Setelah berendam di ramuan, semua murid diminta melatih fisik. Awalnya, mereka hanya diminta berlari disekitar aula kemudian melakukan gerakan dasar sebanyak lima kali berulang. Itu berlangsung selama beberapa hari.
Kali ini, penatua meminta mereka mengirim bahan bangunan ke halaman belakang. Keluarga La Wero akan membangun lumbung yang lebih besar. Biasanya para pekerja lah yang akan mengurus bahan bangunan dan mengerjakannya. Tapi penatua meminta para murid membantu mengumpulkan bahan bangunan yang berupa kayu, batu dan bamboo.
“Ini untuk melatih fisik kalian.”Kata penatua ketiga. “Kalau fisik kalian lebih baik, maka kalian bisa lebih baik dalam memadatkan energy spiritual sehingga lebih cepat meningkatkan kekuatanmu.”
Karena ini untuk menunjang peningkatan spiritual mereka, para murid hanya bisa menggigit gigi mereka, menahan semua keluhan dan melakukannya.
“Apa ini untuk melatih fisik atau berhemat uang?.” I Rabia tetap mengeluh diantara deru napasnya yang berantakan.
“Bisanya kamu berpikir begitu?.”
“Kalau kita yang membawa barang –barang ini, maka tenaga pekerja yang dibutuhkan akan berkurang. Itu kan, berhemat uang.”
“Mungkinkah begitu?.”
Teman disekitar mulai menanggapinya.
“Kalau itu untuk menghemat uang, aku akan meminta kakek membayar saja pekerja.”
Sebenarnya, dia sudah mengajukan protes pada kakeknya tentang ini tapi dia malah dimarahi mengeluh karena pelatihan untuk meningkatkan spiritualnya. Kakek bahkan mengancam akan memotong uang jajannya.
“Jangan bicara sembarangan. Kalau para guru atau pelayan mendengar dan mengadukanmu pada puang Nintang, kamu akan menyesalinya.” Hining mengingatkan.
I Rabia cepat menutup mulutnya dan melirik I Miang yang terus bekerja seolah tidak mendengar perbincangan mereka di sekitarnya.
"Jangan terlalu banyak mengeluh." I Miang kemudian bersuara. I Rabia mengerucutkan mulutnya mendengar teguran itu.
"Ini hari terakhir untuk latihan tahap awal. Kita akan diberi libur sebulan sebelum pelatihan tahap kedua."
"Benarkah?." I Rabiah seketika sumringah.
"Itu benar. Memangnya kamu tidak mendengar penjelasan penatua waktu itu?." Hining menyahut.
I Rabiah menggaruk kepalanya "Mungkin aku sudah lupa."
"Kamu memang dari awal tidak memperhatikan kalau penatua bicara." I Miang mencibir.
"Awas saja kalau Kakek - nenekmu tahu kamu tidak serius belajar."
"Kamu berani mengadukanku?."Ancam I Rabiah
"Kenapa tidak?!." Balas I Miang.
"Jangan berdebat lagi!." Hining cepat melerai.
"Karena besok kita libur, tidak ada latihan dan wajib sekolah. Bagaimana kalau kita jalan-jalan? belanja atau makan?."Usul Hining yang langsung disambut I Rabiah.
"Ide bagus! Sejak latihan, aku belum penah keluar jalan-jalan karena terlalu capek".
Esok paginya, I Miang baru menyelesaikan sarapannya ketika I Rabiah membawa Hining menjemputnya untuk berbelanja.
"Miang! cepat ganti baju kita berangkat."Seru I Rabiah begitu muncul di depan I Miang.
"Berangkat kemana?." I Miang tidak bergeming dan tetap meminum tehnya. Dia juga mengisyaratkan pelayannya untuk menyajikan teh pada kedua temannya itu.
"Tentu saja pergi berbelanja. Kemarin kan kita udah sepakat."
"Seingatku, kemarin aku tidak berjanji akan ikut kalian berbelanja."
"Kamu salah ingat." Tukas I Rabiah cepat.
"Cepat, ganti bajumu!."
I Miang masih duduk tenang.
"Kalau kamu tidak masuk ganti baju, aku yang akan membantumu ganti baju." I Rabiah masuk kamar I Miang dan memeriksa tempat pakaiannya.
"Lihat! Walaupun pakaianmu bagus tapi model lama."kata I Rabiah.
"Ayo, pergi berbelanja! Aku akan membelikanmu model terbaru jadi orang tidak akan mengejekku kalau punya sepupu yang membosankan dan kampungan."
"Tidak perlu! Alu masih sanggup membelinya."
Setelah berdebat cukup lama, I Miang pada akhirnya ikut juga.
"Kita sudah membeli banyak barang." I Miang mengamati tumpukan barang dalam keretanya.
Mereka baru saja keluar dari toko pakaian. I Rabiah menepati janjinya membeli tiga pasang pakaian model terbaru untuk I Miang dan sepasang untung Hining.
Sebelumnya, mereka telah mendatangi toko kain, toko senjata, toko bedak.
"Lihat, ada toko perhiasan. Mari kita melihat-lihat kesana."
"Tidak bisakah kita ke kedai untuk minum teh? Aku merasa haus." Ungkap Hining.
"Kita akan ke kedai setelah membeli perhiasan. Sebentar kok." I Rabiah menarik keduanya menuju toko perhiasan.
"Aku mau melihat-lihat perhiasan emas.Bagaimana dengan kalian?." Tanya I Rabiah begitu mereka berada di dalam toko.
"Aku mau melihat perhiasan batu spirit." I Miang dan Hining menuju bagian perhiasan batu spirit.
"Coba lihat gelang merah delima itu." Pinta I Miang.
"Aku juga suka gelang itu! Berikan padaku!." Seorang gadis yang baru datang menyela.
"Maaf, tapi aku yang lihat dan memintanya lebih dulu." Kata I Miang.
"Yang duluan yang dilayani."
"Aku akan membayarnya." Kata gadis itu tetap kekeh memiliki gelang itu.
"Aku juga sanggup membelinya." Jarang I Miang keras kepala tapi gadis di sampingnya itu sangat arogan.
"Apa kamu tahu kalau aku ini nona muda dari keluarga Palangkai? Salah satu dari empat keluarga terkemuka di kota ini."
"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Aku yang duluan meminta gelang itu."
"Kamu cari mati, ya?!." Gadis itu mulai marah.
"Aku cari gelang karena ini toko perhiasan." Balas I Miang kalem.
"Berikan itu padaku!." Kata gadis itu pada pelayan toko.
"Nona, karena puang ini lebih dulu maka akan diberikan padanya." Pelayan toko itu menyodorkan gelang itu pada nona di samping I Miang.
"Bukannya aku lebih dulu." Protes I Miang pada pelayan toko.
"Tapi puang lebih dulu ingin membayarnya." Kata pelayan toko.
"Anda bisa mencari yang lain."
"Apakah begini aturan toko kamu? aku ingin bertemu manajer toko."
"Nona, tolong jangan mempersulitku." Ucap si pelayan pada saat yang sama manajer yang dicari I Miang juga datang menghampiri mereka.
"Maaf, ada apa ini?." Tanya manajer.
"Puang ini lebih dulu melihat gelang ini dan ingin membelinya tapi nona ini juga bersikeras membeli." Pelayan itu cepat menjawab.
" Bukankah kamu memutar balikkan fakta?." Hining yang sejak tadi diam memarahi pelayan.
"Jelas I Miang yang lebih dulu tapi kamu memberikan pada nona itu."
"Ini..."
"Kami diam!." Hardik manajer pada pelayan.
"Aku juga mengamati kalian dan tahu yang mana yang duluan. Kamu berani berbohong?!." Si pelayan mundur.
Manajer mengambil alih gelang dan menyodorkan ke I Miang.
"Maaf, tapi nona ini yang melihat dan meminta untuk melihat lebih dulu." Kata manajer membuat gadis itu murka.
"Kamu harus tahu! aku ini puang Dika dari keluarga Puang Palangkai! Salah satu dari empat keluarga terkemuka.
"Apa kamu juga tahu kalau pemilik toko ini berasal dari keluarga terhormat." Balas si manajer.
"Kalau anda tidak bermaksud membeli dan ingin membuat keributan, silahkan keluar." Kata si manajer meski bibirnya tersenyum tapi tatapannya sedingin es.
Gadis yang mengaku bernama puang Dika menghentakkan kakinya kemudian meninggalkan toko penuh amarah.
Selain membeli gelang, I Miang juga memesan liontin khusus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments