Pagi itu, Marsha duduk di meja makan dengan tenang, menikmati sarapannya sambil bersiap untuk pergi ke kampus. Aroma kopi hangat dan roti panggang sedikit mengangkat semangatnya setelah kejadian kemarin. Ia sudah berusaha mengabaikan pertemuannya dengan ibu Sean dan Lidya, memilih untuk fokus pada rutinitasnya sendiri.
Namun, kedamaian pagi itu hanya bertahan sejenak. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar memasuki ruang makan. Dengan angkuh, ibu Sean datang bersama Lidya, aura dominannya langsung memenuhi ruangan. Marsha yang awalnya masih bisa menahan diri, merasakan nafsu makannya menguap begitu saja.
“Kamu di sini rupanya,” suara ibu Sean terdengar dingin saat ia menarik kursi dan duduk di hadapan Marsha tanpa diundang.
Lidya ikut duduk dengan senyum tipis, tampak menikmati situasi ini.
Marsha meletakkan sendoknya dan menegakkan tubuhnya. “Ada yang bisa dibantu?” tanyanya dengan sopan, meskipun ia bisa merasakan bahwa percakapan ini tidak akan menyenangkan.
Ibu Sean menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum mendengus. “Jadi, kamu memang berasal dari keluarga biasa?”
Marsha menahan napas. Ia tahu wanita ini sudah pernah bertanya sebelumnya. Sepertinya ia hanya ingin memastikan sesuatu—atau lebih tepatnya, mencari alasan untuk meremehkannya.
“Aku memang dari keluarga biasa, Marsha Calloway.” jawab Marsha dengan tenang.
Ibu Sean terkekeh kecil, namun nadanya penuh sinisme. “Dulu keluarga Calloway cukup terpandang, tapi sekarang... hanyalah keluarga biasa yang nyaris terlupakan.” Ia menatap Marsha tajam. “Apa kamu benar-benar berpikir nama itu masih cukup berharga untuk menjadi istri Sean?”
Marsha mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia tahu ibu Sean hanya ingin menguji kesabarannya.
“Dengan segala hormat, Bu. Aku tidak menikahi Sean karena nama keluargaku. Kalau Sean memilih aku, itu keputusan dia sendiri.”
Lidya terkekeh pelan. “Tapi Sean selalu punya standar tinggi dalam segala hal, kan, Tante? Bukannya aneh kalau tiba-tiba dia pilih wanita dari keluarga yang dulu pernah berjaya, tapi sekarang hanya tinggal nama?”
Ibu Sean menyipitkan mata, lalu bersandar di kursinya dengan ekspresi penuh penilaian. “Aku tidak melihat apa pun yang istimewa darimu.”
Marsha menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya. Ia tahu dirinya tidak bisa mengubah pandangan wanita itu dalam semalam.
“Kalau Anda hanya ingin meremehkan saya, saya rasa tidak ada lagi yang perlu dibahas,” ujarnya dengan nada sopan tapi tegas. Ia berdiri dari kursinya, bersiap untuk pergi.
Namun, ibu Sean langsung menatapnya tajam. “Lihat ini! Bahkan belum apa-apa, kamu udah mau pergi? Nggak sopan!”
Marsha menggertakkan giginya. Ia ingin membalas, tetapi tahu bahwa apa pun yang ia katakan hanya akan semakin memperburuk keadaan.
Tanpa menghiraukan wanita itu, ia melangkah pergi. Saat ia mencapai pintu utama dan hendak masuk ke mobil, ia melihat sesuatu yang membuat langkahnya sedikit terhenti.
Mobil hitam yang sangat familiar itu melaju memasuki halaman rumah.
Sean.
Hati Marsha mencelos. Jadi dia pulang hari ini? Namun, Marsha tidak ingin terjebak dalam situasi ini lebih lama. Ia segera masuk ke dalam mobil dan menyuruh sopir untuk berangkat secepat mungkin.
Saat mobilnya mulai melaju, ia melirik ke luar jendela. Di kejauhan, ia melihat Sean berdiri dengan ekspresi terkejut. Matanya mengikuti mobil yang ditumpangi Marsha, dan sekejap, mereka bertukar pandang.
Marsha tahu Sean bisa melihat ekspresi kecewanya sebelum mobil itu benar-benar melaju meninggalkan rumah.
Sean berdiri diam, matanya terpaku pada mobil yang baru saja pergi. Hatinya terasa sedikit berat melihat tatapan Marsha yang seakan mengatakan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Ia baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya lebih cepat dari rencana, berharap bisa bertemu dengan istrinya. Namun, yang ia dapati justru ketegangan yang begitu terasa di rumahnya.
Dengan langkah panjang, ia berjalan masuk ke dalam rumah. Begitu memasuki ruang makan, ia mendapati ibunya dan Lidya masih duduk di sana dengan ekspresi seolah tak bersalah.
“Kamu pulang lebih cepat, Sayang,” kata ibu Sean dengan nada datar.
Sean menatapnya tajam. “Apa yang Mama lakukan ke Marsha?”
Ibu Sean mengangkat alis, lalu tertawa sinis. “Mama cuma mau memastikan sesuatu.”
Sean mengepalkan tangannya. “Dan mama melakukannya dengan cara memojokkannya?”
Lidya menyela dengan nada tenang, “Sean, kami cuma ngobrol biasa. Kalau Marsha merasa tersinggung, itu karena dia terlalu sensitif.”
Sean beralih menatap Lidya. Matanya penuh dengan ketidaksabaran. “Aku nggak mau ada drama seperti ini di rumahku.”
Ibu Sean berdiri, lalu melipat tangannya di dada. “Kamu pikir kamu bisa membuat keputusan tanpa melibatkan keluarga kamu? Kamu adalah bagian dari keluarga ini, Sean. Dan Mana tidak akan tinggal diam lihat kamu menikahi seseorang tanpa tau siapa dia sebenarnya.”
Sean menarik napas panjang. “Aku tahu siapa Marsha. Itu sudah cukup.”
“Tapi tidak cukup buat mama!” bentak ibu Sean. “Mama berhak tahu segalanya tentang wanita yang menikah dengan anak Mama.”
Sean memijit pelipisnya, merasa lelah. Ia tahu ibunya adalah wanita yang keras kepala, dan perdebatan ini tidak akan selesai dengan mudah.
Namun, yang lebih mengganggunya adalah ekspresi Marsha saat pergi tadi. Ia bisa melihat bahwa istrinya benar-benar kecewa, dan itu adalah sesuatu yang tidak ia sukai.
Setelah beberapa saat, Sean akhirnya berkata dengan nada tegas, “Aku nggak peduli Mama menerima Marsha atau nggak. Dia tetap istri aku. Dan aku tidak akan biarkan siapa pun memperlakukannya dengan tidak hormat.”
Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan ibunya dan Lidya dalam diam.
Lidya menatap punggung Sean, lalu tersenyum tipis. “Sepertinya kamu benar-benar terpikat sama dia,” gumamnya pelan.
Ibu Sean menghela napas. “Tante nggak akan tinggal diam, Lidya. Tante akan pastikan bahwa perempuan itu tidak mengambil tempat yang seharusnya bukan milik dia.”
Lidya menatap Ibu Sean itu dengan penuh pemikiran, lalu tersenyum kecil. “Aku akan bantu, Tante.”
Dan dengan itu, rencana mereka pun dimulai.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Dasar lidya pelakor...
2025-03-21
0