Aku terlalu takut untuk menengok ke belakang, jadi dengan bodohnya kuhabiskan waktu selama lima belas menit-berputar-putar mengelilingi tempat yang sama hanya demi memastikan kalau orang itu betul-betul mengikutiku atau tidak. Aku berjalan setengah berlari. Nyaliku bertambah ciut ketika mendengar derap langkah kakinya yang juga melaju lebih cepat.
Kurasa ini sudah tidak beres. Aku kembali turun ke lantai bawah lalu menerobos masuk ke supermarket untuk mencari ibuku. Apesnya, aku tidak menemukan Mom di mana-mana. Suasana supermarket justru lebih sepi karena mall sebentar lagi akan tutup.
Aku bersembunyi di balik tumpukkan kardus makanan instan, menahan napas selama beberapa saat dan menutup mulut rapat-rapat agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Tubuhku menegang waspada. Suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat dan jelas.
"Keluarlah, kau tidak bisa bersembunyi dariku." Seseorang tiba-tiba saja memegang bahuku dari belakang.
Aku membatu. Dalam hitungan sepersekian detik, jantungku serasa copot dari rongganya. Aku menoleh perlahan-lahan dan mendesah lega saat melihat siapa orang yang tengah berdiri di sana.
"Mom?!" seruku sambil mengelus dada.
Ia menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa? Kenapa kau terlihat ketakutan seperti itu?"
"Aku tidak tahu ... ada orang aneh yang terus mengikutiku dari tadi."
"Mengikutimu?" tanyanya seraya menengok sekeliling. "Mana? Tidak ada, kok. Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Kathleen."
Aku mengusap wajahku. "Tidak, Mom! Aku yakin sekali tadi ada yang mengikutiku."
"Hmm, ya sudah. Kalau begitu sekarang kau ikut aku saja. Kita duduk di sana dulu sembari kau menenangkan diri." Ia menjawab dengan suara lembut-walau kulihat gurat wajahnya tampak ragu untuk mempercayai ucapanku.
Mom memberikan sebotol air mineral dan menyuruhku minum. Aku langsung menenggak air itu hingga tandas.
"Kau kelelahan. Seharusnya lain kali kita pergi berbelanja saat akhir pekan saja," katanya. "Apa masih ada barang yang mau kau beli?"
Aku hanya menggeleng.
"Baiklah. Sekarang lebih baik kita pulang. Aku akan meminta ayahmu untuk menjemput," lanjutnya. Mom meraih keranjang belanjaannya yang sudah penuh kemudian menggandengku.
Selama membayar semua barang belanjaan kami di kasir, berbagai macam pertanyaan yang menakutkan pun otomatis menjejali isi kepalaku.
Siapa orang itu?
Apa yang dia inginkan?
Kenapa dia mengincarku?
Menjelang tidur, aku menceritakan kejadian yang kualami di mall pada Arlene dan Natalie di telepon. Kukira mereka dapat membantu menemukan jawaban atau setidaknya berusaha menenangkanku dengan hal-hal positif. Tapi, seperti apa yang sudah kuterka sebelumnya. Mereka tidak akan membantu sama sekali.
Arlene menertawakanku. Ia bilang itu adalah efek halusinasi dari kebanyakan minum kopi. Begitu juga Natalie, ia malah menakut-nakutiku dengan yang hal tidak-tidak. Imajinasinya terlalu luas. Mendengar ocehannya lagi hanya akan membuat pikiranku semakin bertambah liar.
***
Aku menutup buku catatan sejarahku dan memasukkannya ke dalam tas. Kelas aljabar baru akan dimulai setelah bel pergantian kelas periode ketiga berbunyi. Aku segera pergi menuju kelas pokok. William ternyata sudah datang duluan ke sana. Ia terlihat sedang sibuk menulis sesuatu pada halaman bukunya.
"Kau sedang mengerjakan apa?" tanyaku membuka obrolan.
"Tugas," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Bukan hal yang mengherankan lagi kalau William hanya berbicara seperlunya.
Aku duduk di tempatku kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. "Oh ya, Will, ini jaket milikmu ...," kataku seraya mengembalikan jaketnya yang telah kucuci bersih. "Terima kasih dan maaf karena sudah merepotkanmu kemarin."
"Ya, tidak masalah."
