Peluk doang?

Hana mengusap sisa air matanya, mencoba menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Tatapannya masih buram karena tangisan yang baru saja pecah, tapi perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

Dominic melihat itu, senyum rapuh yang seolah menyembunyikan begitu banyak luka di baliknya. Namun, ia tidak akan bertanya. Tidak akan memaksa.

Hana masih belum bisa bercerita, dan itu tidak apa-apa.

Dominic mengangkat tangannya, menyelipkan helai rambut Hana yang sedikit berantakan ke belakang telinganya. 

“Nggak apa-apa kalau kamu belum siap cerita, aku akan menunggu.” katanya lembut. 

Hana menatapnya, matanya berbinar dengan emosi yang sulit diartikan.

“Kenapa? Kenapa kamu sebaik ini ke aku?” bisiknya. 

“Karena aku peduli.” Dominic menghela napas, lalu menatapnya dalam.

Hana menggigit bibirnya, merasa dadanya menghangat oleh jawaban itu. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia merasa sendirian, berapa lama ia harus menahan semuanya sendiri.

Tapi kini, ada Dominic.

Tanpa memaksa. Tanpa mendesak.

Hanya… ada.

Hana merasa tidak harus berjuang sendirian. Ia menatap Dominic dengan mata yang masih sedikit sembab. Ia menggigit bibirnya ragu, lalu menghela napas pelan.

“Boleh aku minta peluk lagi?” suaranya nyaris berbisik.

Dominic tersenyum kecil, tanpa ragu ia menarik Hana ke dalam dekapannya. Tangannya melingkari tubuh gadis itu dengan erat, memberikan kehangatan yang selama ini mungkin tidak pernah Hana rasakan.

Hana menutup matanya, merasakan detak jantung Dominic yang stabil. Seolah hanya dalam pelukan ini, dunia yang kacau bisa terasa sedikit lebih baik.

Namun, Dominic tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggoda.

“Peluk doang? Nggak mau yang lain?” bisiknya di dekat telinga Hana. 

“Domi!” Hana langsung membuka mata dan meninju pelan dadanya. 

“Oke, oke. Peluk doang, janji.” Pria itu terkekeh, tapi tetap tidak melepaskan pelukannya.

“Jangan macam-macam.” Hana mendengus pelan, tapi senyum tipis mulai muncul di wajahnya.

Dominic mengeratkan pelukannya. “Nggak akan. Aku cuma mau pastiin kamu nggak ngerasa sendirian.”

Hana tidak menjawab, tapi ia semakin membenamkan wajahnya di dada Dominic.

Dan dalam pelukan itu, ia tahu, untuk pertama kalinya, seseorang benar-benar ada untuknya.

 

Dion duduk di sofa dengan wajah tegang. Tangannya mengepal di atas lutut, sementara di depannya, Sarah berdiri dengan tatapan tajam.

"Aku hamil, Dion," ulang Sarah, kali ini dengan nada yang lebih tajam dan penuh tekad. 

Suaranya mengiris suasana seperti pisau tumpul yang perlahan merobek lapisan keheningan.

   Tubuh Dion terasa membeku di tempat. Ia mencoba bernapas, tapi udara seakan-akan menghilang dari ruangan. Kata-kata itu seperti bom yang meledak di kepala. Jantungnya berdetak keras dan tak beraturan, hampir terasa menyakitkan.

"Apa?" suara Dion keluar nyaris seperti bisikan, getarannya memantulkan rasa kaget yang tidak mampu ia tutupi. 

Sarah melipat tangannya di dada, matanya penuh dengan bara kemarahan dan frustrasi yang tak lagi ia sembunyikan.

"Aku hamil, dan itu anak kamu." ulangnya sekali lagi. Lebih lambat, lebih tajam. 

'Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa? Ini jelas-jelas bukan sesuatu yang pernah terpikirkan olehku.' Dio menggeleng refleks. Kepalanya terasa penuh kabut. 

"Kita... kita selalu pakai pengaman, kan?" tanya Dion, suara terpotong-potong, seolah-olah mencoba melawan kenyataan dengan alasan yang semakin terasa rapuh. 

Sarah tertawa dingin, lebih mirip ejekan ketimbang tawa. Tawa yang menusuk. 

"Kamu pikir hidup selalu berjalan sesuai rencana? Aku telat, Dion. Aku periksa. Dan hasilnya positif." tatapannya menancap tajam, membuat dadanya semakin sesak. 

Rasanya seperti tubuh ini runtuh dari dalam. Tangannya naik ke rambut, meremas dengan gemas, mencari kelegaan dari kekacauan ini. Ia tak tahu lagi harus berpikir apa. Pikirannya berlarian tanpa arah, mencoba merangkai alasan, namun semuanya berakhir pada kebuntuan. 

'Ini tidak mungkin, pikirku. Ini tidak seharusnya terjadi.'

"Aku nggak siap, Sarah," gumam Dion pelan, kata-kata itu keluar seperti pengakuan penuh rasa bersalah.

Suaranya hampir tak terdengar, dipenuhi ketakutan yang merayap. 

 Sarah tidak bergeming. Wajahnya tetap menunjukkan kepedihan yang begitu menusuk.

"Aku juga nggak siap! Tapi ini sudah terjadi, Dion! Kamu mau apa sekarang? Mau lari lagi? Seperti biasa?" balasnya dengan suara meninggi, matanya penuh amarah yang mulai berair.

Dunia di sekelilingnya terasa runtuh. Kata-kata Sarah menusuk seperti duri tajam yang langsung menuju pusat batin. 

'Apakah aku pengecut seperti yang dia pikirkan? Atau aku memang hanya orang yang selalu menghindar saat kenyataan mulai menghantam? Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu, melakukan sesuatu, tapi entah kenapa tubuhku justru terasa kaku, suaraku menghilang, pikiranku melayang di antara kebingungan dan rasa takut.'

Dion menatap wanita itu, mencoba mencari jawaban di matanya. Tapi yang ia lihat hanyalah kepanikan, ketakutan, dan amarah.

Ia terjebak.

“Kamu harus tanggung jawab, aku nggak bisa sendirian.” desak Sarah, suaranya bergetar. 

Dion menunduk, pikirannya berputar cepat. 'Apa yang harus ia lakukan? Menikahi Sarah? Tidak, itu gila.' Ia bahkan belum siap menikah dengan Hana, apalagi dengan wanita yang hanya sekadar pelampiasan.

Hana.

Nama itu muncul di kepalanya, membuat perasaan bersalah menghantamnya keras.

Seharusnya, saat ini ia bersama Hana, merancang masa depan mereka. Seharusnya, ia yang menggenggam tangannya, bukan pria lain.

Tapi lihatlah dirinya sekarang.

“Hana sudah pergi dari hidupku,” gumamnya, lebih untuk dirinya sendiri.

Sarah mendengus. “Dan aku yang ada di sini. Dengan anak kamu di dalam perutku.”

Dion memejamkan mata, napasnya berat. Ia ingin menyangkal. Ia ingin lari. Tapi kenyataan sudah menamparnya keras.

Ia telah menghancurkan segalanya.

Dan kini, ia harus menanggung akibatnya.

 

Dion melangkah keluar dari apartemen Sarah tanpa menoleh. Kepalanya terasa penuh, dadanya sesak, pikirannya berantakan. Ia tidak bisa berpikir jernih, tidak ingin berpikir jernih.

Hana tidak seperti Sarah.

Dulu, ia sering kesal karena Hana terlalu sibuk dengan kuliah dan les privatnya. Mereka jarang punya waktu berdua. Bahkan, selama mereka bersama, Dion belum pernah sekalipun mencium Hana.

Hana selalu menjaga batas.

Ia menghormati itu, setidaknya, itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri.

Tapi di sisi lain, ia ingin lebih.

Keinginannya itu yang akhirnya membuatnya mendekati Sarah.

Sarah, yang selalu menggoda. Yang tidak ragu menunjukkan ketertarikannya. Yang bisa diajak bersenang-senang tanpa perlu banyak aturan.

Sarah, yang diam-diam memang telah lama menyukainya.

Dion menghela napas berat.

Apa yang sebenarnya ia cari?

Ia tahu Sarah bukan Hana. Sarah tidak pernah bisa menggantikan Hana.

Hana adalah seseorang yang membuatnya ingin menjadi lebih baik, sementara Sarah hanyalah pelampiasan sesaat.

Dan sekarang, pelampiasannya itu menuntut tanggung jawab.

Dion mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ini bukan yang ia inginkan. Ini bukan bagian dari rencananya.

Tapi, bukankah ia sendiri yang menciptakan semua ini?

Bukan Hana yang meninggalkannya.

Tapi dia sendiri yang menghancurkan segalanya.

Bersambung... 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!