Vano bergegas menyusul Marsha yang baru saja keluar dari perpustakaan. Langkahnya cepat, nyaris berlari. Vano—teman sekelas Marsha yang selama Ini diam-diam memperhatikannya—akhirnya menemukan kesempatan untuk mendekatinya.
Selama ini, ia selalu mencari alasan untuk bisa lebih dekat dengan gadis itu, tetapi Marsha selalu terasa jauh, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Hari ini, ia tidak akan membiarkan kesempatan itu terlewat begitu saja.
"Marsha!" panggilnya dengan napas sedikit tersengal saat akhirnya berhasil menyusulnya.
Marsha yang sedang berjalan santai menoleh, sedikit terkejut melihat Vano di sampingnya. Ia mengenalnya sebagai salah satu teman sekelasnya, tetapi mereka tidak pernah benar-benar akrab.
Vano tersenyum ramah. "Kamu buru-buru?" tanyanya, mencoba membuka obrolan.
Marsha menggeleng. "Nggak, cuma mau pulang lebih cepat."
"Kebetulan sekali. Aku juga mau pulang. Boleh aku temani?"
Marsha menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. Ia tidak melihat alasan untuk menolak. Lagipula, perjalanan dari kampus ke parkiran tidak jauh.
Mereka berjalan berdampingan di koridor kampus yang mulai lengang. Matahari sore bersinar hangat, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.
"Kamu sering ke perpustakaan?" tanya Vano, mencoba mencairkan suasana.
"Kadang-kadang," jawab Marsha singkat.
"Kamu suka baca buku?"
Marsha tersenyum tipis. "Suka, tapi nggak terlalu sering. Aku lebih sering ke perpustakaan untuk mencari ketenangan."
Vano mengangguk, berusaha menyimpan setiap informasi kecil tentang Marsha di kepalanya. Ia selalu ingin tahu lebih banyak tentang gadis ini, tetapi selama ini ia hanya bisa mengamati dari jauh.
"Kalau boleh tahu, buku apa yang tadi kamu pinjam?"
Marsha menunjukkan buku yang masih dipegangnya. "Novel klasik. Aku suka baca cerita yang penuh makna."
Vano tertawa kecil. "Nggak heran sih, kamu emang kelihatan suka yang berkelas."
Marsha hanya tersenyum tipis. Mereka sampai di depan parkiran. Marsha hendak berjalan menuju mobilnya ketika Vano tiba-tiba berbicara lagi.
"Marsha…"
Marsha berhenti dan menoleh. "Ya?"
Vano tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku boleh minta nomor kamu?"
Marsha terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons permintaan itu.
Sejak menikah dengan Sean, ia hampir tidak pernah memberikan nomor teleponnya kepada orang lain, apalagi laki-laki. Bukan karena takut, tetapi ia tahu bahwa kehidupannya kini berbeda.
"Aku cuma mau berteman," lanjut Vano cepat, seolah bisa membaca keraguannya. "Kalau kamu keberatan, nggak apa-apa."
Marsha menimbang sejenak. Ia tidak ingin bersikap kasar, tetapi ia juga harus menjaga batasannya.
"Maaf, Vano," katanya akhirnya. "Aku nggak bisa."
Vano terdiam, tetapi ia tidak terlihat marah atau kecewa. Ia hanya tersenyum kecil.
"Oke, aku mengerti," katanya dengan nada santai, meskipun ada sedikit kekecewaan yang tersirat dalam matanya.
Marsha mengangguk sedikit, lalu melanjutkan langkahnya menuju mobil. Vano hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, lalu menghela napas pelan. Ia tahu Marsha berbeda dari gadis lain. Dan itu justru membuatnya semakin tertarik.
Malam harinya, Marsha kembali ke rumah dengan perasaan lelah. Ia meletakkan tasnya di sofa sebelum berjalan menuju meja makan.
Seperti biasa, Sean belum pulang.
Ia duduk dan menatap piring makanannya tanpa nafsu. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, tetapi ia tidak tahu pasti apa itu.
Apakah tentang pernikahannya? Atau tentang kehadiran Vano yang tiba-tiba? Marsha menghela napas. Ia masih belum terbiasa dengan kehidupan barunya, dan entah mengapa, setiap hari terasa semakin rumit.
Tanpa sadar, pikirannya kembali mengingat pertemuan dengan Vano sore tadi. Vano terlihat tulus, tidak memaksakan apa pun. Tapi tetap saja, ia merasa harus menjaga jarak. Karena ia tahu, di dunia yang ia jalani sekarang, perasaan bukan lagi sesuatu yang bisa ia biarkan berkembang tanpa batas.
Sean pulang larut malam, seperti biasa. Kali ini, ia tidak mabuk, tetapi wajahnya terlihat lelah. Saat masuk ke dalam rumah, ia langsung melihat Marsha yang masih duduk di meja makan, meskipun makanannya sudah tidak tersentuh.
"Kamu belum tidur?" tanyanya dengan nada datar.
Marsha mengangkat bahu. "Belum ngantuk."
Sean mengangguk kecil lalu melepas jasnya, menggantungnya di kursi sebelum menuangkan segelas air.
Ia menatap Marsha sesaat sebelum akhirnya bertanya, "Ada yang mau kamu bicarakan?"
Marsha terdiam, lalu menggeleng. "Nggak ada."
Sean tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu Marsha masih menyimpan banyak hal dalam pikirannya, tetapi ia juga tahu bahwa gadis itu tidak akan berbicara jika tidak ingin.
"Kalau begitu, tidur lah. Jangan begadang," katanya singkat sebelum beranjak ke kamarnya.
Marsha menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. Sekali lagi, ia merasakan perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Dua pria hadir dalam hidupnya dengan cara yang berbeda. Dan ia tidak tahu mana yang lebih berbahaya—kedekatan Vano yang menawarkan ketulusan, atau Sean yang semakin membuatnya tenggelam dalam kebingungan.
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Marshal sadar diri telah menikah dgn sean menjaga jarak dgn Vano..
2025-03-21
0
ASH
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
2025-03-15
0