"Jadi, apa kau sudah resmi berpacaran dengannya?" tanya Natalie sewaktu kami berdua berada di kelas pemerintahan milik Mr. Jacob.
Aku yang sedang fokus membuka-buka buku catatan-mencari materi bab baru-pun mendadak gelagapan mendengarnya. "Pacaran? Dengan siapa?"
"William ... memangnya siapa lagi? Steve?"
Aku menghela napas panjang. "Kenapa kau terus menuduhku yang tidak-tidak?"
"Aku tidak menuduh, hanya bertanya."
"Tetap saja."
Ia menggeser bangkunya mendekati bangkuku. "Aku tahu apa yang sudah kau lakukan sewaktu jam istirahat tadi, Kathleen," bisiknya pelan.
Garis wajahku sontak berkerut. "Maksudmu?"
"Kau berpelukan dengan William."
"Huh? Dari mana kau bisa tahu? Bukannya kau tadi masih mengerjakan kuis harian dari Mr. Osborne?"
"Wah, ternyata apa yang dibicarakan oleh anak-anak klub teater tadi memang benar," balasnya sembari geleng-geleng kepala. "Aku sungguh tidak menyangka bisa-bisanya kau bermesraan di sekolah seperti itu."
"Hei, kau harus dengar penjelasanku dulu. Itu terjadi begitu saja. Aku juga tidak menyangka kalau dia tiba-tiba akan memelukku."
"Masa?"
"Asal kau tahu, gerakannya betul-betul cepat sampai aku tidak sempat berpikir untuk menghindar."
"Well, kalau kau memang tidak mau dipeluknya kenapa kau tidak berusaha melepaskan diri?"
"Ya, itu karena-"
Sial. Kenapa ucapan Natalie selalu saja benar?
"Dengar-dengar, kalian berpelukan selama ... hm, tiga sampai empat menit barangkali. Itu bukanlah waktu yang sebentar hanya untuk sekadar berpelukan," katanya dengan suara berbalut penuh curiga. Ia lalu memicingkan matanya padaku. "Apa dia juga menciummu?"
Aku memekik. "Wait, what? Yang benar saja! Mana mungkin aku dan William berciuman di depan banyak orang?"
"Ssst!" Natalie menyenggol lenganku. "Kau jangan bicara keras-keras!" pungkasnya seraya memberi kode kalau Mr. Jacob tahu-tahu melirik ke arah kami.
Aku mengatupkan bibir ke dalam.
Ia langsung berdeham cukup kencang. "He-em. Jadi, bagaimana pendapatmu, Kathleen? Apa kau sudah menemukan jalan keluar tentang masalah ini?" tanyanya yang mengalihkan perhatian, berpura-pura menanyakan tentang masalah dari tugas yang sedang kami bahas.
"Oh, kalau menurutku, masalah ini sepertinya perlu diselesaikan dengan kepala dingin supaya lebih ...." Kulirik Mr. Jacob yang sekarang sudah kembali fokus memeriksa catatan siswa lain.
"Kau benar sekali. Aku juga sangat setuju dengan pendapatmu," sahutnya. Kemudian, memelankan suaranya lagi. "Cepat selesaikan dulu tugasnya. Nanti kita mengobrol lagi. Aku masih belum puas menginterogasimu."
"Ya-ya, dari dulu kau memang tidak pernah puas menginterogasiku."
Setelah semua tugas kami berdua selesai diperiksa, Mr. Jacob pun memperbolehkan aku dan Natalie untuk keluar duluan. Kami segera mengemasi barang-barang bawaan ke dalam tas dan meninggalkan ruangan.
"Thank you, Sir!" pamitku.
"Yeah. You're welcome," jawab Mr. Jacob ramah.
Baru saja melangkahkan kaki keluar dari ruang kelas pemerintahan, Maggie dan Rowena tiba-tiba langsung datang menghampiri kami. Mereka berdua melirik aku dan Natalie sambil mendengkus sinis.
"Ambil ini!" Maggie memberikan sebuah kartu undangan dengan selipan kedua jarinya.
Aku meraih kartu itu dan balik melirik mereka sambil mengangkat satu alis.
"Undangan apa ini?" tanya Natalie.
"Pesta ulang tahun. Kau tidak bisa baca?"
Natalie berdecak.
"Pokoknya kalian berdua harus datang. Khususnya kau, Kathleen! Chloris sudah mau berbaik hati mengundangmu ke pesta ulang tahunnya besok malam," sambung Rowena. "Jadi tidak ada alasan."
"Ya. Sampaikan padanya, aku akan datang. Terima kasih."
Mereka berdua menyibakkan rambutnya ke belakang kemudian pergi menghampiri anak lain, lanjut membagi-bagikan undangan.
"Kau benaran mau datang?" Natalie bertanya sembari membuka kartu undangan tersebut.
"Yeah, mau bagaimana lagi? Dia sudah memintaku untuk datang. Kalau tadi aku tidak diberi kartu undangan mungkin beda lagi ceritanya. Kau sendiri bagaimana?"
"Entahlah, aku masih sebal dengan cewek resek itu. Lagian aku juga sedang malas keluar rumah belakangan ini."
"Oh, baiklah," jawabku sembari ikut membaca isi undangan tersebut. "Wow, Natalie, lihat ini ... ada hadiah doorprize sebesar £1.000!"
"Ah, yang benar. Mana?"
"Itu! Coba kau lihat di bagian paling bawah," kataku seraya menunjuk ke kartu undangan yang sedang dipegangnya.
Natalie membulatkan mata lalu menatapku sambil cengar-cengir. "Okelah, kalau begitu aku akan datang. Kebetulan uang jajanku bulan ini juga sudah menipis," lanjutnya berubah pikiran.
***
Aku masih mempunyai waktu selama kurang lebih lima belas menit lagi sebelum bel pergantian kelas selanjutnya berbunyi. Karena haus, aku pun memutuskan untuk mampir sebentar ke vending machine untuk membeli satu kaleng soda. Natalie sudah masuk ke kelasnya lebih dulu untuk bersiap-siap ke laboratorium kimia.
Kulirik di sisi lain, Chloris terlihat sedang berlarian kecil menghampiri Steve yang baru saja keluar dari kelas psikologi.
"Hai, Babe!" sapa cewek itu sambil bergelayutan manja di pundaknya.
Steve langsung memutar bola mata dengan malas. "Ada apa?" tanyanya. Ia terlihat agak risi dan terus melakukan gerakan penolakan secara halus.
Chloris kemudian memberikan kartu undangan pesta ulang tahunnya pada cowok itu. "Nanti kau datang, ya? Kau adalah tamu spesialku."
Steve membuka kartu undangan itu, melihat sekilas, lalu mengembalikannya lagi. "Sori, lain kali saja. Aku sibuk."
"Oh, ayolah. Jangan seperti itu ... aku akan mengadakan sesi dansa dan kau akan menjadi pasanganku."
"Kenapa harus aku?"
Chloris mengerucutkan bibir tebalnya. "Setidaknya datanglah. Aku sudah mengundang semua anak di sini."
"Semua?"
"Tentu saja. Teman-temanku tadi juga sudah memastikan tidak ada satu pun yang terlewat."
Cowok itu tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku segera berpaling dari mereka sembari berpura-pura menekan tombol vending machine.
"Bagaimana dengan Kathleen? Apa kau juga mengundangnya?"
"Sudah kuduga. Kenapa sih kau selalu menanyakan dia?"
"Jawab saja," desak Steve tak sabar. "Kau mengundangnya atau tidak?"
"Ya, dia bilang akan datang."
"Benarkah? Kau tidak bohong, 'kan?"
"Kalau kau tidak percaya, kau bisa tanyakan sendiri dengannya."
"Baiklah. Kalau begitu nanti aku datang," balas Steve seraya mengambil kembali kartu undangannya. Ia langsung berlari menghampiriku sementara Chloris terlihat menjejakkan satu kakinya dengan kesal.
Aku buru-buru mengambil minumanku.
"Hai!" sapa Steve, menyunggingkan senyum lebar. Ia mengeluarkan dompet lantas memasukkan uangnya ke dalam mesin minuman yang ada di sebelahku. "Kau haus?"
Aku hanya bergumam membalas pertanyaannya.
Cowok itu mengambil kembalian sekaligus dua kaleng pepsi yang tadi sudah dibelinya. "Kau mau satu?"
"Tidak, terima kasih. Aku sudah punya minumanku sendiri."
"Ah, okey," imbuhnya sambil manggut-manggut paham. "Anyway, kau nanti datang ke pesta ulang tahun Chloris, bukan?"
"Yeah, dia yang memaksaku buat datang," balasku kemudian meneguk minuman soda milikku. "Kenapa?"
"Kau mau berangkat bersamaku?"
Aku hampir tersedak begitu mendengar tawarannya barusan. "Berangkat bersamamu?"
"Yeah. Kalau kau mau, aku akan datang untuk menjemputmu besok malam."
"Umm, tidak bisa. William ... maksudku, dia yang sudah mengajakku untuk pergi bersamanya duluan."
Ekspresi wajah Steve langsung berubah masam saat mendengar nama William. "Oh, jadi aku kalah cepat rupanya."
Aku cuma mengangkat bahu. "Sori." Lalu, cepat-cepat kabur-berjalan memutar arah ke kanan koridor karena takut akan mengucapkan hal-hal gila lain yang akan menimbulkan perkara lagi. Selain nama William, sebenarnya masih ada banyak nama lain yang bisa kusebut untuk menolak ajakan Steve.
Arlene, Natalie, Jillian, atau Kevin juga tidak masalah. Tapi, sialnya dalam otakku semua nama itu mendadak hilang dan hanya tersisa wajah William yang selalu terpampang jelas di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments