Saat duduk di meja makan kecil apartemen itu, Hana memperhatikan Dominic yang sedang menyiapkan sarapan sederhana, telur dadar dan roti panggang. Gerakannya tenang, seakan semua ini sudah menjadi rutinitasnya.
Hana tidak tahu kenapa, tapi melihat Dominic seperti ini memberinya perasaan aneh. Seperti… dia sudah mengenal pria itu sejak lama.
Padahal mereka baru bertemu tadi malam.
Hana menggigit bibirnya. Pikirannya mulai berkelana.
Bagaimana kalau Dominic sudah menikah? Bagaimana kalau istrinya tiba-tiba datang dan mengira sesuatu yang tidak-tidak?
Matanya melirik ke sekeliling apartemen, mencari tanda-tanda keberadaan seorang wanita. Tapi sejauh yang ia lihat, tempat ini tampak sederhana dan… kosong. Tidak ada sentuhan feminin, tidak ada foto pernikahan, tidak ada barang-barang yang menandakan ada seorang wanita yang tinggal di sini.
Tapi tetap saja… dia takut bertanya.
Bagaimana kalau pertanyaannya justru membuka luka lama Dominic?
Tiba-tiba Dominic menoleh, menangkap basah Hana yang sedang menatapnya dengan ragu.
“Kenapa?” tanya Dominic sambil menaruh piring di hadapanku.
Suaranya terdengar santai, tapi entah kenapa, tatapan matanya begitu dalam. Hana tersentak. Sekilas merasa seperti anak kecil yang ketahuan menyelinap masuk ke kamar orang dewasa.
Hana buru-buru menggeleng. "Nggak, cuma... aku penasaran."
Dia mengangkat satu alis, mempertahankan tatapan itu. "Penasaran apa?"
Hana menelan ludah, berusaha keras memilih kata-kata yang tidak akan menyinggung. "Kamu tinggal sendirian?"
Dominic terdiam sejenak. Hening itu terasa berat, seperti sedang memeriksa apakah aku cukup pantas mendapatkan jawabannya.
"Iya," kata Domi akhirnya, pendek dan datar.
Tapi meski jawabannya sederhana, Hana bisa merasakan sesuatu yang tersimpan di balik kalimat itu. Ada sesuatu yang tidak ia bagi begitu saja, mungkin luka, mungkin penyesalan, atau bahkan kerinduan yang ia kubur dalam-dalam.
Hana hanya tidak tahu apa. Ia menggigit bibir, merasa hati ini makin diselimuti rasa penasaran. Tapi ia harus tahu, setidaknya sedikit lebih dalam.
"Kamu… punya istri?"
Dominic tertawa kecil, nadanya hampir seperti ejekan pada dirinya sendiri.
Dia menggeleng. "Nggak. Kalau punya, dia pasti sudah datang dan menampar aku sekarang."
Hana menghela napas panjang, perasaan lega yang aneh menyusup tanpa izin. Tapi, tetap saja, ada banyak hal yang belum ia pahami tentangnya. Dan entah kenapa, ia ingin tahu.
'Aku harus tahu.'
"Tapi… kamu pernah menikah?"
Tiba-tiba, keheningan melingkupi meja. Dominic berhenti mengunyah. Rahangnya mengeras sejenak, dan untuk pertama kalinya sejak kami mengobrol, ia melihat ekspresi yang dia sembunyikan.
Sekilas, hanya sekilas, tapi aku tahu itu bukan hal yang mudah baginya.
"…Pernah," kata Domi akhirnya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
Hana menahan napas tanpa sadar. Hati kecilnya berkata, "jadi benar."
Ia ingin bertanya lebih jauh, membiarkan rasa ingin tahu mengambil alih kendali. Namun sebelum sempat ia membuka mulut, Dominic menatap tajam. Tatapan itu bukan hanya peringatan, tapi semacam benteng kokoh yang tidak mungkin kulewati tanpa melukai hatinya.
"Aku nggak suka ngomongin itu," ucapnya, tegas dan final. Nada suaranya membuat Hana mengurungkan niatnya.
Hana menelan semua pertanyaan bersama rasa penasaran yang terus membuncah. Ada banyak hal di balik sikapnya yang tenang ini, hal-hal yang masih menjadi misteri. Tapi ia tahu satu hal,ini bukan saatnya untuk memaksa.
Ia mengangguk pelan, memilih untuk tidak memaksakan pertanyaan yang mungkin bisa menyakiti Dominic.
Hening pun mengisi ruangan, hanya terdengar suara peralatan makan yang bergesekan.
Namun di dalam hati Hana, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh.
Siapa sebenarnya Dominic? Dan kenapa, semakin lama ia berada di sini, ia merasa seolah pria ini bukanlah orang asing?
"Jadi aku harus panggil apa? Om atau Pak?" tanya Hana pelan.
Dominic menatap Hana dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka dengan pertanyaan itu.
“Om? Pak?” ulangnya, seakan ingin memastikan dia tidak salah dengar.
Hana yang masih duduk di sofa menahan tawa, meskipun matanya masih terlihat sembab.
“Iya, kamu kelihatan jauh lebih tua dariku. Jadi aku panggil apa? Om Dominic? Pak Dominic?”
Dominic mendengus pelan, lalu menyilangkan tangan di dadanya. “Aku baru 36 tahun. Kamu kira aku setua apa?”
Hana mengangkat bahunya, senyum kecil mulai muncul di wajahnya.
“Entahlah, mungkin karena kamu kelihatan lebih dewasa… atau mungkin karena sikapmu yang kayak bapak-bapak?” godanya.
Dominic menghela napas panjang, lalu mengacak rambutnya sendiri. “Terserah kamu mau manggil apa. Tapi kalau kamu panggil aku ‘om’ atau ‘pak’, aku bakal usir kamu dari sini.”
“Baiklah, Dominic saja.” Hana terkikik pelan, sesuatu yang bahkan tidak ia sadari.
Dominic mengangguk, lalu berjalan menuju dapur kecilnya. “Sekarang ayo sarapan. Aku nggak mau ada orang pingsan di apartemenku karena kelaparan.”
Hana menatap pria itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Dia baru mengenalnya beberapa jam yang lalu.
Tapi entah kenapa, bersama Dominic memberinya rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Seolah dia tidak harus berpura-pura kuat. Seolah dia bisa bernapas, setidaknya untuk saat ini.
Dengan langkah ragu, Hana akhirnya berdiri dan mengikuti Dominic ke dapur.
Mungkin, semesta belum sepenuhnya meninggalkannya.
Hana menghela napas panjang, menggenggam gelas kopi di tangannya. Pandangannya menerawang ke luar jendela apartemen Dominic.
Langit tampak cerah, berbanding terbalik dengan kekacauan yang masih berkecamuk dalam hatinya.
“Aku harus pergi,” ucap Hana, suaranya terdengar lirih namun tegas.
“Ke mana?” Dominic yang sedang merapikan dasinya berhenti sejenak, menoleh ke arahnya.
“Kuliah. Aku harus kembali menjalani hidupku.” Hana tersenyum tipis, meskipun matanya masih menyiratkan kepedihan.
Dominic menatapnya tanpa ekspresi untuk beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Bagus, kamu nggak boleh terus-terusan lari.” katanya.
Hana menunduk, menggigit bibirnya. Dia tahu Dominic benar. Seberapa pun sakitnya kenyataan yang ia hadapi, dia tidak bisa terus bersembunyi di tempat ini.
“Tapi…” Hana menggantungkan kalimatnya, membuat Dominic kembali menatapnya.
“Tapi apa?” tanyanya.
Hana menggeleng kecil. “Aku nggak tahu… apakah aku cukup kuat untuk menghadapi semuanya.”
Dominic menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. Ia menatap gadis itu dalam-dalam, seolah sedang mencari sesuatu di matanya.
“Kamu sudah cukup kuat, Hana, kamu cuma belum sadar.” ucapnya, suaranya dalam dan meyakinkan.
Hana terdiam. Ada sesuatu dalam suara Dominic yang membuatnya ingin percaya.
“Aku juga harus pergi. Kantor sudah menunggu.” Pria itu menghela napas, lalu menoleh ke jam dinding.
Hana mendongak. “Kamu kerja di mana?”
Dominic tersenyum tipis. “Sebuah perusahaan.”
Jawabannya singkat dan tidak memberi banyak petunjuk, tapi Hana tidak ingin bertanya lebih jauh. Ada banyak hal yang masih menjadi misteri tentang Dominic, tapi ia tidak ingin memaksa pria itu untuk membuka dirinya lebih jauh.
“Kamu yakin nggak apa-apa pergi sendiri?” tanya Dominic, matanya menatap Hana penuh perhatian.
Hana tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. “Aku akan baik-baik saja.”
Dominic mengangguk, meskipun ada sesuatu di wajahnya yang menunjukkan bahwa ia masih ragu.
Keduanya berjalan ke depan pintu. Hana menggenggam tali tasnya erat-erat, sementara Dominic menyampirkan jas di lengannya.
Mereka berdiri di ambang pintu, saling berpandangan untuk beberapa saat.
Hana merasa dadanya sesak.
Dia baru mengenal Dominic kurang dari 24 jam, tapi mengapa rasanya seperti ada sesuatu yang akan hilang begitu ia melangkah pergi?
“Kita… akan bertemu lagi, kan?” tanya Hana pelan, hampir seperti bisikan.
“Dunia ini kecil, Hana.” Dominic menatapnya sejenak, sebelum tersenyum samar.
Jawaban yang tidak pasti.
Tapi Hana memilih untuk percaya.
Ia mengangguk, lalu melangkah keluar dari apartemen itu.
Dominic berdiri di ambang pintu, memperhatikannya pergi.
Entah mengapa, melihat punggung Hana yang perlahan menjauh memberinya perasaan aneh. Seolah dia baru saja kehilangan sesuatu yang penting, padahal mereka hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu di saat yang sama-sama buruk.
Hana menahan air matanya saat berjalan keluar dari gedung itu.
Mungkin ini hanya pertemuan sesaat.
Atau mungkin… semesta masih menyimpan sesuatu untuk mereka.
Yang pasti, untuk saat ini, mereka harus melanjutkan hidup masing-masing.
Tapi di dalam hati Hana, ada harapan kecil bahwa suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments