Bab 6. Ulang Tahun Walikota

“Puang Miang, Puang Nintang mengirim pakaian dan perhiasan untuk anda pakai ke perjamuan ulang tahun walikota.”

Suara ata’ Sati terdengar diluar membuat I Miang yang lagi mengatur pernapas untuk memadatkan energy spiritual terganggu.

Dia dengan enggan bangkit dan membuka pintu. Diluar, pelayannya menunduk menunggu perintah.

“Cayan, ambil pakaian itu.” Pintahnya pada pelayan dekatnya.

Pelayan yang menemani ata’ Sati menyerahkan barang di tangannya.

“Ini adalah ata’ Noma, Puang Nintang memintanya menjagamu.”

“Salam puang Miang.” Ata’Noma memberi hormat.

“Baik, aku akan memberitahunya nanti.”Ujar Miang cepat.

“Selain itu, Bangnya akan ikut anda ke perjamuan. Dia diminta pergi kebagian pakaian untuk menemukan pakaian yang pantas.”

“Sore nanti, Calabai Safa akan datang mendandani anda.”

Miang mengangguk. “Dimengerti.”

“Puang Miang, kamu harus mencoba pakaian, kalau ada yang kurang pas kita bisa menyesuaikannya.” Ata Noma menarik Miang untuk mencoba pakaian.

“Kurasa pakaiannya sudah pas. Tidak ada masalah. Kalian simpan saja baik-baik. Aku masih harus pergi ke akademi.”

Pakaian disiapkan I Nintang sangat mewah. Itu akan terlihat sederhana sekilas tapi kalau kalian mengamati, pakaian itu terbuat bahan halus dan bordiran rumit.

Sebenarnya hari ini bukanlah hari wajib datang ke sekolah, tapi I Miang merasa terlalu tercekik dengan persiapan menghadiri pesta jadi dia mencari alasan untuk jauh dari rumah untuk sementara.

“Kamu juga mendapat undangan ke ulang tahun pak walikota?.” Bisik Timang.

Miang mengangguk. “Bukannya semua orang mendapat undangan?.”

“ Iya. Cuma ada dua jenis undangan. Ada undangan kelas satu untuk bangsawan dan pejabat. Undangan kelas dua untuk orang kaya dan pejabat rendah. Masyarakat umum bisa ikut merayakan di jalanan umum dan akan ada jajanan gratis.” Timang memberi penjelasan.

“Undanganku cuma kelas dua. Jenis undangan apa milikmu?.”

“Entahlah. Aku belum melihatnya. Itu diurus oleh bibiku.”

“Kalau undangan kelas dua, kita bisa masuk bersama nanti. Aku akan menunggumu disana.”

“Selama itu tidak merepotkan mu.”

Seperti kabar kepulangan anak walikota beberapa hari lalu, ulang tahun walikota menjadi perbincangan semua orang.

Miang terlihat anggun dalam balutan baju tokko ungu muda di padu padankan dengan kain sabbe warna senada berpadu dengan motif bunga kecil keemasan, dililit menjadi rok panjang. Calabai Safa memilih ikat pinggang warna merah muda.

Miang menolak memakai make up berlebih. Dia hanya menerapkan bubuk bedak putih sangat tipis untuk menambah aroma segar. Dia menggunakan anting manik ungu muda menjuntai panjang di telinganya yang ikut bergoyang bila Miang berjalan. Jepit rambut emas cabang tiga yang sederhana dipadukan bunga ungu kecil menghiasi rambutnya.

“Puang Miang sangat cantik saat berdandan.” Puji ata’ Sati begitu I Miang memasuki halaman I Nintang untuk pergi bersama.

“Puang Miang aslinya memang cantik, aku hanya memperjelasnya dengan sedikit sentuhan.” Kata calabai Safa dengan nada genit mendengar pujian para pelayan disekitar I Nintang.

“Tentu saja. Bagaimanapun, ibunya adalah kecantikan nomor satu saat masih muda. Kalian pikir kenapa Puang kalian, La Guritcie langsung melamarnya padahal hanya mengenalnya kurang dari tiga bulan.” I Nintang berkata dengan bangga.

“Safa….!”

“Iye, puang!.”

“Kamu melakukannya dengan sangat baik. Pekerjaan tanganmu memang selalu terbaik.”

“Puang, kamu terlalu memujiku. Bibit keluarga La Wero memang selalu unggul.”

Suasana hati I Nintang semakin baik mendengar kata manis calabai Safa.

“Ata’ Sati, berikan hadiah yang kusiapkan untuk Safa. Tambahkan lagi lima puluh perak.”

“Terima kasih, puang.” Kata Safa cepat.

“Ahh…menyanjung orang kaya memang tidak perna rugi.” Ujar Safa dalam hati.

Tidak lama, kereta yang akan membawa mereka telah siap. I Miang menuntun I Nintang ke kereta utama sedang dia akan tinggal kereta kedua.

“Itu adalah Hining!.” I Miang melihat Hining berdiri dengan beberapa nona muda keluarga La Wero menunggu jemputan kereta untuk ke pesta walikota.

“ Puang Nintang, bisakah dia ikut denganku?.” Miang tidak mau kesepian di perjalanan.

“Hemmm… apa itu cucu penatua pertama?.” I Nintang balik bertanya.

“Benar.” Ata’ Sati yang menjawab.

“Anak itu cukup sopan dan baik.” I Nintang melihat kearah kelompok keluarga La wero menunggu.

“Ata’ Noma, pergi panggil cucu penatua pertama itu untuk pergi bersama I Miang.”

“ Baik Puang.”

Ketika sampai di depan gerbang walikota, kereta mereka menjadi pusat perhatian. Selain mewah dan megah. Baik kereta I Nintang dan kereta I Miang ditarik oleh kuda api, yang merah menyala.

“ Miang!.” Timang memanggil I Miang begitu turun dari kereta.

“Keretamu sangat luar biasa! Menggunakan kuda api pula!.” Timang menyanjung tanpa sadar.

“ Apa temanmu mau bersama?.” Pertanyaan I Nintang menyela percakapan Miang dan Timang.

“Ah… nggak perlu. Undanganku cuma kelas dua.” Kata Timang, agak malu. Dia tidak tahu kalau teman sekelasnya itu ternyata nona muda dari keluarga La Wero, keluarga bangsawan kerajaan.

“Tidak masalah, kamu bisa ikut masuk.”

I Nintang memiliki hak istimewa membawa beberapa orang disisinya. Melihat, dia teman dekat keponakannya, dia bermurah hati.

Timang cepat menyuruh pelayannya melapor ke keluarganya agar tidak menunggunya.

Mereka disambut langsung oleh puang Sibi dan mengenalkan mereka dengan anak-anaknya, La Raka dan I Rani.

“Ternyata nona muda ketiga keluarga La Wero sudah besar. Aku ingat terakhir kali melihatnya saat dia berusia delapan tahun.” Puang Sibi menepuk tangan I Miang usai diperkenalkan oleh I Nintang.

“Dia dilatih di tempat lain. Begitulah aturan keluarga.” Kata I Nintang.

“ La Topa adalah seniorku. Kudengar dia juga berlatih bertahun-tahun di pulau kalepa. Dia salah satu ksatria terbaik di angkatannya sekarang.” Sahut La Raka tidak menyembunyikan kekagumannya pada kakak I Miang itu.

“Bagaimanapun, para pria di rumahku sangat keras pada anak-anaknya. Itu membuat hatiku sakit melihat keponakanku.”

“Itu karena mereka memiliki rasa tanggungjawab akan nama besar keluarga.”

“Ya, bisa dimengerti.”

Setelah basa-basi, I Nintang mengobrol bersama wanita bangsawan lainnya dan memperbolehkan I Miang mengobrol dengan para nona muda lainnya.

“Ternyata kamu yang mananya, I Miang? Hining bercerita banyak tentang kamu.” I Rani memulai obrolan.

I Miang melirik Hining yang tersipu. “Apa yang dikatakan kak Hining? Dia tidak mengatakan aibku, kan?.” Guraunya.

I Rani terkikik “Dia frustasi karena dikalahkan oleh juniornya. Dia samapi tidak percaya diri dan berlatih keras. Dia bahkan tidak keluar bermain lagi dengan kami.”

“Kak Hining terlalu terlalu melebihkan.”

“Kurasa tidak. Bagaimanapun, spiritual tingkat lima level puncak diusia tiga belas tahun sangat sedikit.”

“Ka…kamu… Tingkat lima level puncak?.” Timang ikut kaget. Gadis itu langsung cemberut.

“Kenapa perbedaan kita begitu besar?.” Timang mengeluh.

“Apalah dayaku yang cuma tingkat empat level awal”Keluh Timang menangis dalam hati.

Terpopuler

Comments

ladia120

ladia120

Nggak sabar buat lanjut ceritanya!

2025-03-13

0

Irul Munawirul

Irul Munawirul

calabai=banci🤪😆 semangat daeng

2025-04-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!