I Love U, I'M Sorry.

I Love U, I'M Sorry.

Minggu Pagi yang Sempurna

"Akhirnya weekend juga! Masih ngantuk sih sebenernya, tapi males banget bangun. Untung hari ini nggak ada sekolah, jadi bisa rebahan seharian. Yeay!" Gumam Alyissa, masih terbenam dalam selimut tebal di kasur empuknya. Sinar matahari pagi yang cerah menerobos jendela kamarnya, tapi ia masih enggan membuka mata. Aroma kopi dan roti panggang dari lantai bawah sudah mulai menggelitik indra penciumannya, pertanda sarapan siap disajikan. Namun, panggilan alam lebih kuat.

Ia bergumam, "Ah, pipis dulu deh," sebelum beranjak dari tempat tidur. Di kamar sebelah, suara teriakan keras memecah kesunyian pagi. "Matiii! Gue kalah lagi!" Itu suara Harry, saudara kembar Alyissa yang terkenal jahil dan selalu asyik dengan game online-nya. Alyissa tersenyum geli mendengarnya. Harry memang selalu begitu, bahkan hari Minggu pun tak luput dari cengkeraman game-nya.

Setelah menyelesaikan urusan di kamar mandi—kamar mandi en-suite yang mewah, tentunya—Alyissa kembali ke kamarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya yang panjang dan berkilau, kulitnya yang putih bersih, dan matanya yang cokelat gelap membuatnya terlihat seperti seorang putri. Ia mengenakan gaun katun putih yang sederhana namun tetap membuatnya terlihat anggun. Hari ini, Alyissa memilih untuk tampil natural, tanpa riasan tebal. Kecantikan alaminya sudah lebih dari cukup.

Kemudian, Alyissa turun ke lantai bawah. Ia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan berbakat. Ia pandai berbicara di depan umum, bahkan sudah menerbitkan beberapa buku karyanya sendiri. Sikapnya yang sedikit bandel di sekolah seringkali membuat guru-guru gemas, tetapi di balik itu semua, Alyissa adalah sosok yang baik hati dan penyayang. Ia juga memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tetapi tetap rendah hati. Ia tahu dirinya istimewa, tetapi ia tidak pernah sombong atau meremehkan orang lain. Ia juga sangat dekat dengan keluarganya, dan selalu menyempatkan waktu untuk mereka di tengah kesibukannya sebagai siswi berprestasi dan penulis muda.

Di ruang makan, keluarganya sudah duduk manis menunggunya. Alfa, ayahnya yang merupakan pemilik rumah sakit terkenal, tersenyum ramah. Almirah, ibunya yang merupakan seorang publik speaker handal, sedang asyik membaca koran bisnis. Rayyan, kakaknya yang sukses, sedang mengecek email di laptopnya. Hilmy, kakaknya yang berprofesi sebagai dokter, sibuk dengan ponselnya. Dan Harry, dengan headset masih terpasang di telinganya, masih asyik dengan game-nya.

"Pagi, sayang," sapa Almirah, meletakkan korannya dan memeluk Alyissa. Alfa mengangguk sambil tersenyum, matanya menunjukkan kebanggaan dan kasih sayang.

"Pagi, Ma, Pa," jawab Alyissa, lalu mencium pipi kedua orang tuanya. Ia menyapa Rayyan dan Hilmy, lalu duduk di samping Harry yang masih asyik dengan dunianya. Harry melepas headset-nya saat sarapan dihidangkan.

Sarapan berlangsung ramai. Rayyan bercerita tentang proyek barunya yang bikin dia begadang semalaman. Hilmy curhat tentang pasiennya yang rewel. Mama Almirah, dengan gaya bicaranya yang tegas namun tetap hangat, membahas strategi public speaking terbaru yang dia pelajari. Papa Alfa, dengan tenang, menceritakan perkembangan rumah sakitnya. Suasana hangat dan penuh canda tawa mewarnai pagi itu.

Lalu, pembicaraan beralih ke sekolah. "Gimana kabar sekolah, Har?" tanya Mama Almirah.

Harry tertawa, "Biasa aja, Ma. Bosen banget sih, banyak banget PR. Terus... Yis lagi-lagi bikin ulah di sekolah!" Ia melirik Alyissa dengan senyum jahil.

Alyissa hanya diam, sedikit kesal.

"Ulah? Apa lagi yang Yis lakukan?" tanya Papa Alfa, alisnya sedikit terangkat.

"Dia hampir di-skors, Pa! Untung aja guru BK-nya baik," kata Harry, masih tertawa.

Alyissa menghela napas. "Itu cuma salah paham, kok."

Mama Almirah menatap Alyissa dengan tatapan tajam. "Salah paham? Ceritakan semuanya, Yis."

Alyissa menjelaskan kejadian yang sudah ia perbuat, ia menceritakan sedikit detail namun ada beberapa cerita yang ia kurangin agar orang tuanya tidak marah padanya, ia sambil melirik harry dengan sinis.

"Nih orang nyebelin banget sih! " batinnya.

Setelah menjelaskan kejadian di sekolah, suasana sedikit mereda. Mama Almirah memberikan nasihat bijak kepada Alyissa, sementara Papa Alfa mengingatkannya akan pentingnya tanggung jawab. Rayyan, seperti biasa, memberikan komentar singkat dan lugas, sementara Hilmy hanya mengangguk-angguk, sesekali melirik ke arah Harry yang masih menyeringai. Suasana sarapan kembali cair.

Tiba-tiba, Rayyan tertawa kecil. "Eh, Yis, inget nggak waktu kamu manggil Hilmy di koridor?"

Alyissa langsung cemberut. Pipinya memerah. Kejadian itu masih membekas di pikirannya. Ia salah mengira seorang dokter muda yang mirip Hilmy adalah kakaknya. Ia sudah meminta maaf, tetapi rasa malunya masih belum hilang. Mama Almirah ikut tertawa, geli melihat ekspresi Alyissa yang memerah.

"Waktu itu kocak banget, deh," kata Harry, ikut tertawa. "Mukanya Yis waktu tahu itu bukan Hilmy… nggak bisa digambarkan!"

Hilmy menambahkan, "Iya, bener! Dia langsung panik, terus minta maaf berkali-kali."

Alyissa semakin cemberut. Ia merasa malu sekali. "Kok Mama malah ikut ketawa sih?" protesnya, suaranya terdengar agak manja.

Mama Almirah berhenti tertawa, lalu mengusap lembut lengan Alyissa. "Maaf, sayang. Tapi memang lucu, kok. Kamu itu terlalu polos."

Alyissa masih cemberut. Ia berdiri dengan wajah manyun, lalu berlalu pergi menuju kamarnya.

Di dalam kamarnya, Alyissa menghempaskan tubuhnya ke kasur. "Ih, kesel banget sih! Masa iya gue salah orang. Malu banget gue! Gimana kalau dia ngira gue gila? Aduh, mana muka gue merah banget lagi. Pasti keliatan banget kalau gue lagi malu. Gimana sih! Kok bisa-bisanya gue salah orang. Dokter muda itu ganteng sih, tapi bukan Hilmy, bego banget gue!" Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. "Besok gue harus teliti lagi. Duh, bikin malu aja!"

Tak lama kemudian, Mama Almirah mengetuk pintu kamar Alyissa. "Sayang, boleh Mama masuk?"

Alyissa mengizinkan, dan Mama Almirah masuk, membawa secangkir cokelat hangat. "Ini, sayang. Minum dulu. Mama tahu kamu lagi kesal. Tapi, nggak papa kok salah mengira orang. Semua orang pernah melakukan kesalahan." Mama Almirah memeluk Alyissa, menenangkannya. "Kamu itu anak yang baik dan pintar. Jangan terlalu memikirkan hal kecil seperti ini, ya?"

Alyissa bersandar di pelukan ibunya, sedikit tenang. Ia tahu, keluarganya selalu ada untuknya, meskipun ia seringkali bersikap manja dan membuat mereka khawatir.

Alyissa masih bersandar di pelukan ibunya, menyesap cokelat hangat. Perlahan, amarahnya mereda. Ia merasa bersyukur memiliki keluarga yang begitu menyayanginya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka tanpa permisi. Harry masuk dengan santainya, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Eh, Yis, masih ngambek?" tanyanya, sambil melihat sekeliling kamar Alyissa.

Kamar Alyissa memang sangat mewah. Dindingnya dicat dengan warna pink pastel yang lembut, dihiasi dengan berbagai aksesoris lucu dan feminin. Kasur besar dengan seprai sutra berwarna putih bersih terletak di tengah ruangan. Lemari pakaiannya penuh dengan baju-baju branded. Meja rias yang besar dan elegan dilengkapi dengan cermin besar dan berbagai macam kosmetik berkualitas tinggi. Singkatnya, kamar Alyissa adalah surga bagi seorang remaja perempuan.

"Ih, keluar, Har! Nggak sopan banget sih masuk kamar orang tanpa izin!" Alyissa sedikit kesal, tetapi amarahnya sudah jauh berkurang.

Harry mengabaikan protes Alyissa. Ia mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. "Nih, lihat! Dafa lagi selfie sama fansnya."

Alyissa langsung mengambil ponsel Harry. Foto itu menunjukkan Dafa, kekasihnya, sedang tersenyum lebar bersama seorang gadis cantik. Gadis itu terlihat sangat akrab dengan Dafa, dan Alyissa merasa sedikit cemburu. Dafa dan Alyissa memang berpacaran, tetapi mereka bersekolah di tempat yang berbeda, dan hubungan mereka dirahasiakan. Alyissa khawatir Dafa akan dekat dengan gadis lain. Apalagi, hubungan mereka tergolong backstreet.

"Ih, siapa dia?" tanya Alyissa, suaranya terdengar sedikit cemburu.

"Nggak tahu. Mungkin fansnya," jawab Harry, santai. "Tapi, dia cantik juga, ya? Eh, hubungan private kok dilarang cemburu?" Harry menyindir Alyissa dengan senyum jahil.

Alyissa langsung ngambek. "Ih, kamu mah selalu bikin aku kesal!" Ia melempar bantal ke arah Harry.

Harry tertawa. "Santai aja, Yis. Mungkin cuma teman Dafa. Lagian, kamu kan punya aku. Aku selalu ada buat kamu," katanya, sambil bercanda.

Sebelum Alyissa sempat membalas atau menelepon Dafa, ponselnya berdering. Nama Dafa terpampang di layar. Alyissa pura-pura tenang, meskipun jantungnya berdebar-debar. Ia menjawab panggilan itu dengan suara yang sebisa mungkin dibuat biasa saja, menahan gejolak cemburu

… “Halo?” sapa Alyissa, berusaha terdengar santai, meskipun jantungnya berdebar-debar. Ia pura-pura tidak melihat foto yang baru saja dilihatnya, berusaha agar suaranya terdengar tenang.

Dari seberang sana, suara Dafa terdengar. "Cil, lagi apa?" sapa Dafa, panggilan sayang yang hanya Dafa gunakan untuk Alyissa.

Alyissa hanya berdeham, masih menahan gejolak cemburu. Ia diam, tidak menjawab pertanyaan Dafa.

Dafa melanjutkan, "Cil, kok diem aja? Kamu marah ya?"

Alyissa tetap diam, cemberut. Ia masih menatap foto Dafa dan gadis itu di ponsel Harry. Harry sendiri sibuk dengan ponselnya, pura-pura tidak memperhatikan.

Dafa mencoba lagi, "Cil, aku tanya lagi, kamu marah ya? Ada apa?" Suaranya terdengar khawatir.

Alyissa masih diam. Ia memutar-mutar ujung rambutnya, masih menahan rasa cemburu dan kesal. Ia ingin sekali mengungkapkan kekesalannya, tetapi ia juga ragu. Apakah ia berlebihan? Mungkin hanya teman Dafa. Tapi tetap saja, ia merasa tidak nyaman melihat kedekatan mereka.

Keheningan masih menyelimuti percakapan mereka. Dafa menunggu jawaban Alyissa dengan sabar, khawatir kekasihnya sedang marah. Suasana tegang terasa di antara mereka, hanya diselingi oleh suara-suara samar dari sekitar Alyissa dan suara detak jantungnya sendiri yang terasa berdebar kencang.

Keheningan masih menyelimuti percakapan mereka. Detik-detik terasa begitu panjang. Dafa menunggu jawaban Alyissa dengan sabar, khawatir kekasihnya sedang marah. Suasana tegang terasa di antara mereka, hanya diselingi oleh suara-suara samar dari sekitar Alyissa dan suara detak jantungnya sendiri yang terasa berdebar kencang. Akhirnya, Alyissa angkat bicara, suaranya pelan dan sedikit bergetar.

"Itu... siapa di foto itu, Daf?" tanyanya, berusaha agar suaranya tidak terdengar terlalu cemburu.

Dafa terdiam sejenak. Ia tahu Alyissa sedang cemburu. Ia sudah menduga Alyissa akan bertanya tentang foto itu. "Itu… fans aku, Cil. Dia minta foto bareng waktu aku lagi di sekolah," jelas Dafa, kali ini jujur. Ia tidak menyembunyikan fakta bahwa gadis itu adalah teman sekolahnya.

Alyissa langsung mengerutkan kening. "Fans? Di sekolah? Kok kayak deket banget?" Ia masih belum sepenuhnya percaya. Rasa cemburu masih menguasainya. Ia membayangkan berbagai skenario, dan semuanya buruk.

Dafa menghela napas panjang. "Iya, Cil. Dia emang fans aku. Serius, aku nggak bohong. Dia sering minta foto, terus kadang ngobrol juga. Tapi cuma sebatas itu kok. Aku nggak pernah jalan sama dia di luar sekolah."

Tiba-tiba, Harry menyela dari belakang, "Cie… yang lagi teleponan sama pacar. Pacar backstreet pula! Dan ternyata pacarnya punya fans di sekolah!" Ia tertawa geli melihat ekspresi Alyissa yang semakin cemberut.

Dafa ikut tertawa mendengar ledekan Harry. "Diem, Har! Biar aku jelasin sama Si Bocil."

Alyissa semakin cemberut. "Gak ada yang lucu!" katanya, suaranya terdengar kesal. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya, masih menahan rasa kesal dan cemburu. Ia membayangkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi.

Harry tertawa puas. "Wah, gagal PDKT nih. Mungkin kamu harus lebih romantis, Dafa," katanya, masih tertawa.

Alyissa mengabaikan Harry dan kembali merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia merasa kesal dengan Dafa, juga dengan Harry yang selalu saja menambah masalah. Ia memeluk guling kesayangannya, berusaha menenangkan diri. Pikirannya dipenuhi bayangan Dafa dan gadis itu yang akrab di sekolah.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar Alyissa kembali terbuka. Kali ini, bukan Harry yang masuk, tetapi Mama Almirah. Ia membawa secangkir cokelat hangat dan sepotong kue favorit Alyissa.

"Sayang, masih ngambek?" tanya Mama Almirah lembut, sambil meletakkan cokelat dan kue di meja rias.

Alyissa hanya diam, masih cemberut. Mama Almirah duduk di tepi kasur, mengelus rambut Alyissa dengan lembut. "Kamu tahu, sayang. Kadang-kadang, cemburu itu wajar. Tapi, jangan sampai cemburu itu merusak hubungan kamu dan Dafa. Dia sayang banget sama kamu, kok."

Mama Almirah melanjutkan, "Coba kamu pikir lagi. Mungkin Dafa benar. Dia nggak mungkin selingkuh. Tapi kamu harus bicara baik-baik sama dia. Jelaskan kekhawatiranmu."

Alyissa terdiam, memikirkan kata-kata ibunya. Perlahan, rasa kesalnya mulai mereda. Ia merasa perlu bicara langsung dengan Dafa, bukan hanya melalui telepon. Ia perlu melihat mata Dafa dan memastikan kejujurannya.

Mama Almirah kembali memeluk Alyissa. "Sekarang, minum cokelat hangat ini. Nanti, kamu cari Dafa. Bicara baik-baik ya, sayang."

Alyissa mengangguk, sedikit tersenyum. Ia merasa lebih tenang setelah dihibur Mama Almirah. Ia mengambil cokelat hangat dan kue, kemudian memutuskan untuk pergi menemui Dafa.

Terpopuler

Comments

by_mita

by_mita

eh, pemandangan pagi yang indah. gemes banget?! bau bau keluarga cemara

2025-05-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!