William mengirimkan pesan ini padaku sekitar lima menit yang lalu. Aku tidak tahu apa yang ingin cowok itu bicarakan tengah-tengah malam begini. Rasa penasaranku kembali bergejolak. Sebenarnya, aku masih ingin menanyakan tentang percakapan aneh tadi sampai jelas dan masuk akal. Namun, percuma juga memaksanya. Bisa-bisa nanti dia malah curiga denganku.
-William: "Ternyata kau masih belum tidur. Aku tahu kau sedang membaca pesanku."
Typing ....
-Kathleen: "Yeah, tapi sekarang aku sudah mulai mengantuk. Kita lanjut bicara besok saja di sekolah."
-William: "Oh, baiklah. Maaf sudah mengganggu waktu istirahatmu. G'night!"
Aku menangkupkan kedua tangan ke wajah dengan perasaan bercampur aduk. Masih ada banyak pertanyaan yang menggenang dalam kepalaku. Tapi, sayangnya hari ini otakku sudah tidak sanggup buat berpikir lagi. Kututup ponselku kembali lalu meletakkannya di atas nakas. Setelah itu, merebahkan badan serta menarik selimut-bersiap untuk tidur.
Aku termenung sesaat sembari menatap langit-langit kamar yang gelap. Hidup memang penuh misteri. Tidak ada yang tahu akhirnya akan seperti apa. Sesaat kemudian, mataku perlahan terpejam. Pelukan lembut dari selimut membuat malam yang dingin ini menjadi terasa lebih hangat dan nyaman.
***
Sinar matahari menyelusup masuk melalui celah-celah jendela kamarku yang sedikit terbuka. Aku menggeliat dan membuka mataku perlahan. Tepat saat itu, alarm berbunyi.
Aku segera turun dari ranjangku lantas berjalan menuju hanger di belakang pintu, mengambil handuk dan peralatan mandi.
"Pagi, Mom!" sapaku ketika berpapasan dengannya waktu ingin masuk ke kamar mandi.
"Pagi juga! Tumben sekali jam segini kau sudah bangun? Biasanya agak siangan," ledeknya sambil terkekeh pelan.
"Yeah, semalam aku tidur lebih awal."
"Oh, ya? Baguslah kalau begitu. Sepertinya kau memang harus rajin minum teh atau susu kacang almond supaya insomniamu bisa berkurang."
"Ya, saranmu ternyata sangat membantu," jawabku seraya mengacungkan jempol.
Selesai mandi, aku pun kembali naik ke kamar untuk bersiap-siap. Hari ini aku memakai kardigan rajut berwarna ungu pastel dan celana jeans putih. Aku, Arlene, dan Natalie memang lebih sering memakai celana panjang ke sekolah karena terkesan lebih sopan dan agar bisa bergerak leluasa. Berbeda dengan Chloris and the gank, mereka lebih suka mengenakan rok mini dan baju kurang bahan. Cowok-cowok pun sampai mendelik kalau ketiga cewek itu sedang lewat.
Aku berjalan ke depan cermin untuk menyisir rambutku yang masih berantakan. Rambutku panjang sepunggung, sedikit ikal di bagian bawah, dan berwarna cokelat gelap warisan dari Dad. Hanya rambut dan kulit putih pucat yang diwariskannya padaku. Selebihnya, banyak orang yang bilang kalau aku ini lebih mirip Mom saat muda.
"Loh, di mana gelangku?" Aku terkejut sekaligus bingung ketika melihat pergelangan tanganku yang kosong. "Kenapa tidak ada?"
Kuraba kedua kantong celanaku. Itu adalah gelang spesial pemberian dari Mom. Ia bisa sangat kecewa kalau benaran hilang. Aku lekas mencari gelang tersebut di kolong tempat tidur, meja belajar, dan juga kamar mandi. Tapi, tetap saja tidak ketemu.
"Astaga, Kathleen! Kenapa kau bisa seceroboh ini?" sesalku sembari mondar-mandir dan menggigiti kuku dengan panik.
"Kathleen, kau sedang apa? Ayo, cepat turun! Nanti kau bisa terlambat berangkat sekolah," panggil Mom dari ujung tangga.
"I-iya. Sebentar, Mom!" sahutku. Aku menyambar tasku lantas berlari menuruni anak tangga menuju meja makan.
Mom terlihat tengah mengoleskan sedikit mentega serta menaburkan meses pada dua potong roti tawar sebagai menu sarapan. Minggu ini kami kehabisan stok selai kacang karena waktu itu ia lupa memasukkannya ke dalam daftar belanja.
"Kau mau tambah topping lain?" tanyanya seraya menunjuk semangkuk keju parut.
Aku mengangguk.
Ia lalu membubuhkan keju itu dan memberikan dua potong roti tawar tadi ke piringku.
"Terima kasih, Mom," kataku dan dibalas oleh senyum lembut yang tak pernah luput dari wajahnya.
Well, bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan padanya? risauku dalam hati sembari menatap ibuku yang kini tengah menyeduh secangkir kopi panas untuk Dad.
Selain insomnia, tampaknya ceroboh juga adalah masalah hidupku yang tidak kalah menyusahkan. Kedua hal itu sama-sama selalu membuatku kerepotan setengah mati. Gelang spesial pemberian dari Mom pun ikut menjadi korbannya.
Benda yang selalu mengikat di pergelangan tanganku ini saja bisa hilang dalam sekejap, apalagi benda-benda penting lain yang jarang kusentuh. Begitu hilang, kujamin pasti tidak akan pernah ketemu lagi sampai kapan pun.
"Pagi semuanya!" sapa Dad seraya mengusap kepalaku. Ia duduk di sebelah Mom lalu menyeruput secangkir kopi yang sudah disiapkan.
Mom tahu-tahu melirikku dari balik kelopak matanya dan bertanya, "Di mana gelangmu?"
Aku menggosok hidungku. "Oh, eh ... gelangnya ... kusimpan di dalam tas."
"Kenapa hanya di simpan? Apa kau sudah tidak menyukainya lagi?"
"Umm, bukan begitu, Mom. Justru aku sangat menyukai gelang itu. Tadi sebelum mandi aku melepasnya dulu karena takut jatuh."
"Ah, kupikir kau tidak suka atau sudah bosan." Ia kembali tersenyum.
"Tidak, kok. Aku selalu suka apapun hadiah yang kau berikan."
Dad tiba-tiba berdeham. "Bagaimana dengan hadiahku?"
"Yeah, hadiahmu juga aku suka, Dad. Tapi, boneka di kamarku sudah terlalu banyak. Mungkin kau bisa membeli barang lain kalau mendapat bonus gaji lagi dari kantor," kataku sambil nyengir lebar, berusaha bersikap wajar dihadapan mereka.
"Hm, kelihatannya aku memang harus meminta rekomendasi dari ibumu dulu sebelum membelikan hadiah."
"Ya, itu harus karena kami berdua mempunyai selera yang sama."
Ia tertawa.
Setelah selesai makan, aku menaruh piring dan gelas kotor di wastafel dapur. Suara klakson bus sekolah terdengar sudah dekat. Sebelum ketinggalan bus, aku pun buru-buru mengambil sepatu sneakers-ku dari rak dan langsung memakainya.
"Mom, Dad, aku berangkat!" pamitku seraya meraih tas dan berlari keluar.
Hari ini aku tidak bertemu William di bus. Mungkin saja ia sudah naik bus sekolah yang berbeda atau berangkat duluan menggunakan mobilnya. Sembari memandang pohon-pohon Maple yang tampak berlarian dari dalam jendela, aku terus berupaya mengingat di mana terakhir kali gelang itu kusimpan. Aku curiga kalau benda itu jatuh tanpa kusadari.
***
Sesampainya di depan kelas, kulihat William tengah duduk di tempatnya sembari melamun-menatap papan tulis kosong. Jujur saja selama ini aku lumayan minder kalau berdiri di sampingnya. Badanku akan tampak sangat mungil bagaikan patok dengan tiang listrik di jalanan.
Bagaimana tidak? Kuperkirakan cowok itu memiliki tinggi badan kurang lebih 187 cm. Kakinya benar-benar jenjang hingga terkadang aku harus mendongak jika ingin melihat ekspresi wajahnya dari dekat. Padahal, sebelumnya kurasa aku ini tidak terlalu pendek-pendek amat.
Aku berjalan dengan sedikit canggung menuju kursiku-canggung karena sewaktu melangkah masuk tadi, sorot mata kelabunya yang tajam mendadak beralih mengamatiku lekat-lekat.
"Semalam ... kau ingin membicarakan tentang apa?" tanyaku sembari menaruh tas.
Ia berhenti mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja.
Entah apa yang telah berhasil membuatku memiliki perhatian lebih padanya. Selain rasa penasaran, ada sebuah kesan asing yang terus bergolak dalam diriku. Aku sendiri tidak paham apa artinya.
William kemudian mengeluarkan sebelah tangannya dari dalam saku celana. "Aku menemukan benda ini di dekat lapangan football saat pulang sekolah kemarin," ungkapnya seraya menunjukkan gelang yang sedang kucari-cari sejak tadi.
Salah satu keajaiban gelang ini bisa kembali-dan itu semua berkat William. Aku baru saja berpikir kalau benda ini sudah hilang ditelan bumi.
"Oh, syukurlah ... ternyata kau yang sudah menemukannya. Terima kasih banyak, Will! Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kukatakan pada ibuku kalau gelang pemberiannya ini benaran hilang," balasku, mendesah lega.
"Yeah, kalau begitu kau harus menjaganya dengan baik." Ia memberikan senyum tipis.
Aku cepat-cepat menggelengkan kepala, mengenyahkan seluruh sihir yang mungkin sedang ia pancarkan. "Ngomong-ngomong, kau tahu dari mana kalau gelang ini adalah milikku?"
"Di situ terlihat jelas ada ukiran namamu-Kathleen Watson," jawabnya singkat dan langsung mentrigger-ku.
"Oh ... ya ... memang ada. Ukirannya sangat besar lagi," kataku seraya menggaruk bagian kepala yang tidak gatal. Kali ini bukan karena taruhan Steve, melainkan aku sendirilah yang telah membuat diriku tampak bodoh di hadapannya.
Jangan sampai William mengira kalau aku sedang salah tingkah-walaupun kenyataannya mungkin benar, tapi itu sungguh memalukan. Jadi, sudah kuputuskan ada tiga peraturan yang harus kupatuhi demi mencegah hal bodoh seperti ini tidak terulang kembali.
Pertama, tetap fokus dengan topik pembicaraan. Kedua, menjaga jarak minimal satu meter. Dan ketiga, ini adalah yang paling penting; jangan menatap matanya.
Tatapan matanya itu selalu membuat jantungku terguncang. Untung saja William jarang memperlihatkan senyuman menawannya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi padaku. Mungkin meleleh seperti es di kutub yang terkena efek pemanasan global saja itu sudah bagus.
"Oh ya, bagaimana kalau aku mentraktirmu makan di kafetaria saat jam istirahat nanti?" tawarku.
"Ah, tidak usah. Aku hanya berniat mengembalikan gelang itu padamu."
"Ayolah, Will. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku. Aku tidak suka berhutang budi pada orang lain."
"Tapi-"
"Tidak apa-apa."
Setelah susah payah membujuknya, William pun akhirnya menyetujui tawaranku.
"Baiklah, kalau kau memang memaksa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments