Marsha dan Vano menghabiskan waktu cukup lama di kafe. Percakapan mereka mengalir tanpa hambatan, seperti dua sahabat lama yang kembali menemukan kehangatan dalam kebersamaan. Tidak ada ketegangan, tidak ada aturan yang mengekang, tidak ada tatapan tajam penuh penghakiman—hanya mereka, berbicara tentang hal-hal ringan yang sudah lama tidak Marsha rasakan.
Ia tertawa kecil ketika Vano menceritakan pengalamannya berlibur ke pantai bersama teman-temannya.
"Kapan-kapan kamu harus kesana, Marsha. Pemandangannya luar biasa," kata Vano antusias.
Marsha tersenyum tipis. "Terdengar menyenangkan."
"Tentu saja. Kalau kamu mau, aku bisa jadi pemandumu."
Marsha tertawa pelan. "Aku ragu Sean bakal kasih izin pergi gitu aja."
Vano terdiam sesaat, sorot matanya berubah lebih serius. "Jujur aja, aku penasaran… apa yang buat kamu mau menikah dengannya?"
Pertanyaan itu membuat Marsha tersentak. Ia menatap ke luar jendela, menghindari tatapan Vano.
"Alasan klasik," jawabnya singkat. "Demi keluarga."
Vano menghela napas. "Aku masih sulit percaya. Kamu yang dulu selalu berbicara tentang kebebasan, tentang memilih jalan hidup sendiri… sekarang terikat dalam pernikahan yang sepertinya nggak kamu mau."
Marsha mengerti keheranan Vano. Dirinya yang dulu memang berbeda jauh dengan dirinya sekarang. Tetapi, ia tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Sebelum ia sempat menjawab, seorang pria berpakaian hitam melangkah mendekati meja mereka. Salah satu pengawal yang selalu berada di sekitarnya atas perintah Sean.
"Bu," panggil pria itu dengan nada sopan namun tegas. "Pak Sean minta Bu Marsha untuk pulang sekarang."
Marsha membeku. Bahkan di luar rumah pun, ia tetap berada dalam kendali Sean.
Vano menatap pria itu dengan tatapan tidak suka. "Apa dia nggak boleh menikmati waktunya lebih lama?"
Pengawal itu tidak menanggapi, tetap berdiri tegak dengan ekspresi netral.
Marsha menghela napas, menenangkan gejolak dalam hatinya. "Aku harus pergi," ujarnya pada Vano.
Vano tampak tidak senang, tetapi ia tetap tersenyum kecil. "Oke. Hati-hati."
Marsha mengangguk sebelum bangkit dari kursinya. Namun, saat ia berbalik, ia bisa merasakan Vano masih menatapnya.
Sepanjang perjalanan pulang, Marsha hanya menatap kosong ke luar jendela mobil. Rasanya seperti ada tali tak kasat mata yang semakin menjeratnya erat.
Begitu tiba di rumah, Marsha langsung menuju kamarnya. Ia tidak ingin bertemu dengan Sean sekarang. Namun, saat membuka pintu kamar, ia dikejutkan oleh sosok pria itu yang sudah menunggunya di dalam, duduk di sofa dengan ekspresi dingin.
"Kamu pulang terlambat."
Nada suaranya terdengar santai, tetapi Marsha tahu ada kemarahan terselubung di baliknya.
"Aku cuma mau menikmati waktu sebentar," jawab Marsha sambil menutup pintu di belakangnya.
Sean bangkit dari sofa, melangkah mendekatinya. "Menikmati waktu? Dengan laki-laki lain?"
Marsha mengeraskan rahangnya. "Vano cuma teman."
Sean tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar sinis. "Dan kamu pikir aku bakal percaya gitu aja?"
"Apa masalahnya?" Marsha menatap Sean tajam. "Aku cuma ngobrol dengan dia. Aku nggak ngapa-ngapain, ataupun melakukan hal yang aneh."
Sean melangkah lebih dekat, membiarkan jarak di antara mereka menipis. "Masalahnya, kamu adalah istriku, Marsha."
Marsha menelan ludah, tetapi ia tidak mundur. "Dan itu berarti aku nggak boleh punya teman?"
Sean menatapnya lama, seakan menimbang kata-katanya sebelum akhirnya berkata, "Kamu boleh punya teman. Tapi bukan laki-laki yang jelas-jelas menginginkan kamu."
Marsha terkejut mendengar pernyataan itu. "Vano tidak—"
"Jangan naif." Sean menyela, suaranya lebih rendah tetapi penuh tekanan. "Aku pria, Marsha. Aku tahu cara pria memandang wanita yang mereka inginkan."
Marsha menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membela diri.
"Aku nggak bisa terus hidup seperti ini, Sean," ucapnya akhirnya. "Aku merasa seperti tahanan di rumah ini."
Sean menatapnya dalam-dalam. "Kamu bukan tahanan. Kamu istriku."
"Tapi kamu tidak pernah memperlakukanku seperti istri."
Hening.
Sean terdiam, sorot matanya sedikit berubah, seolah kata-kata Marsha menyentuh sesuatu dalam dirinya. Namun, dalam sekejap, ekspresinya kembali dingin.
"Aku nggak mau bertengkar malam ini," katanya, kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu.
Sebelum keluar, ia menoleh sebentar. "Jangan ketemu dengan dia lagi."
Lalu pintu tertutup, meninggalkan Marsha yang berdiri diam di tempatnya, merasa semakin terkurung dalam batasan yang ditetapkan oleh Sean.
...---...
Pagi itu, Marsha terbangun dengan dada yang terasa sesak. Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya, berusaha mengusir sisa ketegangan dari perdebatan semalam.
Saat ia berjalan keluar dari kamar, seorang pelayan datang menghampirinya.
"Bu, Pak Sean minta Bu Marsha untuk sarapan sama-sama di ruang makan."
Marsha mengerjap. Ini adalah pertama kalinya Sean memintanya untuk makan bersama. Biasanya, mereka selalu makan sendiri-sendiri.
Dengan perasaan campur aduk, Marsha menuju ruang makan. Begitu ia masuk, Sean sudah duduk di ujung meja, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak santai, tetapi matanya tetap tajam seperti biasa.
Marsha duduk di kursinya, mencoba mengabaikan ketegangan di antara mereka.
"Ada sesuatu yang mau aku bilang," kata Sean tiba-tiba.
Marsha mengangkat alis. "Apa?"
"Aku harus pergi ke luar kota selama beberapa hari untuk urusan bisnis," kata Sean. "Aku mau kamu tetap di rumah selama aku pergi."
Marsha menatapnya. "Aku bisa jaga diri sendiri, Sean."
"Aku tahu. Tapi aku nggak mau ada kejadian yang nggak penting selama aku nggak ada."
Marsha tahu yang dimaksud Sean adalah Vano.
"Apa kamu benar-benar nggak percaya sama aku?" tanyanya pelan.
Sean menatapnya cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Aku percaya kamu, tapi aku nggak bisa percaya sama dunia yang bisa dengan mudah ambil kamu dari aku."
Kata-kata itu membuat Marsha terdiam.
Setelah sarapan, Marsha kembali ke kamarnya, duduk di dekat jendela besar yang menghadap taman belakang. Pikirannya dipenuhi oleh kebingungan. Sean adalah teka-teki yang sulit dipecahkan.
Ia membatasi Marsha, tetapi di saat yang sama, ia juga melindunginya. Ia dingin, tetapi juga menunjukkan perhatian dengan caranya sendiri. Marsha tidak tahu harus merasa bagaimana. Tetapi satu hal yang pasti—perasaan di dalam hatinya mulai berubah. Dan itu membuatnya takut.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
patuhi aja perkataan suamimu marshal jaga jarak dgn Vano..
2025-03-21
0