"Hei, Will!" Si dua kembar siam itu-James dan Henry-tiba-tiba datang lalu duduk di atas meja William dengan seenaknya. "Apa kabar, Sobat?"
"Aku tidak mengerti tugas yang ini. Bagaimana kalau kau saja yang mengerjakannya?" James melempar buku tulis yang dia bawa. Buku itu malah mengenai tangan William dan membuat pena yang sedang dipegangnya jatuh ke lantai.
"Jangan lupa! Sekalian juga kerjakan punyaku," sambung Henry sembari tersenyum miring. Mereka berdua saling melempar tatapan usil.
William hanya menghela napas kemudian mengambil penanya kembali. Ia masih berusaha mengabaikan dua cowok tengil itu dan memutuskan untuk lanjut mengerjakan tugasnya.
"Oh, ayolah. Apa kau tuli?" James merebut pena dan buku milik William. "Kami sedang berbicara denganmu, Man."
"Cih, dasar tidak niat sekolah! Bagaimana bisa mengerjakan tugas kalau kalian saja tidak pernah mau memperhatikan pelajaran?" kataku jengkel.
Ia pun mendengkus. "Kalau begitu kau saja nih yang mengerjakannya!"
"Enak sekali. Kerjakan sendiri! Memangnya kalian siapa bisa menyuruh-nyuruhku seenaknya?"
"Kau"-William mengangkat pandangannya dan menatap James tajam-"turun dari atas mejaku sekarang."
"Wow-wow! Henry, tolong ... dia baru saja memarahiku. Aku takut sekali," ledeknya dengan nada bicara yang mengejek. Mereka tertawa.
"Sudahlah, Will. Kau tidak perlu bersikap munafik seperti itu. Kita bertiga ini sebetulnya bisa berteman baik sejak dulu. Ya, 'kan?" sambung Henry sembari meremas pundak William.
"Singkirkan tanganmu! Jangan menunggu sampai kesabaranku habis."
Henry menaikkan satu alisnya dengan angkuh dan malah memperkuat cengkeramannya. "Kalau aku menolak, kau mau apa?"
James bersiul-siul. Ia masih duduk di atas meja William sembari mengunyah permen karet dan mengayun-ayunkan kakinya dengan ekspresi meremehkan. "Well, apa itu? Benda yang berkilauan di lehermu. Kelihatannya barang bagus."
"Yeah. Matamu jeli juga, James." Henry menjentikkan jari. Perhatiannya kini beralih pada sebuah liontin yang melingkar di leher William. "Liontinmu bagus juga, Bung. Tapi, sepertinya benda itu bakal kelihatan lebih bagus kalau ada di leherku. Boleh kupinjam?" kelakarnya.
Namun, sewaktu Henry hendak menyentuh liontin tersebut, tak kusangka William langsung bangkit dan melayangkan kepalan tinjunya pada wajah cowok itu tanpa ragu-ragu.
"AKU SUDAH BILANG BERKALI-KALI PADAMU. JANGAN PERNAH MENYENTUHKU! APA KAU TIDAK PAHAM?" sergah William. Otot rahangnya mengeras dan buku-buku jarinya memutih karena menahan amarah.
Aku berikut anak-anak lain yang berada di dalam ruangan kelas pun ikut terkejut.
"Brengsek! Apa-apaan kau?" James buru-buru membantu temannya berdiri, sementara Henry sendiri terlihat menyeka sudut bibirnya yang berdarah dengan kesal.
Walau hanya sempat mematung gara-gara shock, aku segera memberanikan diri untuk menarik William keluar dari sana sebelum wajah mereka semua babak belur atau justru terjadi pertumpahan darah lagi.
"Kau harus bisa mengendalikan emosimu, Will! Menanggapi mereka tak akan ada habisnya," kataku yang bermaksud menenangkannya.
Ia malah menepis tanganku dan berkata, "Itu bukan urusanmu! Kau tidak perlu ikut campur," tukasnya kemudian langsung berpaling pergi dariku.
Aku betul-betul tidak mengerti apa yang telah membuatnya begitu marah. Kurasa, memukul wajah Henry hanya karena ia ingin melihat liontin itu terkesan agak berlebihan. Aku tahu semua orang mempunyai batas kesabaran, tapi bukankah kali ini reaksinya sedikit tidak wajar?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments