Marsha terbangun dengan perasaan ganjil. Matanya menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang menerobos melalui tirai jendela besar. Ruangan ini terasa asing, terlalu luas, terlalu dingin. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok Sean, namun pria itu sudah tidak ada.
Tanpa sadar, ia menghela napas lega. Setidaknya pagi ini ia bisa bernapas tanpa harus berhadapan dengan tatapan tajamnya.
Dengan langkah malas, ia turun dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk bersiap. Hari ini ia harus kuliah. Setidaknya, rutinitas itu bisa memberinya sedikit rasa normal di tengah hidupnya yang kini tak lagi miliknya.
Namun, saat ia melangkah turun ke lantai bawah, sesuatu membuatnya tersadar—rumah ini terlalu besar hanya untuk dihuni dua orang.
Lorong panjang yang menghubungkan ruang-ruang megah terasa begitu sunyi. Setiap langkah kakinya menggema di lantai marmer yang berkilauan. Dinding tinggi berhias lukisan mahal semakin membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.
Ia mengerutkan kening. Seingatnya, tadi malam ia tidak terlalu memperhatikan jalur yang dilewati saat masuk ke rumah ini. Ia bahkan tidak tahu di mana pintu keluar.
Sebelum kebingungannya bertambah, seorang wanita berpakaian rapi mendekatinya.
“Selamat pagi, Bu.”
Marsha tersentak. Panggilan itu terasa begitu asing.
“Pagi…” jawabnya ragu. “Aku… mau sarapan.”
Pelayan itu tersenyum sopan. “Silahkan ke ruang makan, saya akan mengantarkan.”
Marsha mengangguk dan mengikuti wanita itu menuju ruang makan yang tak kalah megah. Meja panjang dari kayu mahoni berukiran klasik berdiri kokoh di tengah ruangan, dihiasi vas bunga segar. Namun, semua kemewahan ini terasa kosong.
Ketika ia duduk, pelayan lain datang membawa sarapan. Tetapi sebelum ia sempat menyentuh makanan, wanita yang tadi kembali berbicara.
“Tadi pagi, Pak Sean menitipkan pesan untuk Bu Marsha.”
Marsha mengangkat alis. “Pesan apa?”
Wanita itu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya dan menyerahkannya. Dengan ragu, Marsha mengambilnya dan mulai membaca.
Marsha, ada beberapa hal yang harus kamu patuhi.
1. Jangan keluar rumah tanpa izinku.
2. Jika ada keperluan kuliah, beritahu supir untuk mengantar dan menjemput.
3. Jangan pernah membawa orang luar ke rumah ini tanpa persetujuanku.
4. Jika butuh sesuatu, minta pada pelayan. Mereka akan mengurusnya.
Tangan Marsha mencengkeram kertas itu erat. Seakan pernikahan ini belum cukup membuatnya merasa terkekang, kini Sean mengatur kehidupannya seperti burung dalam sangkar. Ia mendengus pelan, melipat kertas itu dengan kasar sebelum meletakkannya di meja.
“Apa ada pesan yang lain?” tanyanya sinis.
Pelayan itu menggeleng. “Cuma itu, Bu.”
Marsha menekan emosi yang hampir meluap. Ia menatap sarapannya, tetapi tiba-tiba nafsu makannya hilang.
“Di mana supirnya?” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.
“Sedang bersiap di garasi, Bu. Saya bisa antarkan Bu Marsha ke sana selesai sarapan.”
Marsha mengangguk singkat. Saat ini, hanya ada satu hal yang bisa ia lakukan—menjalani hari seperti biasa. Meski ia tahu, tidak ada yang akan pernah sama lagi.
...***...
Perjalanan ke kampus terasa berbeda dari biasanya. Ia duduk di kursi belakang mobil mewah dengan supir pribadi, bukan lagi kendaraan umum atau tumpangan dari Maya.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya terus dihantui peraturan Sean. Apa maksud pria itu melarangnya keluar rumah tanpa izin? Seolah ia seorang tahanan yang harus selalu diawasi.
Ia mendengus pelan. Bukan hanya pernikahan ini yang terjadi tanpa keinginannya, tetapi kini ia juga harus menjalani hidup seperti boneka dalam rumah mewah itu.
Saat mobil berhenti di depan kampus, beberapa temannya langsung menghampirinya.
“Marsha! Gila, kamu kemana saja? Kami nggak lihat kamu beberapa hari ini,” ujar Evelyn, sahabatnya.
Marsha tersenyum tipis. “Aku sibuk.”
“Eh, tapi serius, kami dengar gosip dari anak-anak fakultas hukum… beneran kamu menikah?”
Marsha membeku sejenak. Ia tahu cepat atau lambat kabar ini akan menyebar, tapi ia tidak siap membahasnya.
“Berita dari mana?” tanyanya berusaha mengalihkan.
“Jelas dari media sosial! Kalau ada acara besar, pasti ada yang membocorkannya.”
Marsha menarik napas panjang. “Iya… aku menikah.”
Dua temannya langsung membelalakkan mata.
“Serius!? Kenapa nggak bilang-bilang?”
Marsha tersenyum tipis. “Ini… pernikahan mendadak.”
Evelyn menatapnya curiga. “Kamu kelihatan nggak bahagia.”
Marsha menelan ludah. Seharusnya ia menyangkal, tetapi ia tidak bisa.
“Udahlah, Yuk masuk kelas,” ujarnya, menghindari pembicaraan lebih jauh.
Namun, bahkan saat duduk di dalam kelas, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu hal—hidupnya kini bukan lagi miliknya.
...***...
Saat kembali ke rumah, kesunyian kembali menyambutnya. Mobil berhenti di depan gerbang besar. Marsha turun dengan langkah berat. Seorang pelayan segera menyambutnya.
“Bu, Pak Sean belum pulang. Apa Bu Marsha mau makan malam sekarang atau menunggu beliau?”
Marsha melirik jam di dinding. Pukul tujuh malam.
Ia menggeleng. “Aku makan nanti aja.”
Pelayan itu mengangguk sebelum pergi, meninggalkan Marsha sendirian di ruang tamu yang luas. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa sunyinya rumah ini. Tidak ada suara lain selain detak jam dan desiran angin dari AC.
Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap halaman belakang. Taman luas dengan kolam renang membentang di hadapannya, tetapi semuanya terasa mati.
Sangkar emas. Itulah yang ia rasakan saat ini. Ia boleh hidup dalam kemewahan, tetapi hatinya terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu pertanyaan terus berputar di benaknya—apakah ia bisa bertahan dalam kehidupan seperti ini?
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
marshal terkurung disangkar emas... m
2025-03-21
0