali menatap Aurelia. "Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Kau sendiri pasti tahu alasan aku ada di sini."
Aditya menggeram. "Aku tidak suka orang lain ikut campur dalam urusanku."
Aurelia mendengus, menatap Aditya dengan tatapan penuh ejekan. "Urusanmu?" suaranya terdengar ringan, tapi penuh dengan sindiran tajam. "Aditya, aku rasa ini bukan hanya tentang urusanmu lagi. Kau bukan hanya penghancur hatiku, tapi juga seseorang yang telah menghancurkan lebih banyak wanita dari yang aku kira."
Aditya membeku, wajahnya langsung kehilangan warnanya. "Apa maksudmu?"
Aurelia tersenyum miring. "Sofia."
Dan saat nama itu keluar dari bibirnya, wajah Aditya berubah drastis. Seketika, sorot matanya yang angkuh berubah menjadi panik. Tangannya mengepal, napasnya memburu.
"Apa yang kau lakukan, Kak Arman?" desisnya tajam. "Kenapa kau membawa-bawa hal itu?"
Arman tetap tenang, tidak terpengaruh sedikit pun oleh kemarahan Aditya. "Karena aku sudah muak melihatmu terus merusak hidup orang lain tanpa konsekuensi."
Aurelia mendekat, matanya menatap tajam ke arah Aditya yang kini terlihat kacau. "Kau pikir aku sudah cukup puas hanya dengan membuatmu menderita?" suaranya berbisik, tapi tajam seperti belati. "Ternyata kau masih punya banyak dosa yang belum dibayar, Aditya. Dan percayalah… aku akan memastikan semuanya terbayar lunas."
Aditya menelan ludah, keringat mulai muncul di pelipisnya. "Aurelia… kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Aurelia terkekeh. "Tentu saja aku tidak tahu. Karena kau selalu pandai menyembunyikan semuanya. Tapi tidak kali ini, Aditya. Aku akan menggali semua yang telah kau tutupi selama ini. Dan saat aku selesai…" ia mendekat ke telinga Aditya, suaranya berubah lebih dingin, "kau tidak akan punya tempat untuk bersembunyi."
Aditya tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi Arman menyela. "Kau sudah cukup bicara, Aditya. Kali ini, bukan kau yang memegang kendali."
Dan di saat itu juga, Aditya menyadari sesuatu yang membuatnya semakin tercekik—
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar takut pada Aurelia.
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA…)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments