Hari ini di kampus, Vano kembali mendekati Marsha dengan caranya yang khas—tenang, tidak berlebihan, tetapi tetap terasa tulus. Ia selalu mencari celah untuk berada di dekatnya, entah dengan alasan membahas tugas atau sekadar berbicara tentang hal-hal ringan yang membuat Marsha nyaman.
Marsha tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran Vano sedikit membuat hari-harinya lebih mudah. Setidaknya, ia merasa masih memiliki kebebasan untuk berbicara dengan seseorang tanpa harus merasa seperti burung dalam sangkar.
Ketika waktu pulang tiba, Vano dengan santai berjalan di samping Marsha.
"Aku antar sampai depan, ya?" tawarnya.
Marsha mengangguk tanpa berpikir panjang. Vano memang sering menemaninya hingga gerbang kampus, seolah itu sudah menjadi kebiasaan. Mereka mengobrol sepanjang jalan, membicarakan hal-hal ringan seperti dosen yang terlalu perfeksionis atau mata kuliah yang mulai terasa berat.
Namun, langkah Marsha tiba-tiba terhenti begitu ia melihat sosok yang berdiri di dekat mobil mewah berwarna hitam di area parkiran. Dada Marsha berdegup kencang.
Sean. Ia bersandar pada kap mobil dengan tangan terlipat di dada, menatap Marsha dengan sorot mata tajam yang membuatnya tidak berkutik. Marsha menelan ludah. Apa yang sedang dilakukan pria itu di sini?
Vano, yang menyadari perubahan sikap Marsha, mengikuti arah pandangnya. Ia memperhatikan pria yang menunggu di sana, lalu berbisik pelan, "Siapa dia?"
Marsha tidak langsung menjawab. Ia terlalu sibuk mengatur napasnya agar tetap stabil.
Sean melangkah mendekat dengan postur tegap, sorot matanya tajam dan tak terbaca. Setiap langkahnya seolah membawa tekanan yang sulit diabaikan.
Vano, meskipun tidak mengenalnya, tampak menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul. Ia tidak mundur, tetapi matanya penuh kewaspadaan saat Sean berhenti hanya beberapa langkah dari mereka.
"Naik," kata Sean singkat, suaranya rendah tetapi tegas.
Marsha menegang. Ia bisa merasakan tatapan Vano yang menunggu jawabannya.
"Apa kamu kenal dia, Marsha?" Vano bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Marsha akhirnya menarik napas dalam dan menjawab dengan pelan, "Ya... Dia suamiku."
Ekspresi Vano berubah dalam sekejap. Ia terlihat terkejut, lalu dengan cepat menyembunyikan reaksinya. Namun, Marsha yang cukup mengenalnya bisa melihat kilatan emosi dalam sorot matanya.
Sean tidak memberikan kesempatan bagi Vano untuk berbicara lagi. Ia langsung menarik lembut pergelangan tangan Marsha dan membimbingnya menuju mobil.
"Sean, aku bisa jalan sendiri," protes Marsha lirih, tetapi pria itu tidak melepaskan genggamannya.
Vano tetap berdiri di tempatnya, menyaksikan bagaimana Marsha dibawa pergi tanpa bisa berbuat apa-apa. Ada sesuatu dalam ekspresinya—kecewa, atau mungkin kesedihan yang tidak ia tunjukkan secara gamblang.
Mobil Sean melaju meninggalkan parkiran kampus, meninggalkan Vano yang masih berdiri mematung di tempatnya. Di dalam mobil, Marsha menatap lurus ke depan, mencoba meredakan kegelisahannya.
"Kenapa kamu datang?" tanyanya akhirnya, memecah keheningan di antara mereka.
Sean tidak langsung menjawab. Ia hanya mengemudi dengan tenang, ekspresinya tetap datar seperti biasa.
"Memangnya aku nggak boleh jemput istriku sendiri?" jawabnya akhirnya, nada suaranya terdengar ringan tetapi penuh makna.
Marsha mendesah. "Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya."
"Karena sebelumnya aku tahu kamu bisa pulang sendiri. Tapi hari ini, aku lihat sesuatu yang lain."
Marsha mengernyit. "Maksud kamu?"
Sean meliriknya sekilas. "Laki-laki itu."
Marsha menggigit bibirnya. "Dia cuma teman."
Sean tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Benarkah?"
Marsha menghela napas panjang, lelah dengan permainan kata-kata Sean. "Aku nggak ngerti kenapa kamu harus datang ke kampus cuma karena Vano. Aku punya kehidupan di luar rumah, Sean."
Sean tidak langsung menjawab. Ia hanya terus mengemudi, hingga akhirnya berkata dengan nada yang lebih serius, "Aku nggak peduli bagaimana hidup kamu di luar rumah, tapi jangan harap ada orang lain yang merebut apa yang sudah menjadi milikku."
Marsha menoleh dengan cepat, hatinya mencelos. "Apa maksud kamu?"
Sean menepikan mobilnya, lalu menatapnya dalam. "Pernikahan ini mungkin tidak berdasarkan cinta, tapi itu bukan berarti aku bakal diam aja lihat istri sendiri terlalu dekat dengan pria lain."
Marsha tertegun. Ada sesuatu dalam tatapan Sean yang membuatnya sulit bernapas sejenak.
"Jadi kamu datang cuma untuk memperjelas kepemilikan kamu?" tanyanya, suaranya lebih tenang tetapi penuh dengan emosi yang tertahan.
Sean mengangkat bahu. "Anggap saja begitu."
Marsha ingin membalas, ingin menegaskan bahwa dirinya bukan sekadar properti yang bisa diklaim. Tapi entah kenapa, tatapan Sean yang begitu mendominasi membuatnya kehilangan kata-kata. Akhirnya, ia hanya memalingkan wajah dan menatap ke luar jendela.
Mobil kembali melaju, tetapi kali ini keheningan yang menyelimuti mereka terasa lebih berat daripada sebelumnya.
Sesampainya di rumah, Marsha langsung masuk ke dalam kamarnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Sean. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan mereka.
Vano selalu ada di sisinya dengan tulus, tetapi mengapa saat melihat Sean tadi, ia merasakan sesuatu yang berbeda? Apakah ini rasa takut? Atau sesuatu yang lebih dari itu?
Marsha memejamkan matanya, mencoba mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang mulai memenuhi kepalanya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Sean kayaknya dah muLai jatuh cinta padamu marshal...
2025-03-21
0