Saat Naya tengah menyetrika baju-baju Seni dan yang lainnya, ponselnya berbunyi dan ia segera meletakkan setrikanya dan mencabut kabelnya. Naya menerima panggilan dari ibunya sampai sambungan telponnya terhubung, dari sebrang telpon ibunya memintanya untuk datang ke rumah karena ada suatu hal yang ingin di sampaikan. Dengan ragu Naya mengiyakan permintaan ibunya, ia pun mematikan sambungan telponnya dan menatap kearah layar dengan tatapan kosongnya.
"Heh, Naya! Beresin tuh bekas minuman di ruang tamu, Mama mau pergi arisan dulu." Titah Neti.
"Ma, setelah nanti aku beresin ruang tamu, aku izin ke rumah ibu soalnya ibu nyuruh aku kesana dan aku udah lama gak berkunjung ke rumah ibu." Ucap Naya dengan sangat hati-hati.
"Ya tinggal pergi aja, tapi awas ya kalau kamu ganggu Sendi, apalagi ajak dia ke rumah ibu kamu!" Ancam Neti dengan telunjuk yang mengacung ke arah wajah Naya.
Naya hanya menganggukkan kepalanya, rupanya suami dan mantannya itu sudah pergi. Neti pun berlalu meninggalkan Naya dengan pikiran yang berkecamuk, hati Naya sangat rapuh dan ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.
Gegas Naya pergi ke ruang tamu dan membereskan semua bekas jamuannya, ia membawanya ke dapur dan segera mencucinya agar mertuanya itu tidak merepet.
Usai mencuci semua gelas kotor, Naya bersiap untuk pergi ke rumah ibunya, ia butuh tempat mengadu dan mecurahkan segala keresahan hatinya kepada sang ibunda.
Egi sudah pergi ke kantornya, ia bekerja di salah satu perusahaan pabrik rokok dimana Egi menjadi bagian kantor cabang sebagai admin.
Naya keluar dari dalam rumah, ia berjalan menuju jalan raya yang jaraknya tak jauh dari rumah mertuanya.
"Uangku cuma sedikit, apa aku naik angkot aja ya? Kalau naik ojek pasti mahal." Gumam Naya menatap dompetnya yang hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna hijau dan juga ungu.
Naya akhirnya menghentikan sebuah angkot, ia masuk ke dalam angkot tersebut dan duduk bersama penumpang yang lainnya.
"Neng, habis nangis ya?" Tanya salah seorang ibu-ibu yang menatap Naya.
"Enggak kok, Bu." Sangkal Naya bohong.
"Kelihatan banget habis nangis, gapapa nangis itu wajar kok, Neng. Tapi jangan terlalu larut ya, perjalanan hidup masih jauh dan si Nengnya juga masih muda, jangan patah semangat ya." Pesan seorang ibu di hadapan Naya.
Naya menganggukkan kepalanya dengan senyum palsunya, baru kali ini ada orang yang peduli padanya, meskipun ia tak mengenali sosok ibu yang memberikan pesan dorongan semangat padanya, Naya cukup bersyukur.
Saat Naya menatap kearah luar jendela, ia mendapati suaminya berboncengan dengan mantannya, mereka terlihat begitu dekat dan erat.
'Bahkan aku lupa, kapan terkahir kamu bonceng aku dengan sikap semanis itu, Mas' Batin Naya.
Hal yang paling menyakitkan dalam hidup Naya, melihat seseorang yang ia cintai dengan sepenuh hati kembali membuka hatinya untuk wanita lain. Sekarang Naya belum memutuskan, entah itu berpisah atau bertahan.
Naya langsung turun begitu gang rumah orangtuanya sudah terlihat, ia turun dan membayar ongkosnya. Pandangan Naya melihat ke arah kanan dan kiri ketika hendak menyebrang, ia berjalan sambil memberikan isyarat kepada para pengendara begitu ia lewat.
Berjalan menyusuri gang menuju rumah ibunya, Naya berjalan cepat karena tak sabar ingin memeluk sang ibu yang sudah lama tak bertemu.
Tetapi, begitu ia sudah berdiri di depan rumah terdengar keributan disana dan bahkan ayah dan ibunya berdebat membahas perpisahan.
"Siapa yang mau pisah?" Tanya Naya dengan suara bergetar.
Ayah dan ibu Naya kompak menatap kearah putri sulungnya, mulut keduanya langsung terkatup rapat.
"Maafin ibu, Naya. Ibu sama bapak memutuskan untuk bercerai, kami memang sudah lama ingin berpisah namun ada satu dan lain hal yang membuat kami kembali bertahan. Akan tetapi, ibu sama bapak sekarang sudah sepakat dan kami akan menikah dengan masing-masing pilhan kami sendiri." Jelas Lingga. Tanpa meminta Naya duduk terlebih dahulu, justru Lingga langsung to the point. Rr
"Sebenarnya, Bapak sudah menalak ibu 2 bulan yang lalu. Makanya Bapak sering menginap di tempat kerja Bapak karena kami menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya sama kamu." Ucap Rahmat.
Naya memejamkan matanya bersamaan dengan buliran air mata yang berjatuhan, tangannya mengepal dengan kuat sampai urat tangannya terlihat, bibirnya bergetar lengkap dengan dada yang sesak.
"Pak, Bu. Naya datang ke rumah ini karena Naya butuh pelukan ibu, tapi apa yang Naya dapat? Naya malah mendengar rumah yang hangat dulu kini menjadi hancur berantakan, hiks... Jika kalian berpisah, kepada siapa lagi Naya berlindung? Tempat mana yang Naya harus jadikan tempat untuk pulang." Lirih Naya.
Lingga dan Rahmat saling melempar pandangan, mulut keduanya mendadak kelu mendengar lirihnya suara Naya.
"Pak, Bapak pernah bilang ke Naya kalau Bapak akan selalu ada buat Naya, sekarang Bapak membangun rumah baru dimana rumah itu belum tentu aku bisa masuk ke dalamnya. Apa Bapak pernah tanya bagaimana kehidupan anak semata wayang, Bapak? Pak, sekarang Naya sedang hancur, ego kalian semakin membuat Naya hancur." Di sela isakannya, Naya berbicara menatap ayahnya yang memalingkan wajahnya dengan lingan air mata.
"Apakah kalian tahu, sekeras apapun cobaan yang Naya hadapi hanya kalian berdua lah yang menjadi penguat raga Naya agar Naya masih bisa berdiri. Hiks, tapi sekarang semuanya hancur... Pak, Bu. Naya sedang tidak baik-baik saja, Naya menyerah dengan kehidupan ini." Tangis Naya semakin pecah, tubuhnya merosot ke bawah.
Lingga dan Rahmat memeluk tubuh putri satu-satunya yang mereka miliki, sejak menikah dengan Sendi tak pernah sekali pun Naya mengeluh akan kehidupan baru yang ia jalani. Rasa bersalah pun mereka rasakan, akan tetapi tak mampu merubah keputusan karena semuanya sudah keduanya tetapkan.
"Nay, sakitnya seperti apa? Coba cerita sama, Bapak." Tanya Rahmat.
"Ibu peluk kamu, ibu sayang kamu, hiks.. Tapi maaf, jalan kami sudah berbeda." Ucap Lingga.
"Sakit, Pak." Rintih Naya.
Meskipun Naya mengeluhkan rasa sakit di hatinya, ia tetap tak mengatakan sumber rasa sakitnya itu seperti apa dan bagaimana orangtuanya bisa membantunya.
Naya sudah kehabisan tenaga dan kata-kata, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Rahmat segera menepuk pipi Naya berharap putrinya kembali membuka matanya, namun Naya sama sekali tak merespon.
"Bawa Naya ke kemarnya!" Titah Lingga.
Rahmat mengangkat tubuh Naya, ia segera membawa Naya ke kamarnya dan Lingga mencari minyak angin untuk putrinya.
Naya kira hanya rumah tangganya saja yang diambang kehancuran, namun nyatanya pernikahannya kedua orangtuanya juga sudah tidak terjalin lagi.
*
*
Selama 1 jam Naya pingsan. Belum ada tanda-tanda ia akan sadar, Rahmat dan Lingga menatap wajah putrinya yang terlihat pucat dan terlebih lagi badannya yang sudah kehilangan bobotnya.
Eungghhhh...
Naya melenguh, ia berusaha bangun dari tidurnya sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing. Beban di pikirannya dan juga hatinya membuat semuanya terasa berat, Naya hanya menatap sekilas kedua orang tuanya kemudian ia menyambar tasnya dan pergi begitu saja.
"Nay, kamu masih pucat. Biar ibu telpon Sendi buat jemput kamu, jangan pulang sendirian." Lingga menahan tangan Naya yang berusaha pergi.
"Iya, Nay. Kamu kelihatan gak sehat, biar bapak bawa kamu periksa atau kamu mau bapak masakin apa?" Ucap Rahmat.
"Gak perlu! Kalian urus saja urusan kalian, tidak usah memikirkan aku karena keputusan kalian pun sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Kalian sudah tak peduli padaku semenjak aku menikah, aku kira setelah menikah aku akan kuat dengan adanya suami di sampingku, nyatanya sudah menikah pun aku butuh seorang ibu dan ayah untuk pelipur laraku." Ucap Naya.
Bukan Naya egois ingin kedua orangtuanya fokus dengan dirinya, tetapi saat ia masih menutup matanya Naya mendengar percakapan kedua orangtuanya mengenai alasan perpisahan yang sudah mereka nyatakan.
Sedih, Naya sangat sedih dan cukup terpukul dengan perceraian kedua orangtuanya. Naya merasa ia tak punya tempat sama sekali untuk pulang, di rumah mertuanya ia merasa berada di dalam neraka, sedangkan tempat yang ia anggap syurga yakni di rumah orangtuanya pun kini sudah tak ada.
Naya pergi begitu saja, Lingga dan Rahmat hanya diam tanpa berniat mencegah kepergian putrinya.
Cuaca yang cerah tak membuat suasana hidup Naya ikut cerah pula, ia berjalan menyusuri jalanan yang ramai dengan berisiknya kendaraan yang berlalu lalang.
Tanpa Naya sadari, ia sudah berjalan jauh seperti orang linglung. Rumah biru yang dulu ia tempati sudah tidak ada, hanya tersisa kenangan yang akan ia rindukan kelak.
"Aaakkhhhhh!!!"
Suara teriakan membuat Naya tersadar dari lamunannya, ia mencari sumber suara teriakan yang terdengar seperti orang putus asa. Di jembatan yang akan Naya lewati terlihat seorang pria berdiri memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, Naya syok ketika orang tersebut mengangkat sebelah kakinya berusaha untuk terjun ke bawah sungai dengan air yang mengalir nampak tenang.
Gegas Naya berlari berusaha menyelamatkan pria tersebut, jalanan menjadi macet karena beberapa pengendara yang menghentikan mobilnya.
"Woy, jangan bunuh diri!!" Beberapa orang berteriak dari dalam mobilnya.
Sreeettt ...
Brughhh...
"Apa kau sudah gila, hah!!" Bentak Naya.
Pria tersebut terduduk di bawah dengan wajah basah oleh air mata, tetapi ia kembali berusaha berdiri dan berniat terjun kembali.
"Sadar hey! Sadaaaarrr!!!
Greeppp..
Naya memeluk tubuh tinggi pria itu, ia semakin mengeratkan pelukannya dan mengusap punggungnya berusaha menenangkan jiwa yang terlihat begitu putus asa.
"Lepas! Biarkan aku mati, dunia ini sudah sangat tak adil!!" Berontak pria yang Naya dekap.
"SADAR, TUAN!! PIKIRKAN BAGAIMANA ORANGTUA ANDA JIKA TAHU ANAKNYA NEKAT MENGAKHIRI NYAWANYA." Naya menjadi emosional karena pria yang ia peluk tetap berontak meminta di lepaskan.
"Mereka pergi, mereka yang ku cintai sudah pergi! Mereka pergi karenaku, kenapa Tuhan hanya mengambil mereka sedangkan aku di biarkan tersiksa." Ucapannya terdengar begitu lirih, tangisan pilunya mengundang air mata Naya untuk kembali menetes.
"Tuhan maha mengetahui, sedangkan manusia tidak. Aku pun sama hancurnya, mungkin kepalaku sama berisiknya denganmu, Tuan. Akan tetapi aku masih ingin melanjutkan hidup, percaya lah bahwa indah itu dengan kita berdamai dan ikhlas." Ucap Naya mengusap punggung pria tersebut.
Pria itu terisak, tubuhnya merosot dan ia diajak ngobrol oleh Naya dan juga orang sekitar yang memberikan motivasi agar niat pria tersebut itu gagal.
Pria yang Naya tolong tiba-tiba tak sadarkan diri. Saat para pengendara yang keluar hendak menggotong pria tersebut, sebuah deringan telpon berbunyi dari dalam saku jasnya, Naya merogoh ponselnya dan menjawab panggilan telpon yang tertera nama 'PAPA PRIKKK'
"Arzan, kamu dimana?"
Di sebrang telpon, terdengar suara seorang pria paruh baya yang begitu mengkhawatirkan putranya. Naya mengabarkan dimana pria yang sudah di gagalkan percobaan bunuh dirinya kepada pria yang di yakini adalah orangtuanya.
Naya menjelaskan bahwasannya pria yang di panggil Arzan itu sedang di bawa menuju rumah sakit, setelah itu Naya pun memutuskan sambungannya begitu orang di sebrang telpon akan menyusulnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
ir
bentar yg di maksud Arzan siapa? anak istrinya kah?
2025-03-20
0
🌷💚SITI.R💚🌷
ya Allah..miris banget ya nasib naya..rasay ikit nyesek..smg ada jln yg trbaik ya naya ksmu bisa menemukn kebahagiaan ksmu
2025-03-16
0
Indriani Kartini
mudah2an pria itu jodoh Naya yg sebenarnya
2025-03-17
0