BAB 3 – YANG TIDAK PERNAH KAU SADARI

Angin malam membelai wajah Aurelia ketika ia berdiri di balkon apartemennya, menatap gemerlap kota yang terasa begitu jauh dari hatinya. Gelas wine di tangannya bergoyang pelan, cairan merah di dalamnya berkilauan tertimpa cahaya lampu kota.

Hatinya tenang, tapi ada sesuatu yang menggelitik pikirannya.

Karina.

Wajah wanita itu tadi begitu kacau, hancur dalam kebingungan dan ketakutan. Aurelia tidak pernah menduga akan menikmati momen itu sepuas ini. Namun, ia tahu ini belum berakhir. Karina hanya awal.

Lalu, ponselnya bergetar.

Sebuah nama yang sudah terlalu lama ia abaikan muncul di layar.

Aditya.

Aurelia menatap nama itu lama, lalu tersenyum kecil. Secepat ini? Ia bahkan belum sempat menarik napas lega, tapi Aditya sudah mulai bertingkah seperti yang ia duga.

Ia membiarkan dering itu berlalu. Sekali. Dua kali. Hingga akhirnya hening.

Tapi tak butuh waktu lama sebelum ponselnya kembali bergetar. Kali ini, lebih lama.

Aurelia menghela napas, lalu akhirnya mengangkatnya. "Ada apa?" tanyanya dingin.

Di seberang sana, suara Aditya terdengar kasar, sedikit tergesa. "Kita harus bicara."

Aurelia terkekeh, matanya menatap ke kejauhan dengan bosan. "Tentang apa? Tentang betapa lucunya melihat pacar barumu hampir menangis tadi?"

"Aurelia, ini bukan main-main."

"Oh, aku tahu." Ia menyesap winenya dengan santai. "Aku sangat serius saat bilang bahwa dia hanya satu dari sekian banyak wanita sepertinya."

Ada keheningan di seberang.

Aurelia tersenyum puas. Aditya pasti sedang menggertakkan giginya sekarang.

"Aku tidak akan membahas Karina," ujar Aditya akhirnya, suaranya lebih lembut. "Aku ingin membahas kita."

Aurelia tertawa renyah, kali ini tanpa menyembunyikan ejekannya. "Kita?"

"Ya, kita."

"Apa kau lupa?" suaranya tetap ringan, tapi menusuk. "Sudah tidak ada ‘kita’ sejak kau memilih mengkhianati semua yang pernah kita bangun bersama."

"Aku tidak pernah memilih untuk mengkhianatimu."

Aurelia mengerutkan kening, tak percaya laki-laki ini masih berani mengeluarkan kata-kata seperti itu. "Jangan menghinaku, Aditya. Kau pikir aku bodoh?"

"Aku hanya..." Aditya menghela napas. "Aku hanya kehilangan kendali. Itu bukan berarti aku tidak mencintaimu."

Aurelia meletakkan gelas winenya di pagar balkon, jemarinya mencengkeramnya erat. "Lalu, kau ingin aku bagaimana? Menerima bahwa kau hanya ‘kehilangan kendali’ dan memaafkanmu begitu saja?"

"Setidaknya dengarkan aku."

"Untuk apa?" Aurelia menggeleng sambil tersenyum dingin. "Supaya kau bisa mengulang semua kebohonganmu?"

Aditya terdiam.

Ada jeda yang panjang di antara mereka.

Aurelia menikmati momen itu. Momen di mana Aditya, untuk pertama kalinya, menyadari bahwa ia tidak akan bisa mengendalikan segalanya seperti yang biasa ia lakukan.

"Aku tidak bisa melepaskanmu, Aurelia."

Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat jantung Aurelia berdetak lebih cepat.

Ia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ia sudah tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari mulut Aditya terasa berbeda.

"Kau sudah melakukannya," jawabnya akhirnya.

"Tidak," Aditya bersikeras. "Aku pikir aku bisa, tapi aku tidak bisa."

Aurelia mendengus. "Dan kau baru menyadarinya sekarang? Setelah aku melihatmu dengan wanita lain?"

"Aku salah..."

Aurelia terkekeh lagi. "Kau selalu salah, Aditya. Dan aku selalu menjadi korban dari kesalahanmu."

Aditya terdiam, tapi ia tidak menutup telepon.

Aurelia tahu dia sedang berpikir, sedang mencari cara untuk membalikkan keadaan. Tapi tidak ada lagi yang bisa dibalikkan.

Lalu, Aditya berkata sesuatu yang membuat napas Aurelia tercekat.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Darahnya mendidih.

Ia menggigit bibirnya, menahan tawa sinis yang ingin meledak keluar. "Kau terlalu percaya diri."

"Aku mengenalmu, Aurelia. Kau bisa berpura-pura sekuat apapun, tapi aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar melupakanku."

Aurelia menutup matanya, merasakan amarah yang selama ini ia tahan mulai merayap naik.

Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada yang begitu lembut, tapi mematikan.

"Kau benar, Aditya."

Aditya terdiam, mungkin berpikir bahwa ia telah menang.

Tapi Aurelia belum selesai.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu."

Ada keheningan sejenak, sebelum Aurelia menambahkan, "Tidak ada orang yang akan lupa bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang paling mereka percaya."

Telepon terputus.

Aditya memandangi layar ponselnya, dadanya berdebar tak karuan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang benar-benar asing.

Ketakutan.

Bukan karena kehilangan, tapi karena mengetahui bahwa mungkin… hanya mungkin… kali ini, ia benar-benar telah kehilangan Aurelia untuk selamanya.

