Perpustakaan adalah surganya dunia bagi para orang-orang jenius seperti William. Pantas saja saat jam istirahat aku jarang melihat cowok itu berkeliaran ke mana-mana. Kalau tidak di kafetaria untuk makan, pasti ada di perpustakaan untuk membaca buku.
Aku bertemu dengan William di sana ketika hendak mengembalikan salah satu buku perpustakaan yang kupinjam untuk menyelesaikan tugas dari Mr. Jacob tadi.
"Kau sedang membaca apa?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapannya untuk duduk.
William langsung menutup buku yang sedang dibacanya. "Bukan apa-apa."
"Kau lanjut baca saja. Aku hanya numpang duduk sebentar di sini sembari menunggu bel pergantian kelas," kataku, tersenyum kikuk. "Boleh, 'kan?"
Ia mengangguk. "Ya, tidak masalah."
Namun, bukannya lanjut membaca buku, William sekarang malah memperhatikanku dengan tatapan yang tidak biasa. Aku jadi merasa grogi sendiri dan bingung harus melakukan apa. Untuk sekian saat, kami berdua hanya duduk membisu sembari saling pandang. Rasanya benar-benar canggung.
Aku beralih memandangi kelima kuku jariku yang sudah dipotong rapi sambil berusaha mencari topik obrolan yang pas. Akan tetapi, lama-kelamaan sampul depan dari buku yang sedang dipegang William itu agak menarik perhatianku karena warna merah jambunya yang mencolok. Judul bukunya dicetak terlalu tebal sampai-sampai aku bisa membacanya dengan sangat jelas.
HOW - TO - DATE?
Oh, tidak! Aku salah besar. Kukira dia di sini sedang membaca buku pelajaran. Tapi nyatanya, William malah membaca buku tentang Bagaimana caranya berkencan?
Buat apa dia membaca buku semacam itu?
Celaka!
Apakah dia benar-benar menganggap serius omong kosongku tadi?
Well, runyam sudah.
"Apa ada sesuatu hal yang ingin kau katakan padaku?" tanyanya mengalihkan pembicaraan karena melihat raut wajahku yang tiba-tiba berubah drastis.
"Umm ...." Tanganku mulai berkeringat.
"Katakan saja. Aku sudah selesai membaca."
Aku tercengang sekaligus penasaran dengan apa saja yang sudah dia baca dari buku itu.
William masih menungguku untuk berbicara.
"Anu ... maksudku, apakah aku boleh meminta bantuanmu?"
"Bantuanku?" Ia mengangkat satu alisnya. "Ada apa?"
Kugaruk hidungku yang tidak gatal. "Besok malam ... apa kau akan pergi ke pesta ulang tahun Chloris?"
William menggeleng. "Tidak, aku tidak suka pergi ke pesta ataupun ke tempat ramai lainnya."
Aku memejamkan mata sambil menggigit bagian dalam bibirku karena gugup.
"Memangnya kenapa?" William kembali bertanya.
"Jadi, begini ... Steve tadi mengajakku untuk pergi bersamanya ke pesta ulang tahun Chloris. Tapi, aku tidak mau pergi bersamanya."
"Kalau begitu tolak saja."
"Aku sudah menolaknya."
"Lalu? Sekarang apa yang bisa kubantu?"
"Masalahnya ...." Ekspresi wajah William terlihat penasaran karena ucapanku yang sepotong-sepotong. "A-aku tadi tidak sengaja menyebut namamu dan bilang kalau kau akan pergi bersamaku."
Will yang semula menyandarkan punggungnya ke belakang kursi, ia pun terkejut. Bola mata cowok itu serasa hampir melompat keluar dari pelupuknya saat mendengar perkataanku.
"Uh-oh, kau tenang saja. Kalau kau memang tidak ingin pergi, aku tidak akan memaksamu," lanjutku panik karena melihat tanggapannya barusan.
William lantas mencondongkan badannya ke depan. Ia termenung sejenak sembari melipat kedua tangannya di depan dagu untuk berpikir matang-matang. "Jadi, maksudmu aku harus datang menjemputmu dari rumah dan berangkat ke pesta bersamamu hanya untuk menghindari ajakan Steve, begitu?"
"Y-ya, itu pun kalau kau betul-betul tidak keberatan ...."
"Ohh." Ia mengangguk paham. "Baiklah, aku akan pergi bersamamu."
Aku langsung bangkit berdiri dari kursi. "Sungguh?"
"Yeah, kau tadi bilang butuh bantuanku. Aku bersedia untuk membantumu."
"Tapi," aku kembali duduk, "kau tidak marah denganku, bukan?"
Ia memiringkan kepalanya. "Buat apa aku marah?"
"Yah, aku sudah bersikap lancang dengan menyebut namamu sembarangan tanpa ada persetujuan dulu darimu," gumamku merasa tidak enak hati.
"Tak apa. Lagi pula, kau tidak sengaja. Aku bisa memakluminya."
Senyumku pun merekah sempurna. "Terima kasih, Will! Kau sudah banyak membantuku."
"Ya, sama-sama."
Aku memandangnya dengan wajah sumringah.
"So, sebelum aku berubah pikiran lagi, sebaiknya kau cepat masuk ke kelasmu yang selanjutnya. Bel pergantian kelas sudah berbunyi," katanya seraya beranjak dari tempat duduk dan menaruh buku yang tadi dibacanya ke rak. "Aku juga harus masuk ke kelasku sekarang."
"Oke, baiklah!" balasku riang.
Sewaktu berjalan keluar dari perpustakaan, aku dan William tak sengaja berpapasan dengan Steve yang baru saja akan masuk ke dalam perpustakaan untuk pelajaran literasi. Aku menyapanya, namun ia langsung membuang muka ketika melihat William.
"Cih! Kau lagi ternyata. Dasar munafik!" sindirnya terang-terangan.
Will menghela napas pendek. "Kau jangan memulai. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu."
"Hei, apa tidak salah? Justru kau yang memulainya duluan, Man."
"Aku?" William pun mendengkus. "Bukannya dua bocah tengik itu yang pertama kali menggangguku? Aku sudah memperingatkan, tapi mereka tetap saja tidak mau mendengarkan. Jadi, itu bukan salahku dan kau tidak usah memutar balikkan fakta."
Steve menatap tajam dari balik kelopak matanya yang dalam. "Dengar, aku sama sekali tidak peduli kalau kau punya urusan dengan mereka berdua. I don't give a shit about it!" sahutnya. "Terserah kau mau melakukan apa."
"Lantas apa masalahmu denganku sekarang?"
"Kau sudah mengacaukan semuanya!"
"Mengacaukan apa?"
"Kau masih saja bertanya?" Nada bicara Steve mulai naik.
Situasi malah mendadak tegang. Aku meremas ujung pakaianku sambil melirik mereka berdua dengan cemas.
"Jangan berpura-pura bodoh, William! Aku tahu niat busukmu datang kemari," lanjutnya sementara Will langsung menyahut dengan nada ketus.
"Memangnya kau tahu apa tentangku? Berpikirlah dulu sebelum asal bicara."
"Kau yang harusnya berpikir!" Cowok itu tiba-tiba menarik kerah jaket William. "Aku tidak pernah takut denganmu, Anderson. Bersaing? Kita lihat saja. Siapa yang akan tumbang setelah ini."
"Cukup, Steve. Kau ini apa-apaan, sih? Jangan membuat keributan di sekolah!" tukasku seraya berusaha melepaskan cengkeramannya dari kerah jaket William.
Ia malah menepis tanganku. "Aku tidak akan membuat keributan kalau tidak ada ada yang berani mencari masalah dulu denganku, Kathleen."
"Lalu yang sedang kau lakukan ini apa? Bukankah kau yang membuat keributan duluan? Aku menyapamu baik-baik, tapi kau malah bersikap seperti ini."
"Kau tidak akan mengerti."
"Kalau begitu sekarang jelaskan padaku supaya aku bisa mengerti apa maumu."
Ekspresinya seketika mengeras. Kulihat ada rasa kecewa bercampur marah yang terpancar dari kedua sorot matanya. "Kau pikirkan saja sendiri!" balasnya kemudian langsung pergi meninggalkan kami.
Aku menyentuh keningku dengan heran. "Dia ini kenapa, sih? Apa dia marah karena aku sudah menolak tawarannya?"
Will memegang pundakku. "Biarkan saja. Tidak usah terlalu dipikirkan. Kurasa dia bukan marah padamu. Masalah kau menerima atau menolak tawarannya itu adalah hakmu. Dia tidak boleh memaksa dengan seenak hatinya sendiri."
"Ya. Kau benar ...," imbuhku sambil menghela napas.
"Pergilah, guru-guru sebentar lagi pasti akan masuk ke dalam kelas. Jangan sampai terlambat."
Aku menganggukkan kepala, tersenyum tipis padanya lalu segera pergi menuju ke kelas terakhirku di minggu ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments