Arloji kecil yang melingkar di tangan kiriku sekarang telah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Aku segera pergi menyusuri lorong lantai tiga gedung utama untuk mencari di mana ruang kelasku. Untung saja masih ada sisa sedikit waktu sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Jadi, bagusnya aku tidak perlu repot-repot membersihkan toilet atau malah disetrap karena terlambat.
Setelah beberapa kali mondar-mandir kebingungan, ruang kelas yang kucari-cari tersebut pun akhirnya kutemukan. Letaknya ternyata berada di depan gimnasium dan agak menyerong dari area perpustakaan.
Aku mampir sebentar ke majalah dinding kecil sebelah pintu masuk untuk melihat siapa saja nama teman-temanku yang terdaftar di ruang nomor satu. Jumlah siswa tahun ini rupanya meningkat dari dua puluh lima menjadi tiga puluh anak per kelas.
“What the—” lontarku yang nyaris keceplosan mengumpat ketika membacanya.
Aku tidak sekelas lagi dengan Arlene maupun Natalie, tapi justru sekelas dengan tiga cewek resek itu-Chloris berikut dua antek-anteknya, Maggie dan Rowena. Sialnya lagi, di sini juga ada James dan Henry, si dua cowok tengil pembuat onar. Semangatku mendadak kandas. Hancur sudah harapanku bisa belajar dengan tenang di sini.
Waktu membuka pintu kelas-hendak melangkah masuk-sebuah remasan bola kertas yang berukuran lumayan besar langsung mendarat di wajahku. Entah mereka sengaja atau tidak, tapi itu benar-benar membuatku kesal di hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang kemarin.
“Ups, sorry!” imbuh Maggie sambil mengibaskan rambut cokelat terangnya dengan gaya sok dramatis. Teman-teman segengnya ikut terkekeh mengejek.
Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengambil remasan bola kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Terus terang saja aku terlalu malas berurusan dengan anak-anak yang suka mencari masalah. Percayalah, menanggapi mereka tak akan ada habisnya karena yang ada malah kau bakal ikut terkena masalah juga. Lebih baik, menjaga jarak sejauh mungkin.
Aku terdiam sesaat-masih berusaha bersikap sabar-sambil mengedarkan pandang ke sekeliling untuk mencari tempat duduk.
Tak disangka-sangka, cowok bertubuh semampai yang kutemui di koridor tadi ternyata kami juga satu kelas. Aku duduk di sebelahnya karena kebetulan hanya tersisa satu bangku kosong di sana.
“Hai! Kita ketemu lagi,” sapaku ramah sembari menarik kursi untuk duduk. “Aku Kathleen. Cewek yang tadi bertemu denganmu di koridor. Apa kau masih ingat?”
Ia hanya melirikku sekilas kemudian kembali fokus pada buku yang sedang dibacanya.
Aku mengulum bibir lalu memutuskan untuk melanjutkan ucapan terima kasihku yang belum sempat tersampaikan. “Ah ya, terima kasih karena kau tadi sudah mau membantuku. Ngomong-ngomong, siapa namamu? Semoga kita bisa menjadi teman baik nanti,” kataku seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan.
Namun, sayangnya tidak digubris. Ia tetap cuek. Rasanya seperti berbicara dengan tembok. Aku pun menarik tanganku kembali. Mungkin deretan kalimat dalam buku itu lebih menarik baginya.
Sembari mengeluarkan kotak pensil dari dalam tas, kuamati ekspresi wajahnya yang tetap datar. Ia tidak terlihat tertawa atau bahkan tersenyum sama sekali. Hmm, orang aneh ....
“Kau lihat apa? Memangnya tidak ada pemandangan lain yang bisa kau perhatikan selain wajahku?” tukas cowok itu secara tiba-tiba. Suaranya tidak terlalu keras, tapi nada bicaranya yang ketus membuat orang-orang di sekitar otomatis mendelik ke arahku.
“Oh, m-maaf.” Aku menggosok hidung dan segera berpaling muka.
Oke, sepertinya ini peringatan pertama buatmu, Kathleen. Dia bukan cowok yang suka beramah-tamah dan bagusnya lagi kau justru sudah mengganggunya.
Selang beberapa saat kemudian, Mrs. Pamela terlihat melangkah masuk ke dalam ruang kelas.
“Attention, please!” teriaknya meminta perhatian para siswa.
Semua anak pun berhenti mengobrol.
“Baik, terima kasih kalian sudah mau mendengarkan. Pertama-tama, aku sebagai wakil dari kelas ini ingin mengucapkan selamat datang dan selamat kembali ke sekolah. Kuharap kita semua dapat bekerja sama dengan baik selama satu tahun ke depan karena tahun ini merupakan tahun terakhir kalian bersekolah di sini,” ujarnya menjelaskan.
“Ugh, apa benaran tidak ada tambahan hari libur?” James menyela dengan santainya. “Aku masih belum sempat menikmati masa-masa liburanku yang sangat berharga ....”
“Yeah, kau benar, Man! Nasib kita berdua sama,” sambung Henry.
“Well, sayangnya tidak ada tambahan hari libur apapun. Kalau kalian memang mau waktu liburan yang lebih panjang, kalian harus berperilaku baik agar tidak perlu mengulang banyak mata pelajaran lagi di kelas musim panas yang membosankan, Mr. Hawkins and Mr. Stuart,” balas guru itu sambil bersedekap. Ia geleng-geleng kepala lalu berjalan mendekati meja seorang cowok yang duduk di sampingku.
“William, tolong bantu aku mengisi daftar kehadiran setiap siswa yang ada di kelas ini. Kalau sudah, kau bisa taruh lagi kertasnya di meja depan.”
“Yes, Ma'am,” balasnya lantas mengisi kertas absen yang diberikan oleh Mrs. Pamela.
Aku mengerutkan kening. Tunggu-tunggu, apa barusan aku tidak salah dengar? William? Ternyata ... dia ini William?! Murid pindahan dari Charleston yang katanya baru bergabung tahun lalu? Berarti, julukan si kulkas dua pintu yang sempat beredar itu adalah dirinya?
Oh, sungguh! Entah apa yang sudah kuperhatikan selama bersekolah di sini. Aku baru ingat kalau dulu aku juga sering berpapasan dengannya saat pergantian kelas. Tapi, aku tidak pernah tahu kalau dia adalah William Anderson. Pantas saja wajahnya tidak asing. Rupanya, dia cowok apatis yang sempat menjadi bahan pembicaraan selama satu semester kemarin!
***
Saat bel jam istirahat makan siang berbunyi, aku cepat-cepat keluar dari kelas yang bising ini untuk mencari Arlene dan Natalie. Kami belum bertemu sejak pagi tadi. Dan kini, di ujung lorong kulihat Arlene sedang berlarian kecil menghampiriku.
“Kathleen!” Ia melambai. Air mukanya berseri-seri.
Natalie sekonyong-konyong muncul dari belakang dan menyenggol lenganku. “Biasalah ... Kevin,” bisiknya penuh arti.
Sudah kuduga. Arlene memang gadis yang sangat beruntung. Selain berparas cantik, sekarang ia pun bisa sekelas dengan pujaan hatinya-Kevin Robinson, cowok tertampan di sekolah ini. Bukan cuma modal tampan, ia juga berbakat, jenius, mudah bersosialisasi, dan memiliki kepribadian yang baik.
Berbeda sekali dengan James dan Henry, mereka berdua juga berpenampilan keren serta tidak kalah modis. Hanya saja, jika melihat dari kelakuan dua cowok tengil itu rasanya kuingin menjambak rambut mereka sampai rontok. Itu pun kalau aku berani. Jadi, lupakan saja.
Sahabat-sahabatku ini-Arlene dan Natalie-aku tidak seberuntung mereka berdua. Arlene sekarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati Kevin. Sedangkan Natalie, ia bisa merasa aman damai di kelas barunya karena semua trouble maker sudah berkumpul menjadi satu di kelasku.
Sementara aku? Aku sama sekali tidak mendapat keberuntungan apapun sejak pembagian kelas tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments