Di dalam mobil yang melaju tenang, Hana diam menatap jendela. Pikirannya masih penuh dengan kejadian hari ini, Dion, Marini, lalu Dominic yang tiba-tiba muncul menjemputnya.
Ia melirik pria di sampingnya, Dominic, yang terlihat begitu tenang mengemudi. Tangannya yang kokoh menggenggam setir dengan percaya diri, wajahnya tetap datar tapi penuh wibawa.
Hana menggigit bibirnya.
“Dom…” katanya pelan.
"Ya?" Dominic melirik sekilas, lalu tersenyum kecil.
Hana menghela napas sebelum berbicara lagi.
“Aku merasa nggak sopan panggil nama aja. Kita… selisih 16 tahun. Kamu 36, aku masih 20. Harusnya aku panggil apa?” Ia meremas jemarinya sendiri.
“Mau panggil apa? Om? Pak?” Dominic tertawa pelan, nada suaranya terdengar menggoda.
Hana cemberut. “Ya nggak gitu juga.”
Dominic menoleh sejenak, menatapnya dengan mata penuh godaan. “Kalau gitu, panggil aja sayang.”
“Hah?” Jantung Hana langsung berdebar kencang.
Dominic tersenyum miring. “Kenapa? Nggak bisa?”
Wajah Hana langsung memerah. Ia membuang muka ke jendela, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
Dominic tertawa lagi. “Kamu manis kalau malu.”
“Dominic!” Hana memukul pelan lengannya, tapi Dominic hanya terkekeh.
“Serius, kamu boleh panggil aku apa aja yang bikin kamu nyaman. Tapi kalau kamu mau panggil aku ‘sayang’, aku nggak keberatan, malah senang.” Dominic melanjutkan.
Hana berdecak, wajahnya semakin panas.
“Terlalu cepat,” gumamnya.
“Terlalu cepat?” Dominic mengulang kata-katanya sambil menaikkan sebelah alis. “
Hana menoleh dan menatapnya. “Dan… kamu mau apa?”
“Aku mau kamu, Hana.” Dominic menatap lurus ke jalan di depan mereka, tapi suaranya terdengar lebih serius kali ini.
Hana terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat.
Dominic tersenyum kecil. “Aku mau kamu berhenti melihat usia kita sebagai masalah. Aku mau kamu nyaman di sisiku, tanpa harus merasa canggung atau segan.”
Hana menggigit bibirnya.
“Tapi… aku takut,” bisiknya.
“Takut apa? Aku gak bakalan makan kamu kok!”Dominic menurunkan kecepatan mobil dan menoleh ke arahnya.
“Takut kalau semua ini cuma… sementara. Aku baru saja disakiti. Aku baru saja kehilangan kepercayaan pada seseorang. Gimana kalau aku jatuh lagi? Gimana kalau kamu juga pergi?” Hana menatapnya dalam.
Dominic tidak langsung menjawab. Ia menepikan mobil ke sisi jalan yang sepi, lalu berbalik menghadap Hana.
“Aku nggak akan pergi, Hana. Aku bukan anak kecil yang nggak tahu apa yang dia inginkan. Aku bukan pria yang main-main.” Suaranya dalam dan serius.
Hana menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Aku tahu kamu masih ragu. Aku tahu kamu masih takut, ini memang terlalu cepat buat kita. Tapi aku di sini, Hana.” Dominic tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya, menyentuh pipi Hana dengan lembut.
Hana merasakan sentuhan hangatnya. Ia menutup matanya sejenak, menikmati ketenangan yang diberikan Dominic.
“Kalau kamu butuh waktu, aku akan menunggu.” Dominic melanjutkan. “Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan ke mana-mana.”
Hana membuka matanya dan menatapnya lama.
“Bolehkah aku percaya?” suaranya nyaris seperti bisikan.
“Bukan boleh, tapi harus.” Dominic tersenyum dan mengusap pipinya lembut.
Hana menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Kalau gitu…”
Dominic menatapnya penuh harap.
“Aku panggil kamu… sayang.” Hana menunduk, wajahnya masih merah.
Dominic tertawa kecil, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang hangat dan dalam.
“Bagus, sekarang kita mulai dari sini.” Ia mengusap rambut Hana dengan lembut.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hana merasa ada seseorang yang benar-benar ingin menetap di sisinya.
"Kalau kamu masih ragu, aku juga siap detik ini juga untuk Melamar kamu,"
"Hah?"
Dominic menatap Hana lekat-lekat. Ia bisa melihat kegelisahan di mata gadis itu, sesuatu yang lebih dari sekadar keraguan.
“Aku serius, Hana. Kalau kamu ragu, aku ke rumah kamu sekarang juga. Aku akan minta restu mereka.” Suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya.
Hana hanya diam.
Dominic menunggu, tapi jawaban itu tidak kunjung datang. Yang ada hanya keheningan, dan wajah Hana yang tiba-tiba berubah kaku.
Mata gadis itu menatap kosong ke arah luar jendela, seakan pikirannya melayang ke tempat lain, ke masa lalu yang mungkin terlalu menyakitkan untuk diingat.
Dominic bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
“Hana?” Ia menyentuh tangan gadis itu dengan lembut.
Hana tersentak sedikit, tapi masih diam. Bibirnya terbuka seakan ingin berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar.
Dominic semakin waspada. “Ada apa?” tanyanya, lebih lembut kali ini.
Hana menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. Namun, Dominic tidak melewatkan bagaimana jari-jarinya sedikit gemetar.
“Kamu nggak perlu ke rumahku,” akhirnya Hana berbisik.
Dominic mengernyit. “Kenapa?”
Hana menatapnya, dan untuk pertama kalinya Dominic melihat sesuatu yang lebih dalam di mata gadis itu, kesedihan yang begitu pekat.
“Aku… nggak punya rumah untuk kamu datangi.”
Dominic terdiam.
“Aku juga nggak punya siapa-siapa yang bisa kamu mintai restu.” imbuh Hana, menahan isak.
Dominic menatapnya lebih dalam. Ia bisa merasakan bahwa kata-kata Hana bukan sekadar penolakan, tapi ungkapan luka yang selama ini dipendamnya.
Dominic tidak langsung bertanya lebih jauh. Ia tahu ada sesuatu yang Hana sembunyikan, sesuatu yang mungkin terlalu sulit untuk diceritakan.
Tapi ia juga tahu satu hal, Hana butuh seseorang yang akan tetap di sisinya, meski tanpa restu dari siapa pun.
Dengan hati-hati, Dominic meraih tangan Hana, menggenggamnya erat.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “aku akan jadi rumahmu.”
Hana menatapnya, air matanya akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan.
Dan Dominic, tanpa berkata apa-apa lagi, menariknya ke dalam pelukan.
Ia tidak tahu apa yang telah dialami Hana, tapi ia tahu satu hal, ia ingin menjadi seseorang yang tidak akan meninggalkannya, tidak peduli seberapa dalam luka di masa lalunya.
Mobil itu akhirnya berhenti di pinggir jalan. Dominic tak bisa melanjutkan perjalanan ketika suara tangis Hana semakin keras, membasahi dadanya.
Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membiarkan gadis itu menangis sepuasnya, membenamkan wajahnya di dada bidangnya yang kokoh.
Tangan Dominic perlahan mengusap punggung Hana, mencoba menyalurkan ketenangan lewat sentuhannya.
Hana menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar. Ia berusaha menahan semua rasa sakit yang selama ini ia kubur dalam-dalam, tapi kali ini… ia tidak bisa lagi berpura-pura kuat.
“Aku capek… Aku capek, Dom…” suaranya terdengar parau di antara isakan.
Dominic mengeratkan pelukannya.
“Aku tahu,” bisiknya lembut.
Hana mencengkeram kaus Dominic, seakan pria itu adalah satu-satunya pegangan dalam hidupnya saat ini.
“Aku nggak punya siapa-siapa… Aku nggak punya rumah… Aku nggak punya tempat untuk pulang…” suaranya pecah lagi.
Dominic menutup matanya sejenak. Luka dalam suara Hana begitu jelas, begitu nyata.
Ia tidak akan bertanya lebih jauh hari ini. Ia tidak akan memaksa Hana untuk membuka semua yang selama ini ia pendam.
Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah tetap di sini.
Untuknya.
“Hana, kamu nggak sendirian.” Dominic akhirnya bersuara, tangannya tetap mengelus rambut gadis itu.
Hana tetap menangis, tapi kali ini pelan.
“Kamu punya aku, aku nggak akan ke mana-mana.” lanjut Dominic.
Hana menengadah, matanya yang basah menatap pria di depannya.
“Jangan pergi…” bisiknya hampir tak terdengar.
Dominic tersenyum kecil, lalu menghapus air matanya dengan ibu jarinya.
“Aku di sini,” katanya mantap. “Aku di sini, Hana.”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hana merasa… ada seseorang yang benar-benar ingin menetap di sisinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments