Dominic

Sinar matahari yang menembus tirai jendela menusuk kelopak mata Hana, membuatnya menggeliat pelan. Kepalanya terasa berat, seakan dihantam batu besar. Tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa lengket akibat keringat yang keluar sepanjang malam.

Perlahan, ia membuka mata. Pemandangan asing menyambutnya.

Ini bukan kamarnya.

"Hmm, pusing..."

Pikiran Hana masih buram, tetapi rasa tidak nyaman di tubuhnya perlahan membangkitkan kesadarannya. Saat hendak bergerak, ia merasakan sesuatu yang membuatnya seketika membeku.

Lengan kokoh melingkar di pinggangnya.

"Haaaah, siapa dia?" Hana menahan napas, jantungnya berdegup kencang.

Dengan gerakan perlahan, ia menoleh.

Dan di sampingnya, seorang pria tengah terlelap, wajahnya terlihat tenang, seolah tak terganggu oleh kehadirannya.

Detik itu juga, Hana merasakan hawa panas menyeruak ke sekujur tubuhnya, tetapi bukan karena demam, melainkan karena panik.

“AAAAHHHHH!!” Teriakan Hana menggema di ruangan sempit itu.

Pria di sampingnya langsung tersentak bangun, matanya yang awalnya mengantuk kini membelalak lebar.

“Hah, ada apa? Apa ada gempa atau kebakaran?!” serunya dengan suara serak, masih separuh sadar.

Hana dengan cepat mendorong tubuh pria itu, membuatnya hampir terjatuh dari sofa. Nafasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat.

“SIAPA KAMU?!” Hana menatap pria itu dengan tatapan penuh ketakutan dan kecurigaan.

“Harusnya saya yang nanya gitu ke kamu. Kamu teriak-teriak di tempat saya sendiri.” Pria itu mengacak rambutnya yang berantakan, wajahnya menunjukkan kelelahan. 

Hana semakin panik. “AKU DI TEMPAT KAMU? APA-APAAN INI?! KENAPA AKU BISA DI SINI?! APA YANG KAMU LAKUKAN KE AKU?!”

Pria itu mendesah panjang, jelas tidak siap menghadapi ledakan emosional Hana pagi ini. Ia mengusap wajahnya, mencoba mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap sabar.

“Denger ya, kamu mabuk semalam. Saya nemuin kamu di klub, pingsan, nggak ada identitas, dan saya nggak tahu harus bawa kamu ke mana. Jadi, saya bawa kamu ke sini biar aman, sampai sini paham?”

“Terus… terus… kita semalam…?” Hana masih bernapas terengah-engah, mencoba mencerna kata-kata pria itu.

Pria itu langsung mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi kesal. “Astaga, kamu kira saya apaan?! Saya nggak ngelakuin apa-apa ke kamu! Kamu tidur di sofa, saya juga tidur di sofa. Udah.”

Hana menatapnya ragu, tetapi saat ia memperhatikan keadaan dirinya sendiri, pakaiannya masih utuh, tidak ada yang terasa aneh di tubuhnya, ia mulai sedikit percaya.

Tapi tetap saja… ini terlalu banyak untuknya.

Ia menunduk, tangannya menggenggam rambutnya sendiri. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi, bukan hanya karena mabuk, tapi juga karena kenyataan yang menamparnya begitu keras.

Kemarin adalah hari pertunangannya.

Seharusnya dia berada di sisi Dion, mengenakan cincin yang mereka pilih bersama, memulai perjalanan baru sebagai pasangan yang berkomitmen.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Dia malah menemukan Dion berselingkuh, menghancurkan seluruh harapannya dalam hitungan detik.

Dan sekarang, dia terbangun di apartemen pria asing.

“Hidup aku benar-benar berantakan.” Hana terkekeh pahit. 

Pria itu memperhatikannya dalam diam. Wajah Hana tampak begitu hancur, jauh lebih menyedihkan dibanding semalam saat ia masih menangis dalam keadaan mabuk.

Akhirnya, ia menghela napas. “Kamu butuh minum?”

“Hah?” Hana menoleh dengan ekspresi bingung.

“Minum ini dulu. Trus kalau kepala kamu masih pusing, saya ada obat.” Pria itu berdiri, berjalan ke dapur kecilnya, lalu kembali dengan segelas air putih. Ia menyodorkannya pada Hana. 

Hana menatapnya sejenak, masih sedikit curiga, tetapi akhirnya mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Air dingin itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya yang masih terasa panas.

Setelah beberapa saat, ia menatap pria itu dengan tatapan lebih lunak.

“…Kenapa kamu nolongin saya?” tanya Hana pelan.

Pria itu menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap langit-langit. “Entahlah. Mungkin karena saya tahu rasanya dihancurin sama orang yang seharusnya kita percaya.”

Hana terdiam.

Matanya menatap pria itu lebih dalam, seolah mencoba memahami makna di balik kata-katanya.

“Kamu juga… pernah?” suaranya sedikit bergetar.

“Siapa yang nggak pernah? Semua orang pasti pernah dikhianatin. Cuma masalahnya, kamu mau bangkit atau kamu mau terus jatuh?” Pria itu terkekeh pendek, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana. 

Hana menggigit bibirnya.

'Bangkit atau terus jatuh.' Ia tidak tahu apakah ia punya kekuatan untuk bangkit. Rasanya terlalu berat. Terlalu sakit.

“Tapi aku nggak tahu harus ke mana…” bisiknya.

Pria itu mengalihkan tatapannya ke Hana. Untuk pertama kalinya, ia melihat gadis itu tanpa kemarahan atau panik. Yang tersisa hanyalah seseorang yang benar-benar hancur.

Ia tidak mengenalnya. Mereka hanya dua orang asing yang bertemu karena keadaan.

Tapi entah kenapa, ia tidak tega membiarkan Hana menghadapi ini sendirian.

“Kalau kamu belum siap pulang, kamu bisa tinggal di sini sebentar,” ucapnya akhirnya.

Hana terkejut. “Kamu serius?”

Pria itu mengangkat bahu. “Terserah kamu. Saya nggak akan maksa. Tapi kalau kamu butuh tempat buat nyusun ulang hidup kamu, saya nggak keberatan.”

Hana menatap pria itu lama, mencoba mencari kebohongan di matanya.

Tapi yang ia temukan hanya ketulusan.

Tanpa sadar, matanya mulai memanas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh lagi.

Ia bahkan tidak tahu nama pria ini.

Tapi untuk pertama kalinya sejak semalam, ia merasa tidak sepenuhnya sendirian.

 

Hana masih menatap pria di depannya dengan ragu. Tawaran itu… terlalu baik untuk seseorang yang baru dikenalnya. Atau lebih tepatnya, yang bahkan belum dikenalnya sama sekali.

Dengan sisa keberanian yang dimilikinya, ia akhirnya membuka suara, “Siapa namamu?”

Pria itu menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, “Dominic.”

'Dominic.'

Nama itu terasa asing di telinganya, tetapi entah kenapa, ada sesuatu dalam cara pria itu mengatakannya yang terasa… familiar. Seolah bukan sekadar nama, tetapi sesuatu yang punya beban di baliknya.

“Dan kamu?” tanya Dominic, mengangkat satu alisnya.

Hana sedikit terdiam, sebelum menjawab lirih, “Farhana.”

Dominic mengangguk kecil. “Farhana.”

Hana mengangguk pelan.

Hening sesaat.

Keduanya sama-sama tak tahu harus berkata apa. Ini situasi yang aneh, bangun di ruangan orang asing, berbagi kepedihan tanpa tahu latar belakang satu sama lain, dan kini duduk berhadapan tanpa tahu bagaimana melanjutkan percakapan.

Akhirnya, Dominic yang memecah keheningan.

“Kamu mau cerita?”

Hana menatapnya, bingung. “Cerita?”

Dominic bersandar di sofa, menatap langit-langit dengan ekspresi netral. 

“Biasanya, kalau orang mabuk sampai nggak sadar diri, berarti ada sesuatu yang berat di hidupnya. Jadi, kamu mau cerita?” Ia lalu mengalihkan pandangannya ke Hana. 

Hana terdiam.

Apa dia mau?

Bagaimana mungkin dia bisa begitu saja menceritakan semua luka yang baru saja ia alami pada pria asing?

Tapi… bukankah Dominic sudah melihatnya dalam keadaan paling hancur?

Farhana menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang ke arah jendela, menatap kota yang mulai sibuk di luar sana. 

“Seharusnya… kemarin adalah hari pertunanganku.”

Dominic tidak terkejut. Ia sudah menduga ada sesuatu yang besar di balik semua ini. Tapi ia tetap diam, membiarkan Hana melanjutkan.

Hana menelan ludah, mencoba menahan emosi yang kembali menggelegak dalam dadanya. 

“Aku menemukan tunanganku selingkuh.” Suaranya terdengar getir.

Dominic mengamati ekspresi Hana yang berubah suram. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, berusaha menahan amarah dan rasa sakit yang jelas masih menguasai hatinya.

“Aku sudah mencintainya selama bertahun-tahun, percaya padanya… berpikir bahwa kami akan menjalani hidup bersama. Tapi ternyata, aku hanya bodoh.” Hana tertawa kecil, tapi terdengar begitu pahit. 

Dominic menatap gadis itu lebih lama. Ia tidak berkata apa-apa, tapi caranya melihat Hana seolah mengatakan bahwa ia mengerti.

Hana menghela napas, lalu menoleh ke Dominic. “Sekarang giliranmu. Kamu bilang tadi, semua orang pernah dikhianati. Kamu juga?”

Dominic terkekeh pelan, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. “Aku kehilangan seseorang yang aku anggap sebagai segalanya. Tapi pada akhirnya, dia memilih orang lain.”

Hana terdiam.

Ia bisa melihat kesakitan yang tersembunyi di balik sorot mata pria itu. Luka yang mungkin tidak akan pernah benar-benar sembuh, sama seperti luka yang kini menggerogoti hatinya.

Mereka saling menatap.

Dua orang asing, sama-sama terluka.

Sama-sama mencoba menemukan jalan keluar dari kehancuran yang baru saja menimpa mereka.

Dominic menarik napas, lalu bangkit dari sofa. “Jadi, sekarang bagaimana? Kamu mau pulang atau tetap di sini?”

Hana mengigit bibirnya, ragu.

Tapi ketika ia mengingat rumahnya, ruang kosong yang penuh kenangan tentang Dion, pertanyaan yang akan muncul dari orang-orang sekitarnya, dan rasa sakit yang akan terus menghantuinya, ia tahu ia belum siap.

“…Bolehkah aku tinggal di sini sebentar?” tanyanya dengan suara pelan.

Dominic menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Selama kamu nggak bikin masalah, aku nggak keberatan.”

Untuk pertama kalinya sejak semalam, Hana merasa sedikit lebih lega.

Ia mungkin masih hancur.

Tapi setidaknya, untuk sekarang, ia tidak harus menghadapi semuanya sendirian.

Bersambung... 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!