Marsha duduk diam di atas ranjang, memeluk kedua lututnya. Kegelapan di luar jendela sudah semakin pekat, menandakan malam telah larut. Namun, ia sama sekali tidak merasa mengantuk.
Sejak kembali dari kampus, ia belum menyentuh makanan sedikit pun. Bukan karena tidak lapar, tetapi karena pikirannya terlalu penuh dengan kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Peraturan-peraturan yang Sean berikan semakin menegaskan bahwa pernikahan ini bukan sekadar ikatan di atas kertas, melainkan juga sangkar yang mengikatnya.
Ketika seorang pelayan datang untuk kedua kalinya mengingatkan bahwa makan malam telah disiapkan, Marsha kembali menolak dengan halus.
"Aku nggak lapar," katanya pelan.
Pelayan itu tampak ragu, seakan ingin membujuknya lagi, tetapi pada akhirnya ia hanya menunduk hormat sebelum keluar dari kamar.
Marsha menarik selimutnya, berusaha tidur dan mengabaikan rasa kosong di perutnya. Namun, tidurnya gelisah, dipenuhi mimpi-mimpi samar yang membuatnya semakin lelah.
Ia terbangun ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya masih berat, tetapi ia memaksa dirinya untuk mengintip siapa yang datang. Dalam cahaya redup, ia melihat Sean memasuki kamar dengan langkah tenang.
Marsha melirik jam di meja kecil di samping ranjang—hampir pukul sebelas malam. Sean tidak sendiri. Di belakangnya, seorang pelayan membawakan nampan berisi makanan.
Tanpa banyak bicara, Sean meletakkan jasnya di kursi, lalu menatap Marsha yang masih duduk di atas ranjang dengan ekspresi kosong.
"Sebaiknya kamu makan," katanya dengan nada datar. "Jangan pernah tidur dengan perut kosong."
Setelah mengatakan itu, ia berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Marsha yang masih berusaha memahami situasi.
Pelayan yang membawakan makanan itu melangkah mendekat dengan sopan, lalu meletakkan nampan di atas meja kecil di samping ranjang. Aroma makanan yang masih hangat langsung menguar di udara, membuat perut Marsha mengeluarkan suara pelan.
Pelayan itu tersenyum kecil, lalu berbisik lembut, “Sebaiknya Bu Marsha makan, walaupun hanya sedikit.”
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, pelayan itu menunduk hormat dan melangkah keluar, meninggalkan Marsha dalam keheningan.
Marsha menghela napas panjang. Ia mengalihkan pandangannya ke makanan di hadapannya—semangkuk sup hangat dengan roti di sampingnya.
Rasa lapar mulai menguasainya, meskipun ia masih enggan untuk makan. Namun, ia juga tahu jika terus menolak, tubuhnya sendiri yang akan menderita.
Dengan enggan, ia mengambil sendok dan mulai menyuapkan sup itu ke mulutnya. Kehangatan cairan itu sedikit menghiburnya, seolah menghangatkan kekosongan di dalam dadanya.
Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Sean keluar dengan rambut yang masih basah, mengenakan pakaian tidur yang sederhana tetapi tetap terlihat berkelas.
Marsha menghentikan gerakannya, tetapi pria itu bahkan tidak melihat ke arahnya. Ia hanya berjalan menuju lemari, mengambil sesuatu, lalu kembali duduk di sofa panjang di sudut kamar sambil membaca sesuatu di ponselnya.
Keheningan itu terasa canggung.
Marsha melanjutkan makannya dalam diam, berusaha tidak terlalu memikirkan kehadiran Sean. Namun, ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya—mengapa pria itu repot-repot menyuruhnya makan?
Bukankah ia sudah mengatakan dengan jelas bahwa pernikahan ini bukan karena cinta? Lalu, kenapa ia masih peduli?
Marsha menyelesaikan makanannya dan meletakkan kembali sendok di atas nampan. Ia menatap Sean yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Aku udah makan,” ucapnya pelan, mencoba membuka percakapan.
Sean tidak langsung menanggapinya. Ia hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Marsha menahan napas.
“Terima kasih,” tambahnya, meskipun ia sendiri tidak yakin mengapa ia mengucapkannya.
Kali ini, Sean menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. “Aku cuma nggak mau punya istri yang pingsan karena kelaparan.”
Nada bicaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi, tetapi tetap menyisakan luka kecil di hati Marsha. Ia mengatupkan bibirnya rapat. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa mungkin Sean benar-benar peduli, tetapi ucapan itu mengingatkannya kembali bahwa semua ini hanyalah formalitas.
Ia tidak lebih dari seseorang yang terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan, sementara pria itu hanya memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya.
Tanpa berkata lagi, Marsha berbaring di ranjang dan menarik selimutnya, memunggungi Sean. Malam ini, sekali lagi ia merasa seperti burung dalam sangkar—dan sangkar itu semakin lama semakin terasa sempit.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Sean emang sangat dingin dan datar sikapnya terhadap marshal mall menikah krn terpaksa....
2025-03-21
0
Pluto
Bagaimana cerita selanjutnya, author? Update dulu donk! 😡
2025-03-15
0