Marsha semakin tenggelam dalam kesibukannya di kampus. Tugas-tugas yang menumpuk, proyek kelompok, dan ujian yang semakin dekat membuatnya hampir tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Namun, ada satu hal yang tetap konstan dalam hidupnya—Vano.
Laki-laki itu masih terus berusaha mendekatinya. Tidak dengan cara yang mengganggu, tetapi dengan kesabaran yang membuat Marsha tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Hari ini, setelah kelas berakhir, Vano kembali berjalan di sampingnya, seperti yang sudah sering ia lakukan akhir-akhir ini.
"Kamu nampak lelah," ujar Vano, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Sudah makan?"
Marsha tersenyum kecil. "Belum."
"Kalau gitu, ayo makan dulu sebelum pulang."
Marsha menghela napas. Ia menghargai perhatian Vano, tetapi ia tahu semakin sering mereka terlihat bersama, semakin besar risiko yang akan dihadapi laki-laki itu. Sean mungkin tidak akan diam saja jika ia tahu.
"Vano..." Marsha menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahnya. "Aku nggak mau kamu terlibat masalah karena terus dekat denganku."
Vano menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Aku nggak peduli, Marsha. Aku cuma mau berteman dengan kamu. Nggak ada yang salah, kan?"
Marsha terkejut. Ia tidak menyangka jawaban Vano akan sejujur itu.
"Tapi—"
"Aku tahu siapa suami kamu," potong Vano, kali ini nada suaranya lebih serius. "Aku tahu dia bukan pria yang bisa dianggap remeh. Tapi, aku bukan pengecut yang akan menjauh hanya karena takut."
Marsha terdiam. Ada sesuatu dalam sorot mata Vano yang membuatnya merasa... dihargai. Tidak banyak orang yang mau dan berani berdiri di sampingnya setelah tahu siapa Sean.
Namun, sebelum Marsha sempat membalas, suara berat yang begitu familiar memecah kebisuan.
"Aku nggak nyangka kalau nama aku masuk dalam obrolan kalian.”
Marsha terkejut. Napasnya sempat tertahan sebelum ia menoleh ke belakang, jantungnya berdebar lebih cepat saat melihat siapa yang berdiri di sana. Sean berdiri di belakang mereka, mengenakan setelan formal berwarna gelap yang semakin menonjolkan auranya yang mendominasi. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dan sorot matanya tajam, menusuk langsung ke arah Vano.
Marsha bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat.
"Sean..." gumamnya pelan.
Vano, di sisi lain, tetap tenang. Ia tidak mundur atau menunjukkan tanda ketakutan.
"Kami cuma ngobrol," kata Vano santai.
Sean mendekat, langkahnya penuh kewibawaan. "Aku yakin itu yang ada di benakmu," balasnya dengan nada dingin.
Marsha langsung berdiri di antara mereka, tidak ingin situasi menjadi lebih buruk.
"Sean, kita harus pulang." Ia menarik lengan suaminya dengan lembut.
Namun, Sean tetap tidak melepaskan tatapannya dari Vano.
"Kau tahu, Vano," katanya pelan, tetapi penuh tekanan, "Kalau kau memang hanya mau berteman dengan Marsha, aku harap kau cukup pintar untuk tahu batasannya."
Vano menatap Sean tanpa gentar. "Aku tahu batasanku. Tapi, aku juga tahu bahwa Marsha adalah individu yang bisa memilih sendiri dengan siapa dia ingin berteman."
Marsha membeku. Tidak ada yang pernah berbicara kepada Sean seperti itu sebelumnya.
Sorot mata Sean sedikit menyipit, ekspresinya tetap datar, tetapi ada sesuatu yang sulit ditebak dalam tatapannya. Ia membiarkan kata-kata itu menggantung beberapa detik sebelum akhirnya menyeringai kecil.
"Menarik." gumamnya, matanya tetap dingin. Entah meremehkan atau menyimpan sesuatu dalam pikirannya.
Lalu, tanpa berkata apa pun lagi, ia menarik Marsha lebih dekat ke sisinya.
"Kita pergi," katanya tegas.
Marsha hanya bisa mengikuti, sementara Vano tetap berdiri di tempatnya, menatap mereka pergi dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Di dalam mobil, keheningan terasa begitu berat. Marsha menyandarkan kepalanya ke jendela, mencoba menenangkan pikirannya, sementara Sean tetap fokus pada jalan, wajahnya tak terbaca. Jemari pria itu menggenggam kemudi dengan erat, seakan menahan sesuatu
"Aku dan Vano cuma berteman," katanya akhirnya.
Sean tetap diam.
"Kamu nggak perlu bersikap berlebihan seperti tadi."
Sean tertawa kecil, tetapi tidak terdengar menyenangkan. "Bersikap berlebihan?" Ia menoleh ke arah Marsha sekilas. "Aku cuma memastikan orang itu tahu tempatnya."
"Dia nggak ngapa-ngapain," balas Marsha, mulai kesal.
Sean mencibir. "Menurut kamu nggak. Tapi, aku tahu bagaimana pikiran pria bekerja, Marsha. Jangan naif."
Marsha menghela napas frustrasi. "Vano bukan orang jahat."
Sean tidak menjawab. Ia hanya mempercepat laju mobil, seolah ingin mengakhiri pembicaraan. Marsha tahu, tidak peduli seberapa banyak ia berusaha menjelaskan, Sean tidak akan berubah pikiran. Dan entah mengapa, hal itu membuatnya semakin lelah.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Sean tidak rela jd miliknya dkt dgn pria lain...
2025-03-21
0