****

Aurelia menutup telepon dengan jemarinya yang gemetar. Ia membiarkan ponselnya tergeletak di meja balkon, menatapnya seolah itu benda asing yang baru saja membakar telapak tangannya.

Matanya menatap ke langit yang gelap, diwarnai gemerlap lampu kota yang tampak jauh di bawah sana. Angin malam berembus lembut, tapi dinginnya tak mampu menenangkan hatinya yang kembali bergejolak.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Suara Aditya masih bergema di kepalanya, berputar tanpa henti, menyusup ke setiap celah luka lama yang sudah susah payah ia sembuhkan.

Ia menghela napas panjang.

Tidak. Aku tidak boleh membiarkan ini berpengaruh padaku lagi.

Aurelia menyambar gelas wine-nya dan meneguknya dalam sekali tegukan. Rasa asam manisnya seharusnya bisa menenangkan, tapi malam ini, bahkan alkohol pun tak mampu meredakan amarah dan luka yang kembali terbuka.

Di tempat lain, di sebuah rumah yang pernah mereka bangun bersama, Aditya berdiri di depan jendela kamarnya yang luas. Lampu di ruangan itu temaram, menciptakan bayangan panjang dirinya di lantai marmer yang dingin.

Ponsel masih ada di genggamannya, tapi panggilan itu sudah berakhir.

Suaranya sendiri masih bergema di dalam pikirannya.

"Aku tahu kau masih mencintaiku."

Apa yang barusan ia katakan? Apa yang sebenarnya ia harapkan dari Aurelia?

Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kepalanya penuh. Pikirannya tak tenang.

Sebelumnya, ia selalu yakin bahwa jika ia menginginkan sesuatu, maka ia akan mendapatkannya kembali. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, keyakinan itu goyah.

Aurelia berbeda.

Wanita itu bukan Karina, bukan wanita lain yang bisa ia mainkan sesuka hatinya.

Aurelia tidak menangis, tidak memohon, tidak tersakiti seperti yang ia duga.

Sebaliknya, ia menyindir dengan senyum dingin, ia menghancurkan harga diri Aditya dengan kata-katanya, dan yang paling menyakitkan—ia pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Aditya meremas ponselnya.

Kenapa ia merasa seperti ini? Kenapa ia merasa seolah sesuatu yang penting sedang benar-benar terlepas dari genggamannya?

Di apartemen, Aurelia masuk ke dalam, membiarkan angin malam tertutup di balik pintu kaca yang besar. Ia berjalan ke arah sofa, melemparkan dirinya ke sana dan menutup wajah dengan kedua tangan.

"Aku tahu kau masih mencintaiku..."

Aurelia terkekeh miris.

Aditya memang brengsek. Begitu pandai memainkan kata-kata. Seolah-olah ia bisa datang kapan saja, berkata sesuka hatinya, dan dunia akan kembali berputar sesuai kehendaknya.

Tidak lagi.

Bukan lagi dirinya yang dulu.

Pikirannya kembali ke lima tahun yang mereka habiskan bersama. Setiap kenangan muncul seperti kilatan-kilatan yang menyakitkan.

Suara tawa mereka di pagi hari.

Pelukan hangat di malam yang dingin.

Kata-kata manis yang dulu membuatnya merasa istimewa.

Lalu... pengkhianatan itu.

Bagaimana ia berdiri di ambang pintu rumah mereka, memegang hasil tes kesehatan yang menyatakan dirinya sehat, sementara Aditya dengan santainya memilih mempercayai wanita lain yang mengatakan bahwa Aurelia mandul.

Bagaimana ia menemukan bukti demi bukti bahwa Aditya sudah mulai mencari "penggantinya" bahkan sebelum ia benar-benar pergi.

Bagaimana, di saat Aurelia berjuang untuk mempertahankan pernikahan mereka, Aditya justru sibuk menikmati hidup dengan wanita lain.

Aurelia meremas dadanya.

Sakit.

Tapi di balik sakit itu, ada sesuatu yang lain.

Kemenangan.

Karena malam ini, bukan ia yang tersiksa. Bukan ia yang menangis di sudut kamar dengan hati yang remuk.

Malam ini, Aditya yang tak bisa tidur.

Malam ini, giliran Aditya yang merasakan kehilangan.

Di rumah besar yang seharusnya terasa nyaman, Aditya menatap ruang kosong di samping ranjangnya. Tempat di mana dulu Aurelia biasa tidur, dengan punggungnya yang hangat dan napasnya yang lembut.

Dulu, ia tidak pernah memperhatikannya.

Tapi kini, kekosongan itu begitu nyata.

Ia mencoba berbaring, menutup mata, berharap bisa terlelap.

Tapi yang ia dengar hanya suara Aurelia.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu. Tidak ada orang yang akan lupa bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang paling mereka percaya."

Aditya membuka matanya lagi, tatapannya kosong menatap langit-langit.

Terlambat.

Mungkin kali ini, ia benar-benar sudah terlambat.

Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa ia terima.

Aditya meraih ponselnya lagi, kali ini dengan tekad yang lebih kuat.

Jika ia tidak bisa menghubungi Aurelia, maka ia akan menemukannya.

Karena ada sesuatu yang baru saja ia sadari.

Ia tidak pernah benar-benar bisa melepaskan Aurelia.

Dan ia tidak akan membiarkan Aurelia pergi begitu saja.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

Seruuuu.... saat si wanitanya bisa membalikkan keadaan dari pengkhianatan tsb 👍👍🤩

2025-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!