Rasanya dikhianati

Langkah Hana terasa berat. Hatinya masih diliputi amarah dan kekecewaan setelah pertemuannya dengan Dion. Ia mengira dirinya sudah kuat, tetapi luka itu masih menganga, membuat dadanya sesak.

Udara sore yang mulai dingin tak bisa meredam gejolak emosinya. Sepanjang jalan, ia hanya menunduk, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kekecewaan yang baru saja ia hadapi.

Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan lamunannya.

Bip! 

Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di tepi jalan, tepat di hadapannya. Hana menoleh dengan kening berkerut, mencoba melihat siapa yang berada di dalamnya.

Jendela mobil perlahan turun, dan saat melihat sosok yang ada di dalamnya, Hana terpaku.

Dominic.

Pria yang hanya dikenalnya satu malam, tapi entah kenapa meninggalkan kesan mendalam di benaknya.

“Hana, mau ke mana?” suara Dominic terdengar tenang, namun ada nada khawatir di dalamnya.

Hana masih terdiam, sedikit terkejut dengan pertemuan ini.

Melihat wajahnya yang masih menyimpan kesedihan, Dominic menghela napas pelan. 

“Masuklah,” katanya lembut.

Hana menggigit bibirnya, ragu sejenak. Tapi entah kenapa, ia tahu bahwa Dominic bukan seseorang yang harus ia ragukan. Ia menatap pria itu dalam diam, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.

Begitu duduk di samping Dominic, ia menghela napas panjang. Matanya masih sedikit sembab, tapi ia berusaha terlihat tegar.

Dominic menatapnya sekilas sebelum menjalankan mobil. 

“Kamu kelihatan kacau,” katanya tanpa basa-basi. 

Hana hanya bisa tersenyum miris, meski dalam hati rasanya retak berkeping-keping. 

“Hari ini bukan hari terbaik dalam hidupku,” ucap Hana pendek, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang terus menghantam dari dalam. 

Dia tidak bertanya lebih lanjut. Dominic selalu seperti itu, tidak pernah memaksa. Tapi diamnya justru memberiku ruang untuk kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. 

Mesin mobil terus berdengung, menjadi latar suara dari kekacauan di benaknya. Hana menatap keluar jendela, tapi yang kulihat bukan pemandangan jalan, melainkan bayangan Dion yang terus menguasai pikiran. 

Dia… lagi-lagi dia.

“Jadi… dia menyakitimu lagi?” Pertanyaan Dominic tiba-tiba memecah kebisuan. Nada suaranya begitu tenang, seolah mencoba memastikan aku tidak semakin runtuh.

Hana menoleh pelan, sedikit terkejut. “Kamu tahu?” tanya Hana nyaris berbisik. 

 Dia mengangguk, matanya tetap fokus pada jalan di depannya. 

“Aku bisa menebaknya. Wajahmu itu…” Ia menarik napas dalam-dalam, seolah memilih kata-kata yang tidak akan terlalu menyakiti Hana. 

“Penuh luka yang belum sembuh.” imbuhnya pelan.

Hana diam. Rasanya ingin menyangkal, tapi apa gunanya? Mata Hana mulai memanas, seperti setiap emosi yang telah berusaha ia tahan mendesak ingin keluar. 

Ia menundukkan kepala, menggigit bibir bawah kuat-kuat. Tidak, ia tidak akan menangis lagi. Air mata untuk Dion sudah terlalu banyak dan sudah seharusnya habis. 

Tapi kenapa… kenapa hatinya masih terasa hancur seperti ini? 

“Kenapa aku harus ketemu kamu lagi?” tanya Hana tiba-tiba, tanpa sadar.

Suaranya terdengar kecil, nyaris tak berani. Ia bahkan tidak tahu kepada siapa pertanyaan itu sebenarnya ditujukan, kepada Dominic atau mungkin pada semesta yang terasa tak adil ini. 

“Mungkin karena dunia belum selesai dengan kita.” Dominic melirik Hana singkat sambil tersenyum kecil. Senyum itu… entah kenapa terasa seperti balasan atas semua keraguan yang berkecamuk di kepalaku.

Hana mendesah pelan, lalu kembali menyandarkan kepalanya ke jendela. Untuk pertama kalinya dalam sehari, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli.

Dan entah kenapa, itu membuatnya sedikit lebih tenang.

Judul: Tempat untuk Patah Hati

Hana menatap Dominic dengan bingung. “Kita mau ke mana?” tanyanya pelan, suaranya masih mengandung sisa kelelahan dari luka yang belum sembuh.

“Ke tempat buat nenangin diri. Tempat yang pas buat orang yang lagi patah hati.” Dominic, yang masih fokus mengemudi, meliriknya sekilas dan tersenyum kecil.

Hana mengerutkan kening. “Tempat buat patah hati?”

Dominic mengangguk. “Kadang, kita butuh tempat yang bisa bantu kita lihat sesuatu dari sudut pandang berbeda.”

Hana terdiam, menatap jalanan yang mulai berubah. Kota yang penuh hiruk-pikuk perlahan tergantikan oleh suasana yang lebih tenang. Pepohonan mulai mendominasi pemandangan, angin yang masuk dari jendela mobil terasa lebih sejuk.

Setelah beberapa waktu, Dominic menghentikan mobilnya di dekat sebuah bukit kecil yang menghadap ke arah kota. 

Dari sini, lampu-lampu kota tampak berkilauan di kejauhan, seperti lautan bintang yang terbentang di bawah langit malam.

Hana memandangi pemandangan itu dengan takjub. 

“Kamu sering ke sini?” tanyanya.

Dominic membuka pintu mobilnya dan keluar. Hana mengikuti, masih belum sepenuhnya mengerti alasan Dominic membawanya ke tempat ini.

“Aku datang ke sini setiap kali aku merasa dunia terlalu berisik, dan setiap kali aku butuh mengingatkan diri sendiri bahwa luka bukan akhir dari segalanya.” jawab Dominic akhirnya. 

Hana menggigit bibirnya. Kata-kata itu entah kenapa terasa menampar dirinya sendiri.

Dominic berjalan mendekati pagar pembatas, menatap kota yang terbentang di bawah mereka. Hana ikut berdiri di sampingnya, membiarkan angin malam menyapu wajahnya.

“Kamu tahu, dulu aku juga pernah ada di posisi kamu.” Dominic membuka percakapan lagi, suaranya tetap tenang, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dalam di sana, seperti luka yang terpendam lama. 

Hana menoleh, sedikit terkejut mendengar pernyataan itu.

"Kamu juga pernah dikhianati?" tanya Hana dengan suara nyaris tak percaya. Dominic tersenyum kecil, tapi ada getir yang terasa jelas dalam ekspresinya. 

"Pernah," jawabnya singkat, tanpa hiasan, seolah kata itu saja sudah menyimpan seribu cerita di baliknya.

Hana memperhatikan wajahnya, mencari sisa-sisa bekas luka itu. Namun, yang ia temukan justru ketenangan. Bukan ketenangan biasa, melainkan ketenangan yang hanya bisa datang setelah melewati badai yang memporak-porandakan segalanya. 

Ia ingin tahu bagaimana ia bisa sampai di titik ini, sementara dirinya masih merasa terjebak dalam kekacauan yang tak berujung.

"Apa rasanya?" tanya Hana akhirnya, hampir seperti bisikan, takut mengganggu ruang penuh kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti kami. 

 Dominic menghela napas, panjang dan pelan, seakan kata-kata berikutnya membutuhkan kekuatan ekstra untuk diucapkan.

"Rasanya seperti kehilangan bagian dari dirimu sendiri. Seperti tiba-tiba jatuh ke dalam lubang tanpa dasar, dan kamu nggak tahu lagi siapa dirimu atau harus mulai dari mana."

Hana menunduk, membiarkan kata-katanya meresap.

"Jadi… bagaimana kamu bisa bangkit? Bagaimana kamu bisa kembali utuh?" tanya Hana lagi, suara sedikit gemetar karena pertanyaan itu tak hanya untuknya, tapi juga untuk diriku sendiri.

Dominic menatapku, matanya seperti menembus dinding perasaan yang coba kusembunyikan. 

"Aku nggak mencoba untuk sembuh. Aku nggak mencoba memaksa diri untuk melupakan atau memperbaiki semua yang hancur. Aku hanya belajar untuk menerima. Menerima bahwa beberapa orang hanya bagian dari perjalanan kita, bukan tujuan akhir." 

Hana diam, kata-katanya, sederhana tapi penuh makna, seolah perlahan merangkak masuk ke sudut-sudut hatiku yang masih terasa perih. Ia tidak tahu apakah ia bisa melakukannya, tapi untuk pertama kalinya dalam sekian lama, hatiku merasa sedikit lebih ringan.

“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari patah hati?” Dominic bertanya tiba-tiba.

Hana menggeleng pelan.

“Bukan karena seseorang mengkhianati kita,” Dominic melanjutkan. “Tapi karena kita masih berharap mereka akan kembali dan berubah.”

Hana memejamkan mata. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari yang ia bayangkan.

“Kalau kamu masih berharap pria itu akan menyesal dan memperbaiki segalanya… Itu hanya akan menyakiti kamu lebih dalam.” Dominic menatapnya tajam. 

“Jadi aku harus gimana?” Hana menatap Dominic, matanya berkaca-kaca.

Dominic tersenyum kecil. “Kamu harus sadar bahwa kamu lebih berharga dari seseorang yang bahkan nggak tahu cara menghargai kamu.”

Hana menghela napas panjang, lalu menatap langit malam yang luas.

Mungkin, malam ini, di tempat ini… luka itu akhirnya mulai menemukan jalannya untuk sembuh.

"Boleh peluk?"

Bersambung.... 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!