Bab 11. Rencana Puang Tonggeng

Hari dimana Ramalla dihukum, Puang Tonggeng tidak menjemputnya karena ada urusan diluar. Hari ini, I Nintang meminta puang Tonggeng datang bertemu sebagai penatua keluarga.

“Ramalla tidak memberi hormat pada penatua dan gurunya. Ini hal tabu sebagai murid.”

“Puang Nintang, Ramalla masih muda. Lagipula ini masalah sepele. Kita semua keluarga tidak perlu diributkan.” Kata puang Tonggeng dengan santai menyesap teh dan meletakkannya kembali.

“Masalah sepele katamu?! Kami keluarga La Wero selalu menjunjung tinggi adab dan etika.” I Nintang membanting cangkir tehnya karena marah.

Puang Tonggeng melompat kaget. Para pelayan mengkerut ketakutan. Hanya ata’ Sati yang terlihat agak normal dan la Dacong yang tetap tenang di kursinya.

“Siapa dari anak-anak saudaraku yang tidak memberi hormat pada penatua, tetua dan gurunya? Apa identitasmu dan anakmu lebih tinggi dari mereka?.’

“Katamu Ramalla itu masih muda? Kami, sejak umur lima tahun kalau kami tidak bersikap sopan pada yang tua, akan dikejar bilah bamboo oleh petta sendiri.”

“Hal sangat penting seperti ini kamu sepelekan?! Apa kamu tidak menganggap keluarga La wero kami?! Menyepelekan aturan keluarga La wero?!.”

“Puang Nintang….” Puan Tonggeng dengan suara lirih berbicara.

“Saya tidak bermaksud. Barusan saya tidak berpikir jernih dan baik.”

I Nintang mendengus mendengar pengakuan puan Tonggeng.

“Tonggeng!.” La Dacong yang tadinya hanya diam mulai angkat bicara.

“Iye, puang.” Sahut puang Tonggeng.

“Meskipun ayahmu kerabat jauh, petta sangat menghargainya sebagai orang kepercayaan. Karena itu kami juga menghargainya sebagai kerabat dekat dan tetua.”

“Walaupun kamu hanya anak dari selir biasa, mengingat kamu anak laki-laki satu-satunya kami masih memberimu gelar dan kedudukan di keluarga La Wero.”

“Harap kamu tidak melupakan asalmu.”

Kata-kata La Dacong bergema di ruang tengah.

“Kamu juga harus menanamkan ini pada anakmu agar tidak merajalela dan dia paham statusnya di keluarga ini.” I Nintang menambahkan.

“Kalau dia masih terlalu angkuh, aku tidak akan mengakhirinya dengan hukuman saja.”

“La Guritcie sibuk akhir-akhir ini dan tidak memiliki banyak waktu untuk memperhatikan hal-hal untuk saat ini. Kalian jangan menggunakan ini untuk membuat masalah dan mempermalukan keluarga diluar.”

Karena mendapat teguran keras di rumah I Nintang, puang Tonggeng pulang dengan wajah muram. Dia bahkan menampar Ramalla yang datang menyapanya.

“Anak tidak berguna! Selalu saja berbuat salah dan memperlakukanku!.”

“Atta, penatua kedua dan penatua kedua bukan dari keluarga kita, keluarga asal mereka juga rendah. Kenapa saya yang jelas keluarga La Wero yang memiliki status lebih ntinggi harus tunduk? Sedang penatua lainnya juga setara dengan anda. Tidak ada yang lebih tinggi dari kita disana.” Ramalla membela diri.

“Bahkan kalau kamu memiliki pikiran begitu, kenapa kamu menunjukkannya di depan I Nintang? Lihat betapa angkuhnya dia. Dia bahkan mengungkit status ibuku. Sial!.”

Titik lemah puang Tonggeng adalah status rendah ibunya yang seorang pelayan dan selir rendah selalu membayanginya yang menginginkan status tinggi. Selama puluhan tahun, dia memakai topeng berbudi luhur di depan ayah dan keluarga utama keluarga La Wero. Dia juga mencoba menjilat untuk mendapat kedudukan dan status di keluarga ini. Untungnya lagi, keluarga La Wero keluarga bangsawan kerajaan dan perlahan prestasinya semakin membaik. Status social keluerga inipun semakin tinggi.

Hanya mengetahui kalau dia berasal dari keluarga La Wero akan memperhatikannya apalagi kalau orang-orang tahu dia memiliki status di keluarga itu meski rendah, orang-orang makin memberinya rasa hormat dan menjilatnya.

Tapi, perkataan dua saudara itu jelas ancaman akan mempermasalahkan kedudukannya di keluarga ini kalau dia tidak mengatur keluarganya dengan baik. Tapi dia tidak bisa mengekang Ramalla terlalu banyak karena anak gadisnya akan menjadi jalan baginya mendapat kemuliaan di masa depan.

“Pergi ke kamarmu! Jangan keluar kalau bukan ke sekolah.” Sentak puang Tonggeng.

“Sudah, jangan marah. Saya akan membuat kamu teh dan kue.” Bujuk Naharia.

“Kamu hanya tahu membuat makanan.” Dengus puang Tonggeng. “Cepat pegi membuatnya dan kembali kesini. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

“Apa yang mau puang bicarakan?.”

“Aku ingat, dulu ada sepupumu yang suka datang kemari bermain?.” Tanya puang Tonggeng.

“Kenapa? Apa puang mau mengambil selir lagi?.”  puang Naharia balik bertanya dengan wajah cemberut.

“Baru juga dua tahun anda membawa seorang masuk.”

“Apa kamu cemburu?.”

“Aku hanya terlalu malas membereskan kekacauan yang ditimbulkan.Puang Murni sampai memukulinya karena sekarat. Bahkan keluargaku marah karena dia.”

Keluarga puang Naharia sedikit lebih tinggi statusnya, ini juga pendukungnya. Kalau dia membuat mertuanya marah dan datang meminta masalah, dia akan segera ditarik turun dari keluarga La Wero.

“Ini bukan untukku. Aku ingin menjodohkannya dengan La Dacong. Akan lebih bagus kalau ada yang bisa menjadi selir La Guritcie.”

“Apa tidak apa-apa kalau kita mencampuri urusan mereka? Lagipula, La Dacong terlihat tidak peduli tentang wanita dan La Guritcie sangat setia pada istrinya.”

“Alaaa…itu hanya topeng mereka karena terlihat baik. Laki-laki dimana-mana sama saja. Tidak akan tega pada kecantikan.”

“Kamu seolah membicarakan dirimu sendiri.” Omel puang Naharia dalam hati.  

"Selain membawa selir masuk ke rumah, dia juga gundik diluar. Sungguh pria penuh nafsu."

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!