Di ruang tamu yang luas dan megah, suasana terasa begitu tegang. Rina duduk di sofa dengan ekspresi cemas, sementara Dominic berdiri di dekat jendela, tatapannya tajam namun tetap tenang.
Dion, di sisi lain, tampak gelisah dan penuh amarah. Ia berdiri dengan tangan terkepal, matanya penuh ketidakpercayaan.
"Ayah serius?! Ayah benar-benar menjalin hubungan dengan Hana? Mantan pacarku?" Dion akhirnya bersuara, suaranya bergetar oleh emosi yang tak terbendung.
Dominic menoleh ke arah putranya, ekspresinya tetap tenang meski jelas terlihat ada ketegangan di matanya.
"Ya," jawabnya singkat.
"Ini gila. Ini benar-benar gila! Ayah sadar tidak, Ayah sudah merebut seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupku?" Dion tertawa miris, menatap Dominic dengan penuh rasa sakit.
"Dion, kamu dan Hana sudah lama berpisah. Ayah tidak merebut siapa pun. Aku jatuh cinta padanya, sama seperti dia jatuh cinta padaku." Dominic menghela napas, mencoba tetap tenang meski ia tahu ini bukan percakapan yang mudah.
Dion menggeleng, masih tidak bisa menerima kenyataan ini. "Tapi kenapa harus dia? Dari semua wanita di dunia, kenapa harus Hana?"
Rina, yang sejak tadi terdiam dalam ruang yang dipenuhi ketegangan, akhirnya membuka suara.
"Aku setuju dengan Dion. Hubungan kalian ini... terlalu rumit. Dom, kamu harus memikirkan ini lebih dalam. Ini bukan hanya soal kamu dan Hana, tapi juga tentang kita sebagai sebuah keluarga."
Dominic hanya mampu menatapnya sesaat, menyadari betapa sulitnya ini bagi semua orang. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan perasaanku tanpa terdengar egois? Bagaimana aku bisa meyakinkan mereka bahwa apa yang aku rasakan untuk Hana bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dihentikan?
Akhirnya, dengan suara yang terdengar tegas meski hati bergetar, Dominic berkata, "Aku tahu ini tidak mudah diterima, tapi aku tidak akan mengakhiri hubungan ini hanya karena apa yang disebut status."
Tatapan Rina terasa berat, seperti mengatakan semua yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Di sisi lain, Dion tampak semakin tidak terkendali. Rahangnya mengeras, dan suaranya meninggi penuh kemarahan.
"Status? Ayah adalah ayahku! Dan Hana... dia mantan kekasihku! Ini bukan cuma soal status, Ayah! Ini soal moral, soal perasaan orang lain!" Kata-katanya menusuk, menghantam titik rapuh dalam diri Dominic yang selama ini ia abaikan.
Tapi bagaimana ia bisa menyangkal perasaan ini? Dominic tak mampu. Ia mendekat, mencoba mencari tatapan matanya yang berusaha menghindar.
"Dion," suaranya melembut, penuh luka yang tak terucapkan, "Ayah tidak pernah ingin menyakiti siapapun. Tidak kamu, tidak Rina, tidak Hana. Tapi Ayah juga tidak bisa pura-pura bahwa apa yang aku rasakan ini tidak nyata. Aku mencintainya."
Harapan Dominic, sehalus apa pun, pupus ketika Dion mendengus kesal, penuh kekecewaan yang lebih dalam dari sekadar amarah.
"Kalau Ayah benar-benar menyayangiku," katanya dengan nada yang tajam dan tak terbantahkan, "Ayah tidak akan melakukan ini." Kata-katanya melumpuhkan seketika.
Cinta seorang ayah... cinta seorang pria. Bagaimana mereka bisa saling bertentangan begini? Dominic berdiri di sana, mencoba mencari jawaban yang sepertinya tak akan pernah cukup untuk semua ini.
Kata-kata itu menusuk Dominic lebih dalam dari yang ia kira. Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara Hana terdengar dari ambang pintu.
"Aku yang harusnya pergi…"
Semua mata langsung tertuju pada Hana yang berdiri dengan mata berkaca-kaca. Ia terlihat rapuh, seolah kehadirannya saja sudah cukup untuk memperburuk keadaan.
"Aku tidak ingin menjadi alasan perpecahan keluarga ini," suara Hana bergetar, tapi ada keteguhan di dalamnya. "Aku mencintai Dominic, tapi jika hubungan ini hanya akan menyakiti banyak orang, mungkin aku yang harus mundur."
Dominic langsung menghampiri Hana, menggenggam tangannya dengan erat. "Tidak. Kamu tidak perlu pergi. Kita akan hadapi ini bersama."
Hana menatap Dominic dengan penuh keraguan, lalu beralih pada Rina dan Dion yang menatapnya dengan ekspresi berbeda, Rina terlihat bimbang, sementara Dion masih penuh amarah.
"Dion…" Hana mencoba berbicara, tapi Dion mengangkat tangannya, menolak mendengar lebih banyak.
"Sudahlah, Hana. Aku tidak butuh penjelasanmu lagi," kata Dion dengan nada dingin yang memecah suasana. Wajahnya penuh amarah yang hampir sulit untuk disembunyikan, tapi Domi melihat sesuatu yang lebih dalam di matanya, kekecewaan.
"Aku hanya berharap suatu hari nanti kamu sadar bahwa kamu menghancurkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu sentuh."
Air mata Hana tak lagi mampu ia tahan. Setitik demi setitik, mereka jatuh, menyeret rasa bersalah yang selama ini menggerogoti batinnya.
"Aku tidak pernah berniat menyakiti siapa pun..." suara Hana terdengar parau, nyaris tenggelam dalam kebisuan di ruangan itu.
Tetapi Hana tahu, tak ada pembelaan yang bisa membalikkan keadaan. Luka telah terlanjur menganga.
Dominic melangkah mendekat, lalu menarik Hana ke dalam pelukannya yang terasa hangat namun penuh beban.
"Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun padanya, Sayang," bisiknya lembut di telinga Hana. Tapi kata-katanya tak mampu menghilangkan rasa perih di dada.
Seolah semuanya begitu sederhana baginya, sementara hatinya terus bergolak. Hana dapat merasakan tatapan Dion yang penuh dengan kebencian sebelum dia melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi.
Punggungnya yang menjauh itu seolah menggambarkan hubungan yang telah patah, sesuatu yang tak bisa ia perbaiki, sekeras apa pun Hana mencoba.
Rina, yang sejak tadi terdiam, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka suara.
"Aku hanya ingin kalian berpikir lebih jauh," katanya lirih, nada suaranya mencerminkan rasa frustasi dan kecewa yang tak bisa ditutupi.
"Cinta itu indah, tapi jika ia menyakiti banyak orang, apakah itu masih disebut cinta?"
Dominic berbalik dan menatap Rina dalam-dalam. Matanya penuh ketegasan, meski mereka tahu di balik itu ada ketakutan yang mencoba ia sembunyikan darinya.
"Aku tahu ini tidak mudah, Rin," jawabnya, suaranya terdengar berat, "tapi aku tidak bisa melepaskan Hana."
Rina tidak menjawab. Dia hanya memandang kami sejenak dengan mata yang menunjukkan rasa lelah dan keraguan.
Hana menggenggam tangan Dominic lebih erat, mencari rasa aman di tengah badai ini.
"Aku takut, Dominic..." ucap Hama nyaris berbisik. Rasanya seolah dunia kami kini dipenuhi oleh jurang-jurang yang terus melebar, dan ia tidak tahu bagaimana akhirnya semua ini akan berakhir.
Dominic mengecup keningnya dengan lembut. "Jangan takut. Aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita."
Tapi di balik kata-kata penuh keyakinan itu, baik Dominic maupun Hana tahu… Perjuangan mereka baru saja dimulai.
"Aku pergi, muak sekali aku disini!" kata Dion kesal sebelum akhirnya meninggalkan ruangan dengan langkah pelan.
Ruangan itu terasa begitu sesak, bukan karena udara, tetapi karena kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Rina. Hana menahan isaknya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Dominic, kamu tidak waras," suara Rina bergetar, matanya menatap putranya dengan kecewa. "Lihatlah usia kalian! Kamu lebih cocok menjadi ayahnya daripada pasangannya. Kamu pacaran dengan seseorang yang sebaya dengan anakmu! Apa kamu gila?"
Dominic menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ia sudah menduga ibunya akan sulit menerima ini, tetapi ia tidak menyangka akan sekeras ini.
"Sudahlah Rina, umur hanya angka," katanya dengan suara tenang, tapi penuh ketegasan. "Aku mencintai Hana. Bukan karena usianya, bukan karena sesuatu yang dangkal, tapi karena dia adalah wanita yang membuatku merasa hidup kembali."
Rina mendengus sinis. "Kamu bisa bilang apa saja, Dominic. Tapi coba pikirkan ini: bagaimana masa depan kalian? Bagaimana jika dia ingin memiliki anak? Saat anak kalian berlari-lari di taman, kamu mungkin sudah tidak bisa mengejarnya lagi. Bagaimana jika suatu hari dia sadar bahwa hidup bersama pria seumurmu hanya akan membuatnya kehilangan masa mudanya?"
Hana meremas jemarinya sendiri. Semua kata-kata itu seperti hantaman ke dadanya. Ia sudah berpikir tentang hal itu, tentang bagaimana Dominic jauh lebih matang darinya, tentang bagaimana dunia akan memandang mereka.
Tapi apakah cinta harus selalu dihitung dengan angka?
Dominic menatap ibunya dalam-dalam, lalu melempar pandangannya ke arah Hana yang matanya berkaca-kaca.
"Aku tidak akan memaksa Hana jika suatu hari dia ingin pergi," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut. "Tapi aku juga tidak akan melepaskannya hanya karena kita memiliki perbedaan usia."
Rina tertawa kecil, tetapi itu bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa getir dari seseorang yang kecewa.
"Kamu keras kepala, Dominic. Tapi suatu hari kamu akan sadar bahwa aku benar," katanya sambil menggeleng.
Dominic tidak menjawab. Ia menatap Hana sekali lagi, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjalan ke pintu dan keluar dari apartemennya sendiri.
Hana menatap punggung Dominic yang menghilang di balik pintu. Air matanya akhirnya jatuh, tak tertahankan lagi.
Rina mendekatinya, menatapnya dengan lebih lembut kali ini. "Hana, kamu masih muda. Kamu punya masa depan yang panjang. Jangan buang waktumu untuk sesuatu yang pada akhirnya hanya akan menyakitimu."
Hana menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Tapi aku mencintainya, Tante. Aku benar-benar mencintainya."
Rina menghela napas panjang. "Cinta itu bukan hanya tentang perasaan. Cinta adalah tentang realitas. Jika kamu benar-benar mencintainya, kamu harus berpikir panjang. Jangan hanya mengikuti hatimu tanpa memikirkan konsekuensinya."
Hana menunduk. Ia tahu Rina tidak salah. Tapi hatinya menolak untuk menyerah.
Di luar apartemen, Dominic berdiri di bawah langit malam yang mulai gelap. Ia menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya.
Ia tahu ini akan sulit. Ia tahu dunia tidak akan mudah menerima mereka.
Tapi ketika ia mengingat Hana, semua ketakutan itu menghilang.
Dominic merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya ragu sejenak sebelum akhirnya ia mengetik pesan singkat.
"Aku di tempat biasa. Jika kamu ingin bicara, aku di sini."
Ia mengirim pesan itu ke Hana.
Lalu, dengan langkah berat, ia berjalan menuju mobilnya, mencoba menenangkan hatinya yang juga tengah terluka.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments