Sakit

Nyatanya semua tak semudah yang di bayangkan oleh Naya, fisiknya tiba-tiba saja melemah dan untuk bangun dari tempat tidur pun rasanya sangat pusing sekali.

Brugh.

Sendi melemparkan pakaian kerjanya yang kotor, selama 3 hari ini Naya tak bisa membersihkan rumah karena daya tahan tubuhnya sedang menurun, bagaimana tidak. Setiap hari ia kerja rodi di rumah mertuanya, jangankan memiliki pemasukan yang ada dia malah semakin kelaparan dan tak terurus.

"Udah 3 hari loh kamu menye-menye terus di kamar, lihat ini! Bagaimana aku bisa kerja dengan pakaianku yang kotor seperti ini, hah!" Bentak Sendi sambil menendang pakaian kotornya ke kasur.

"Shhh, bisa biasa aja gak sih ngomongnya? Udah mah kepala sakit, tambah denger suara kamu bikin tambah nyut-nyutan tau! Punya tangan, punya kaki di kasih tubuh sempurna sama Tuhan, istri lagi sakit harusnya gantian ngurusin malah ngomel aja kerjaannya, bisa kan nyuci sendiri? Lagian gak setiap hari juga aku sakit, dah lah aku mau istirahat lagi. Udah tau sakit, gak di kasih makan ya kapan sembuhnya." Cerocos Naya tanpa henti seraya membungkus tubuhnya dengan selimut.

Darah Sendi langsung mendidih mendengar ucapan istrinya, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Naya sampai tubuh yang kurus kering itu meringkuk.

"Bangun! cepat cuci baju sekarang atau aku seret kamu ke kamar mandi, sekalian aku hukum karena sudah membantah ucapan suami sendiri!" Lagi dan lagi tak ada rasa iba ataupun simpati kepada istrinya, melainkan Sendi memaksa Naya untuk segera bangun dari kasurnya.

"Suruh tuh mantan kamu nyuciin!" Sindir Naya tanpa membuka matanya.

"Kau!" Geram Sendi hendak menyeret Naya, akan tetapi suara seseorang dari belakang membuat pergerakannya terhenti.

"SENDI!" Suara Egi menggelegar sampai terdengar oleh penghuni rumah.

Sendi menoleh ke belakang dimana ayahnya tengah berdiri dengan tangan terkepan, bahkan tatapan tajamnya mampu membuat Sendi membeku.

"Jangan sentuh menantuku! Kau ini suami macam apa, di sisi lain kamu lebih memilih bersenang-senang daripada mengurus istrimu yang sedang sakit. Diluaran sana apa teman-temanmu mengurusmu saat kamu lagi sakit? Apa ada mantanmu yang centil itu datang membuatkan bubur buat kamu. Bahkan ibu dan adikmu saja tidak ada yang tergerak mencucikan pakaianmu walau cuma satu stel saja." Omel Egi.

"Papa kenapa belain dia sih? Papa suka sama si Naya? Ambil aja, ambil! Sendi udah muak liat muka dia, mendingan cari istri baru daripada punya istri yang suka bantah suaminya." Sewot Sendi.

Plak!

Sebuah tamparan keras berhasil Egi layangkan kepada putranya, wajah Sendi sampai menoleh kesamping saking kerasnya tamparan sang ayah.

"Papa benar-benar malu punya anak sepertimu! Bisa-bisanya kamu berucap Papa suka sama Naya hanya karena Papa membelanya, hah! Kalau ngomong itu gunakan akal sehatmu, orangtua Naya menitipkan anaknya untuk dijaga karena tanggung jawab mereka sudah berpindah tangan sama kamu, disaat kamu tidak mampu melindunginya sudah jadi kewajiban Papa sebagai orangtua saumi dari Naya." Tegas Egi.

"Ada apa ini, hah!" Neti tiba-tiba berdiri diambang pintu bersama Seni.

Sendi menatap kearah ibunya dengan pipi yang memerah, sontak Neti membelalakan matanya melihat wajah sang putra.

"Sen, kenapa wajah kamu?" Tanya Neti khawatir.

"Belain terus anakmu ini, sekalian saja kamu urus segala keperluannya dan kalau bisa bersihkan hati dan juga otaknya yang sudah sangat kotor itu." Gerutu Egi.

"Pa, apa maksud Papa ngomong kayak begitu? Apa jangan-jangan karena si Naya Papa sampai tega menampar anak sendiri, iya?!"Tuduh Neti.

"Kalau iya memangnya kenapa? Sekali-kali anak kamu ini harus di kasih pelajaran, kamu gak ingat dulu dia yang memohon sama kamu biar bisa nikahin Naya. Tapi kenapa setelah menikah hanya karena sebuah keturunan kalian menjadi tidak beretika. Mulai saat ini, kalau kalian masih menindas Naya, maka Papa gak akan segan-segan mengusir kalian semua dari rumah ini! Semua kendaraan Papaa sita dan juga gak bakalan ada uang bulanan." Tegas Egi tak terbantahkan.

Neti, Seni dan Sendi pun terkejut mendengad penuturan Egi, pasalnya dari mulai rumah dan juga semua kendaraan yang di gunakan oleh Sendi maupun Seni itu adalah hasil kerja Egi, bahkan pembelian pun atas nama Egi sendiri.

"Loh, gak bisa gitu dong. Uang bulanan kudu tetep masuk, mau makan darimana anak-anak kalau kamu gak kasih uang, lagipula nafkah itu wajib hukumnya." Protes Neti.

"Iya Pa, kalau Papa sita motor aku gimana aku berangkat sekolah?" Sahut Seni.

"Pilihan ada di tangan kalian, Papa tidak pernah mengajarkan kalian jadi jahat. Keputusan Papa sudah bulat, kalau kalian tidak mau mengurus Naya yang sedang sakit maka Papa yang akan membawanya ke rumah sakit." Ucap Egi seraya berjalan kearah Naya, ia membangunkan Naya dan memapahnya keluar dari dalam kamarnya seusai dengan ucapajnya yakni ia akan membawa Naya ke rumah sakit.

Neti dan yang lainnya memandang geram kearah Naya, mereka semakin membenci Naya. Tangan Sendi mengepal dengan kuat, ia bahkan mengeratkan giginya sampai terdengar bunyi bergemelutuk.

"Aku semakin yakin untuk menceraikannya dan menikahi Sesi." Ucap Sendi.

"Mama setuju, Sen. Orangtua Sesi juga tadi telpon Mama, mereka setuju kalau kamu mau nikahi Sesi dalam waktu dekat, nikah siri dulu saja pun tidak apa katanya." Ucap Neti bersemangat.

"Bener tuh kak, ngapain juga terus pertahankan si Naya itu, udah mah pelit orangnya caper lagi ke Papa." Seni ikut mendukung keinginan kakaknya, ia masih ingat betul saat awal-awal Naya dan Sendi menikah.

Gaji Sendi lumayan pendapatannya, saat itu Egi banyak cicilan dan Seni menginginkan hp apel di gigit. Mau tak mau Seni meminta kakaknya membelikan hp tersebut, namun Naya tidak mengizinkan karena selain hp nya mahal walaupun kredit, mereka juga harus menabung agar bisa segera memiliki rumah. Dari situlah awal mula Seni membenci Naya, meskipun pada akhirnya Sendi tetap membelikannya hp sesuai dengan kemauannya. Selain gaji Sendi sebagian besar di miliki ibunya, ia juga terlalu memanjakan adiknya yang hidupnya selalu ada saja keinginan-keinginan untuk memenuhi gengsinya.

"Aku dan Sesi sepakat menikah lusa." Ucap Sendi membuat adik dan ibunya kaget.

"Lusa?!" Pekik keduanya memastikan.

Sendi menganggukkan kepalanya, pasalnya sudah ada beberapa tetangga di rumah Sesi yang datang menegurnya karena selalu menginap satu minggu terakhir di rumah Sesi. Alhasil, Sesi mendesak Sendi untuk menikahinya agar mereka tak menjadi gunjingan dan bebas keluar masuk rumah tanpa ada gunjingan orang lain.

"Ah, kalau begitu ibu akan menyiapkan semuanya. Gak perlu kamu kasih tahu Papamu itu, biarin aja dia urus Naya biar kita bebas pergi kemana saja." Ucap Neti antusias.

Sendi pun tersenyum, Neti memeluk tubuh putranya dengan wajah yang sangat sumringah karena ia sebentar lagi akan memiliki menantu pilihannya. Neti tak sabar ingin segera menggendong cucu, ah membayangkan tangisan bayi di rumahnya saja membuatnya sangat bahagia, apalagi kalau keinginannya itu segera terkabul.

Terpopuler

Comments

jaran goyang

jaran goyang

𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙣𝙮 𝙠𝙢𝙧𝙣 𝙪𝙙 𝙨𝙪𝙧𝙪 𝙥𝙞𝙜𝙞... 𝙠𝙤𝙠 𝙢𝙖𝙡𝙖 𝙗𝙚𝙩𝙖𝙝 𝙨𝙞𝙘𝙝... 𝙡𝙤𝙣𝙜𝙤𝙧 𝙠𝙖𝙪....
𝙠𝙡𝙤 𝙟𝙙 𝙖𝙦 𝙗𝙜𝙨 𝙖𝙦 𝙥𝙞𝙜𝙞 𝙢𝙣𝙩 𝙘𝙚𝙧𝙖𝙞

2025-03-20

1

Sindy Sintia

Sindy Sintia

iya lha nikah siri dlu gpp, kan seai mau hidup enak di kira ny sendi org kaya tak tau ny harga Egi

2025-03-20

0

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

sepertiy naya manti mantap peri di dukung sm papa egi...smg cpt sehat ya naya..lanjuut up lg

2025-03-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!