Sudah hampir sepekan Marsha tidak pernah benar-benar melihat Sean di rumah. Pria itu selalu pulang larut malam, bahkan sering kali saat ia sudah tertidur. Ia tidak bertanya—tidak merasa perlu. Sejak awal, pernikahan ini bukan tentang cinta.
Namun, malam ini berbeda. Bunyi benda terjatuh menggema di dalam kamar yang sunyi, membangunkan Marsha dari tidurnya. Ia mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan sebelum akhirnya duduk dan menajamkan pendengarannya. Suara napas berat terdengar di sudut ruangan.
“Sean?” panggilnya pelan, suaranya masih serak karena baru bangun.
Tidak ada jawaban. Marsha mengerutkan kening dan turun dari tempat tidur, langkahnya hati-hati mendekati asal suara. Ketika matanya akhirnya menangkap sosok Sean yang terduduk di lantai dekat pintu, ia tersentak.
Refleks, ia menyalakan lampu, membuat kamar itu langsung diterangi cahaya lembut. Saat itulah ia melihat dengan jelas keadaan Sean—kemeja pria itu kusut, beberapa kancing terlepas, dasinya terurai lepas, dan rambutnya berantakan. Namun, yang paling mencolok adalah bau alkohol yang langsung menusuk hidungnya, memenuhi ruangan dengan aroma menyengat.
“Sean…?”
Pria itu hanya menggerakkan kepalanya sedikit, matanya sayu dan kosong. Wajahnya merah, napasnya berbau alkohol yang kuat.
Jantung Marsha berdetak lebih cepat. Ia tidak pernah berurusan dengan orang mabuk sebelumnya. Apalagi pria yang kini berstatus sebagai suaminya.
Sesaat, ia ragu. Tapi melihat bagaimana Sean terduduk dengan lemah, ia akhirnya berjongkok di sampingnya.
“Kamu baik-baik aja?” tanyanya, mencoba tetap tenang.
Sean tidak menjawab, hanya mendengus kecil sebelum menundukkan kepala. Marsha menghela napas panjang.
“Bisa berdiri?” tanyanya lagi, kali ini sambil menyentuh lengannya, mencoba membantunya.
Namun, begitu tangannya menyentuh kulit pria itu, Sean tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Marsha tersentak. Ia menatap wajah pria itu dengan jantung berdebar, tetapi Sean tidak mengatakan apa pun. Matanya yang sedikit merah hanya menatap Marsha dalam diam, ekspresinya sulit ditebak.
“Sean… lepas.” Marsha mencoba menarik tangannya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat.
Lalu tiba-tiba, Sean tertawa kecil. Tertawa? Marsha semakin bingung. Tawa itu samar, tetapi mengandung kepedihan yang entah dari mana datangnya.
“Aku muak… dengan semuanya…” gumam Sean dengan suara berat.
Marsha menelan ludah, tidak tahu harus menanggapinya seperti apa. Sean memang selalu terlihat dingin dan sulit ditebak, tetapi malam ini, ia seperti orang yang benar-benar berbeda.
Setelah beberapa detik, Sean akhirnya melepaskan genggaman tangannya sendiri. Marsha segera menarik tangannya dan mengusap pergelangan tangannya yang sedikit memerah. Ia menghela napas, berusaha berpikir jernih.
"Sean, kamu harus ke tempat tidur," katanya, mencoba terdengar tegas.
Pria itu tidak merespons, tetapi Marsha tidak mau menyerah. Ia menyelipkan satu tangan di bawah lengan Sean dan mencoba menariknya berdiri. Tugas yang lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Sean lebih tinggi dan berat darinya, sementara tubuh pria itu nyaris sepenuhnya bergantung padanya.
“Ya ampun, kenapa kamu seberat ini…” gumam Marsha, berusaha keras menyeimbangkan tubuh mereka berdua.
Setelah beberapa usaha yang hampir membuatnya ikut terjatuh, akhirnya ia berhasil membawanya ke ranjang. Sean terduduk di tepi ranjang, kepalanya tertunduk dengan napas yang masih berat. Marsha berjongkok di depannya, menatapnya ragu-ragu.
“Kamu mau aku ambil air?” tanyanya. Sean tidak menjawab.
Marsha menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke meja kecil untuk mengambil segelas air. Ketika ia kembali, Sean masih dalam posisi yang sama, seolah tidak bergerak sejak tadi. Marsha duduk di sampingnya dan menyodorkan gelas itu.
“Minum sedikit.”
Kali ini, Sean merespons. Ia melirik gelas itu dengan mata sayu, sebelum akhirnya mengambilnya dari tangan Marsha. Ia meneguk beberapa kali sebelum mengembalikannya. Marsha menerima gelas itu dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.
“Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?” tanyanya pelan.
Sean tidak langsung menjawab. Lalu, setelah beberapa detik, ia hanya menggeleng kecil dan berbaring ke belakang, menatap langit-langit dengan mata kosong.
Marsha tidak menekan lebih jauh. Ia tahu Sean tidak akan menjawab jika tidak mau. Dengan hati-hati, ia menarik selimut dan menyelimutinya.
Mungkin, besok pagi Sean akan kembali seperti biasa. Kaku, dingin, dan tak tersentuh. Namun, malam ini… Marsha melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang rapuh, yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya—apakah pria ini benar-benar sekeras yang ia pikirkan? Atau ada sesuatu yang jauh lebih dalam yang belum ia ketahui?
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Sean terlihat dingin dan datar tp sebenarnya sangat rapuh kayak ada beban pikiran yg berat.....
2025-03-21
0