Selama dalam perjalanan berangkat ke gedung pesta, aku dan William tidak banyak mengobrol. Ia terus fokus menyetir sementara aku hanya melirik ekspresi wajahnya yang senantiasa datar dengan gugup.
"Ada apa?" tanya cowok itu tiba-tiba.
Aku menggelengkan kepala. "Eh, tidak." Kemudian, menatap lampu lalu lintas di pertigaan yang berpendar merah. "Aku ... tadi cuma penasaran ... rambutmu malam ini terlihat agak berbeda. Apa kau memotongnya?"
"Yeah, aku hanya merapikannya sedikit. Rambutku yang sebelumnya sering sekali berantakan karena sudah terlalu panjang."
"Oh, well, cocok juga. Maksudku, gaya rambutmu yang kali ini membuatmu kelihatan lebih-"
William menoleh ke arahku seraya mengencangkan sabuk pengamannya.
"Umm, ya, lebih-" Aku meneguk ludah. "Hei, lihat lampunya sudah menyala hijau!"
"Ya, aku tahu. Trim's." Ia pun segera mengalihkan pandangannya lagi ke depan dan membawa mobilnya menuju jalan raya yang padat.
Entahlah, aku mendadak gengsi ketika ingin mengatakan kalau malam ini dia kelihatan lebih tampan dengan paduan jas hitam yang sedang dikenakannya. Walaupun Will memang bukan tipe cowok yang romantis, tapi aura yang terpancar dari dirinya itu seolah-olah memiliki daya tarik tersendiri yang menunjukkan kalau dia ini berbeda dari kebanyakan cowok lain di luar sana.
Kalian pasti pernah dengar 'kan, kalau cowok pendiam biasanya jauh lebih setia? Yah, kupikir itu ada benarnya. Cowok seperti William ini memang sangat langka.
Sesampainya di lokasi tempat yang tertera sesuai di kartu undangan, kami berdua langsung disambut oleh sebuah kue ulang tahun tiga susun yang menjulang tinggi tepat ditengah-tengah aula megah. Mulai dari lampu gantung kristal sampai karpet merah raksasa yang tergelar di lantai membuat pesta ini semakin terlihat mewah memanjakan mata.
Suasana tampak begitu meriah. Tapi sayangnya, aku hanya sempat say hello pada Arlene dan Natalie. Arlene sejak tadi selalu bersama Kevin. Tentu saja aku tidak ingin menjadi benalu di antara mereka. Sedangkan Natalie, ia terus sibuk mengumpulkan tiket undian. Gadis itu bersikeras ingin memenangkan hadiah doorprize sebesar £1.000.
Kemarin lusa Natalie juga sempat bilang padaku, Kalau bukan karena ada hadiah doorprize, aku tidak akan sudi datang kemari. Dia juga harus mengganti rugi uang tabunganku yang sudah ludes gara-gara mengganti vas bunga bersejarah yang harganya sama sekali tidak masuk akal itu!
Baguslah, mereka semua memiliki kesibukannya masing-masing daripada aku dan William yang sekarang hanya duduk diam memangku wajah di meja sebelah sudut ruangan. Bahkan setelah aku mengomentari gaya rambut barunya, dia sama sekali tidak membalas atau memberikan tanggapan apapun tentang penampilanku di pesta malam ini.
"Will, apa kau ingin bergabung bersama mereka?" Aku menunjuk Aland, Ethan, dan juga Gary. Mereka adalah temanku di klub musik, tapi kami tidak terlalu dekat.
Ia menggeleng.
"Bagaimana kalau kita pergi ke sana?" usulku, menunjuk area prasmanan. Aku ingin mencicipi makanan mahal yang kapan lagi bisa kumakan sepuasnya dengan gratis.
William lagi-lagi hanya menggeleng. Mungkin ia masih belum lapar. Aku menghembuskan napas pelan, merasa jenuh karena tidak melakukan apa-apa selain menonton orang lain yang sedang sibuk menari, mencicipi kue cokelat bertabur emas, bermesraan dengan pacarnya, atau bahkan mencari tiket undian seperti Natalie.
Nginggg!
"Attention, please!" teriak Chloris dari atas panggung bersama Maggie dan Rowena.
Mereka bertiga seperti foto model iklan sampo di televisi nasional. Terkadang cewek-cewek resek itu memang terlihat lumayan mirip karena ketiganya sama-sama berambut wave dan juga memiliki warna mata biru terang. Awalnya, saat baru mengenal mereka, aku sempat tertukar yang mana Chloris, Maggie, dan Rowena-tetapi, sebenarnya mudah saja.
Chloris Dawson berambut pirang seperti pasir pantai; Maggie Smith berambut cokelat terang seperti kayu pohon konifer; dan Rowena Jefferson berambut oranye kemerahan seperti singa jantan.
"What time is it now, Guys?" sambung Maggie dengan suara lantang.
"Eleven o'clock!" sahut salah satu seseorang dari tengah keramaian yang diiringi suara riuh.
"Yeah, tepat sekali! Bersiaplah karena sekarang kita semua akan memulai sesi dansa pada malam ini. Dan ingat, tidak boleh ada satu pun di antara kalian yang hanya duduk diam memangku wajah!" Rowena serta-merta langsung mengambil dua mikrofon sekaligus. "Now let's party all night, woah!" teriaknya dengan suara melengking hingga membuat gendang telingaku serasa hampir pecah.
Sebagian besar lampu kini dimatikan dan iringan musik slow pun mulai diputar.
"Kathleen, kau tidak berdansa?" tanya Kevin yang sekonyong-konyong datang bersama Arlene menghampiriku dan William.
Aku meraih segelas wine di meja lalu sedikit menggoyangkannya. "Entahlah. Kurasa tidak," balasku lesu.
Arlene mendadak kaget ketika mendengar tanggapanku barusan. "Kau yakin?"
Aku mengedikkan bahu.
"Berarti nanti kau yang akan membayar semua makanan mahal di meja prasmanan itu, dong?"
Wine yang barusan kuteguk itu rasanya seketika bersarang di langit-langit hidung. "Wait, what? Kenapa malah jadi aku yang bayar?"
"Memangnya kau tadi tidak dengar? Malam ini bagi siapa saja yang tertangkap basah tidak berdansa dia yang akan membayar seluruh biaya prasmanan ditambah biaya sewa karpet!"
"Apa? Kau jangan bercanda, Arlene!"
"Aku serius. Iya 'kan, Vin?"
Kevin mengangguk. "Hmm, begini saja. Kalau kau masih belum mendapat pasangan ...." Ia melihat ke sekeliling. "Nah, itu di sana. Kelihatannya Henry masih sendirian."
"Henry? Malas sekali. Lebih baik aku mengepel semua lantai di gedung ini daripada harus berdansa dengannya."
"Kalau begitu Steve saja. Kurasa dia dari tadi sedang menunggumu," imbuh Kevin dengan entengnya.
Terdengar suara kursi yang bergeser.
William tahu-tahu bangun dari tempat duduknya. "Biar aku yang akan berdansa denganmu. Lagi pula, kau sudah datang kemari bersamaku. Kenapa masih mencari pasangan lain?" katanya seraya menarikku keluar dari meja resepsi tanpa memberi aba-aba. "Pergilah, kalian berdua bisa menikmati pestanya lagi," lanjut Will berbicara pada Arlene dan Kevin.
Aku menggeleng. Tidak-tidak! Please, kalian jangan pergi meninggalkanku di sini ..., mohonku dalam hati.
Arlene yang melihat eskpresi panik wajahku malah nyengir lalu mengedipkan sebelah matanya sambil melirik aku dan William dengan tatapan jail. Sialnya, Kevin juga sudah kabur duluan dari sana.
Will kemudian langsung meletakkan satu tanganku di pundaknya yang lebar. Aku merasa mata kelabu cowok itu terus menatapku secara intens. Wajah kami benar-benar dekat. Mungkin lebih dekat dibandingkan insiden memalukan di bus sekolah beberapa waktu lalu. Aku sama sekali belum pernah berdansa dengan siapa pun. Jadi, wajar saja kalau gerakan tubuhku ini benar-benar kaku seperti manekin.
"Tidak perlu secanggung itu padaku. Kau justru akan menarik perhatian orang lain," ungkap William. Suara lembutnya mengalun merdu di telingaku.
"Umm, bagaimana kalau kita bagi dua saja? Aku yang membayar biaya prasmanannya dan kau bisa membayar biaya sewa karpetnya. Kuharap uang tabunganku bulan ini masih cukup."
Setiap gerakan Will tampak begitu luwes dan selalu seirama dengan ritme musik. Ia mengulurkan tangannya, melakukan teknik dasar dansa yang sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan. "Kita sudah berdansa. Untuk apa membayarnya lagi?"
Ya, dia memang benar. Kenapa aku malah repot-repot memikirkan urusan yang tidak penting itu?
Oh, Kathleen! Kendalikan dirimu. Jangan sampai kau melakukan hal bodoh lagi dihadapannya.
"Apa kau tahu? Dansa itu adalah suatu momen yang sangat spesial. Kau bisa menganggapnya sebagai ungkapan ekspresi yang memiliki unsur keindahan dan makna mendalam," jelasnya seraya menarik tubuhku ke dalam dekapannya.
Ia tersenyum lembut. Sebelah tangannya yang menyangga bagian bawah punggungku membuat rasa grogi ini jadi tambah tidak terkendali. Aku terkesiap ketika William tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya. Napasku tercekat.
Apa dia akan menciumku?
Seperti yang Natalie katakan?
Hei, berhentilah berpikir ngeres, Kathleen! Itu tidak benar.
Detik berikutnya, Will justru semakin mendekatkan wajahnya lagi padaku. "Kau bisa menutup matamu kalau kau mau," ujar cowok itu dengan suara yang terdengar serius.
Astaga, apakah dia benar-benar ingin menciumku?
Di tengah keramaian?
Kurasa itu bukanlah ide bagus.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Menghentikannya atau ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments