Mau satu, Tuhan!

Siang itu, Hana baru saja keluar dari perpustakaan kampus ketika seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya.

“Hana, please... dengerin aku dulu.”

Suara itu begitu familiar, begitu menyebalkan.

Dion.

Hana memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menatap pria itu dengan dingin. Ia mencoba menarik tangannya, tapi Dion menggenggamnya lebih erat, seolah tidak ingin melepaskannya begitu saja.

“Apa lagi?” suara Hana terdengar datar, tanpa emosi.

Dion menatapnya dengan penuh penyesalan. Matanya merah, wajahnya sedikit kusut, seperti seseorang yang kehilangan segalanya. Tapi Hana tidak peduli.

“Hana, aku salah... Aku bodoh. Aku khilaf. Aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku janji, aku bakal berubah. Aku bakal jadi pria yang lebih baik buat kamu.” Suara Dion bergetar, nyaris tak terdengar di akhir kalimatnya. Matanya memohon, seperti anak kecil yang meminta belas kasih. 

Hana memandangnya, datar tanpa emosi. Dulu, tatapan itu mungkin membuat hatinya meleleh. Tapi sekarang? Tidak ada lagi rasa itu di sini. Semua sudah hancur. 

Hana terlalu lelah untuk marah, terlalu letih untuk menangisi kebohongannya. Ia hanya merasa kosong. Apakah dia sadar betapa dalam luka yang dia tinggalkan? 

“Lucu ya,” suara Hana akhirnya keluar, terdengar dingin bahkan untuk telinganya sendiri. 

“Kamu janji bakal berubah setelah nyakitin aku habis-habisan? Setelah kamu hancurin semua kepercayaan yang udah aku kasih?” Hana terkekeh kecil, tapi tidak ada rasa geli sama sekali di dada.

Rasanya malah seperti serpihan kaca yang ia telan. Dion menunduk, menghindari tatapannya. Hana bisa melihat dia menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu, rasa bersalah mungkin? Atau sekadar ketakutan kehilangan seseorang yang biasa memberinya cinta tanpa syarat?

“Aku nggak bisa tidur, Han. Aku kepikiran kamu terus. Aku nyesel,” kata Dion pelan, seolah-olah pengakuannya itu bisa menghapus semuanya. 

Hana menghela napas panjang. Lelah. Terlalu lelah bahkan untuk mempertimbangkan kata-katanya. Tidak ada gunanya. Dia bahkan tidak mengerti, tidak akan pernah mengerti, betapa berantakannya perasaan ini.

“Dion, kamu itu kayak debu,” kata Hana pelan, setelah mengumpulkan sisa kekuatanku untuk menyusun kata-kata yang tepat. 

Dion mendongak, matanya berkerut, bingung. “Apa?” 

Hana tersenyum tipis, sinis. “Debu. Kamu tahu, debu itu mengganggu. Bikin sesak, bikin nggak nyaman. Dan kamu tahu apa yang harus dilakukan dengan debu? Disingkirkan.” Hana menatapnya dengan tajam, memastikan setiap kata itu menancap di dirinya seperti paku.

“Aku nggak butuh debu dalam hidupku, Dion.” Setelah berkata demikian, Hana menarik napas dalam-dalam. 

Bukan karena ragu, tapi karena ia ingin mengembalikan kendali penuh atas dirinya sendiri. Sudah cukup membiarkan menjadi korban. Sekarang saatnya menghapus apa yang tidak pernah benar-benar berarti.

Dion tampak semakin putus asa. Ia berusaha meraih tangan Hana lagi, tapi sebelum ia sempat melakukannya, sebuah suara lain terdengar.

“Lo nggak ngerti bahasa manusia ya, Dion?” amuk Marini.

Hana menoleh dan melihat sahabatnya berjalan mendekat dengan wajah kesal. Marini langsung berdiri di antara mereka, seperti tameng yang siap melindungi Hana dari pria menyebalkan di hadapannya.

“Lo mau apa lagi sih? Lo pikir lo siapa? Setelah selingkuhin Hana, sekarang lo mau balik lagi? Pakai modal ‘aku nyesel’?” Marini menatap Dion dengan tatapan tajam. 

Dion menghela napas, jelas frustasi. “Gue beneran nyesel, Marini.”

Marini mendengus. “Nyesel? Oh, jadi lo baru nyesel setelah kehilangan Hana? Pas lagi enak-enaknya sama cewek lain, lo nggak kepikiran sama sekali?!”

Dion terdiam.

“Denger ya, Dion. Lo bukan lagi bagian dari hidup Hana. Dia udah selesai sama lo. Jadi tolong, berhenti ganggu dia.” lanjut Marini dengan nada yang lebih dingin. 

Dion menatap Hana lagi, berharap ada celah di hati gadis itu untuknya. Tapi tidak ada.

Hana hanya berdiri di sana dengan wajah datar, tanpa emosi.

Dion akhirnya menunduk. Ia tahu, tidak ada lagi tempat untuknya dalam hidup Hana.

Dengan langkah berat, ia berbalik dan pergi.

Begitu Dion menghilang di kejauhan, Hana menghela napas panjang. Marini menatapnya, mencari tanda-tanda bahwa sahabatnya masih terluka.

“Ternyata bener kata lo, Mar,” Hana berbisik.

Marini mengernyit. “Apa?”

“Selingkuh itu nggak ada kata maaf. Dan orang kayak Dion, emang cuma debu.” Hana tersenyum tipis. 

Marini tertawa kecil dan merangkul Hana. “Gue bangga sama lo, Han.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hana merasa benar-benar bebas.

 

Hana baru saja menghembuskan napas lega setelah Dion pergi, ketika tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di pinggir jalan.

Jendela kaca perlahan turun, memperlihatkan sosok yang membuat jantung Hana berdebar.

Dominic.

Pria itu duduk di balik kemudi dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya. Rahangnya yang tegas dan sikap tenangnya memberikan aura misterius yang begitu menarik.

"Naik," kata Dominic dengan suara tenang, tapi penuh otoritas.

Hana tersenyum tipis. Ia melirik ke arah Marini yang masih berdiri di sampingnya, jelas terlihat penasaran dengan siapa pria itu.

Marini menatap Dominic dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu berbisik pelan ke telinga Hana, "Ya ampun, siapa ini?!"

Hana terkekeh. "Dominic."

Mata Marini membulat. "Yang itu? Yang enam belas tahun lebih tua?"

Hana hanya mengangguk.

Marini menatap Dominic lagi, lalu kembali berbisik dengan nada heboh, "Yang gini juga gue mau, Han. Bening, mapan, tajir, mateng… duh, lengkap banget! Bener beda enam belas tahun? Kok gak keliatan tuwir sih?"

Hana hampir tertawa, tapi ia hanya menggelengkan kepala.

"Kenalin dulu lah!" Marini mendorong bahu Hana pelan.

Dominic yang melihat mereka berdua berbisik-bisik hanya mengangkat sebelah alis.

"Mau naik atau nggak?" tanya Dominic, kali ini dengan nada sedikit lebih menuntut.

Hana akhirnya menarik tangan Marini dan mendekat ke mobil. "Dom, ini Marini, sahabat aku."

Dominic mengangguk singkat, lalu melepas kacamatanya. Matanya yang tajam menatap Marini.

"Hai, Marini," sapanya.

Marini mengedip beberapa kali, tampak terpesona. 

"Hai, om Dominic," balasnya dengan senyum lebar.

Dominic menoleh ke Hana. "Sekarang boleh kita pergi?"

Hana mengangguk, lalu membuka pintu mobil.

Namun sebelum masuk, Marini kembali berbisik, "Han, kalau lo nggak jadi, gue daftar ya?"

"Mimpi aja dulu." Hana tertawa pelan dan menepuk lengan sahabatnya.

Marini hanya cengengesan dan melambai saat Hana masuk ke dalam mobil.

"Temanmu… menyenangkan." Dominic menyalakan mesin, lalu menatap Hana sekilas.

Hana tersenyum. "Itu Marini. Dia selalu begitu."

Dominic mengangguk, lalu mulai melajukan mobilnya.

Di luar, Marini masih berdiri di pinggir jalan, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum sendiri.

"Yang kayak gitu… kalau ada lebihnya satu, Tuhan, tolong kirim buat aku juga," gumamnya pelan.

Dan di dalam mobil, Hana merasa hatinya lebih ringan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak hanya tersenyum untuk menutupi luka.

Tapi karena ia benar-benar bahagia.

Bersambung... 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!