Salah satu penasihat kerajaan yang duduk di seberang meja menghela napas berat. “Pangeran, jika kita mengirim pengawalan dari Garduete, itu bisa dianggap sebagai tindakan agresif.”
Pangeran Riana mengepalkan tangannya. “Jangan kira aku tidak tahu rencana Gregor. Dia ingin menjadikan Yuki sebagai korban. Menggunakan adat istiadat kuno Argueda untuk membakar seorang istri bersama suaminya yang telah tiada. Mereka akan menuduhnya sebagai penyebab kematian Sera.”
Pendeta Suci terdiam. Apa yang dikatakan Pangeran Riana bukan tanpa dasar. Gregor, sebagai salah satu tokoh berpengaruh di Argueda, memang memiliki ambisi yang besar. Dengan Pangeran Sera yang telah tiada, Gregor tentu ingin mengambil kendali penuh atas kerajaan. Yuki, sebagai istri sah Sera, bisa menjadi ancaman bagi rencana tersebut—kecuali jika dia disingkirkan.
“Jika Yuki tetap pergi tanpa perlindungan yang cukup, dia akan dibawa ke dalam perangkap mereka,” lanjut Pangeran Riana dengan suara dingin. “Mereka bisa melakukan apapun untuk memastikan dia tidak pernah kembali.”
Pendeta Suci menghela napas berat. “Tetapi jika Garduete mengawal Yuki, Ini bisa memperkeruh hubungan antara kedua kerajaan.”
Pangeran Riana menyeringai sinis. “Biar saja. Jika mereka berani menyentuh Yuki, aku akan menunjukkan pada mereka apa artinya menghadapi Garduete.”
Pendeta Suci terdiam. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Pangeran Riana saat dia sudah mengambil keputusan. Satu hal yang pasti—Yuki tidak akan pergi sendiri ke Argueda.
...****************...
Pangeran Riana melangkah keluar dari ruang rapat dengan ekspresi yang gelap dan penuh ketegangan. Para penasihat dan prajurit yang menunggu di luar segera menundukkan kepala, merasakan aura kemarahan yang menyelimuti penguasa mereka.
Diskusi panjang yang baru saja berlangsung tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Argueda, dengan provokasi Gregor, tetap bersikeras meminta Yuki untuk ikut serta dalam upacara pemakaman Pangeran Sera. Mereka menuntut agar Yuki hadir sebagai istri sah almarhum, terlepas dari kondisi kesehatannya.
Pangeran Riana mengepalkan tangannya. Mereka bahkan tidak peduli bahwa surat resmi dari Dokter istana dengan jelas menyatakan bahwa Yuki kehilangan ingatannya. Bagi mereka, itu bukan alasan untuk menghindari kewajiban sebagai istri kerajaan.
“Lancang,” gumamnya, rahangnya mengeras.
Langkahnya semakin cepat saat dia berjalan menyusuri koridor menuju kediaman Yuki. Hatinya diliputi kemarahan dan kecemasan. Jika dia tidak bertindak cepat, mereka akan menemukan cara untuk menarik Yuki kembali ke Argueda—dan dia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Setibanya di kamar Yuki, Pangeran Riana membuka pintu tanpa ragu.
Pangeran Riana melangkah masuk ke kamar dengan ekspresi dingin, menyembunyikan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Begitu pintu tertutup di belakangnya, beberapa pelayan yang berjaga segera menunduk hormat sebelum buru-buru melaporkan situasi Yuki.
“Paduka, Putri Yuki tampak ketakutan dan terus mencari Anda,” salah satu pelayan berbicara hati-hati. “Dia gelisah sejak terbangun.”
Pangeran Riana menatap ke arah tempat tidur. Di sana, Yuki duduk dengan kaki ditekuk, memeluk dirinya sendiri, napasnya tidak beraturan. Cahaya lampu menerangi wajahnya yang masih pucat. Tatapan matanya kosong, tetapi ada kegelisahan yang jelas terpancar dari sorotnya.
Pangeran Riana mengabaikan para pelayan dan melangkah mendekat. Tanpa suara, dia duduk di tepi tempat tidur. Yuki mengangkat wajahnya, dan begitu matanya bertemu dengan mata Pangeran Riana, tubuhnya langsung bergerak mendekat.
“Pangeran Riana…” bisiknya, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan.
Pangeran Riana tidak mengatakan apa pun. Dia hanya merentangkan lengannya sedikit, dan tanpa ragu, Yuki merangkak ke pelukannya, mencari perlindungan. Tangannya mencengkeram jubahnya dengan erat, seakan takut Pangeran Riana akan menghilang.
Pangeran Riana menarik napas dalam, menahan berbagai emosi yang berusaha merayapi pikirannya. Jika dia bisa, dia ingin menghapus nama Sera dari hidup Yuki. Menyingkirkannya dari ingatan, dari mimpi, dari hatinya.
Dengan gerakan lembut namun tegas, dia membiarkan tangannya membelai punggung Yuki, menenangkannya tanpa sepatah kata pun.
Yuki masih dalam pelukannya, tubuhnya sedikit gemetar. Napasnya tersengal saat dia mencoba mengingat detail yang melintas dalam mimpinya.
“Aku bermimpi buruk lagi,” bisik Yuki lirih, suaranya bergetar. “Ledakan… Pria berambut pirang keemasan…”
Pangersn Riana tidak segera menjawab. Rahangnya mengeras, dan matanya yang tajam menatap kosong ke arah lampu yang berkedip redup di meja samping tempat tidur.
“Siapa dia, Pangeran?” Yuki mengangkat wajahnya, menatapnya dengan kebingungan.
Pangeran Riana menelan emosinya. Dia tahu ini akan terjadi—mimpi-mimpi itu tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Meskipun ingatan Yuki telah menghapus sosok Sera, hatinya masih mengenali bayangan yang pernah begitu berarti baginya.
Pangeran Riana mengusap pipi Yuki dengan lembut, jempolnya menyusuri kulit lembut itu, mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Hanya mimpi, Yuki,” katanya dengan suara rendah dan lembut. “Kau tidak perlu mengingatnya.”
“Tapi—”
“Tidak ada yang perlu kau ingat.” Kali ini suaranya lebih tegas, hampir seperti perintah. “Kau aman bersamaku.”
Yuki menggigit bibirnya, matanya masih menyiratkan kebingungan. Namun, di bawah tatapan penuh kepemilikan Pangeran Riana, dia akhirnya mengangguk pelan.
Yuki tidak mengingat Sera.
Dia juga tidak bertanya mengenai Lekky.
Bagi Riana, itu lebih dari cukup.
Dia tidak merasa perlu menjelaskan apa pun pada Yuki tentang siapa mereka. Tidak ada gunanya membangkitkan ingatan yang telah terkubur. Yang penting adalah apa yang ada di depan mata—dan apa yang dia izinkan Yuki untuk ketahui.
Segala sesuatu di luar itu tidak ada artinya.
...****************...
Yuki merasa sesak di dalam kamar.
Dia sudah terlalu lama terkurung di dalam ruangan ini, hanya ditemani oleh pelayan-pelayan yang terus mengawasinya. Setiap kali dia bertanya atau mencoba mencari jawaban tentang mimpi buruknya, mereka selalu menghindar atau mengatakan bahwa dia hanya perlu beristirahat.
Tapi bagaimana bisa dia beristirahat jika setiap malam dia dihantui oleh bayangan ledakan dan seorang pria berambut cokelat keemasan yang terasa begitu dekat di hatinya, meskipun dia tidak mengingat siapa dia?
Dia menggenggam foto anak-anaknya. Leon, Xavier, dan Ferlay. Mereka adalah anak-anaknya. Begitulah yang dikatakan semua orang padanya. Tapi saat menatap wajah-wajah kecil di dalam foto itu, Yuki tidak merasakan ikatan yang seharusnya. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa dia pahami.
Dia tidak ingin sendirian. Dia ingin bertemu Pangeran Riana. Hanya dia satu-satunya yang terasa nyata saat ini.
Tapi jika dia mencoba keluar melalui pintu, pasti para prajurit dan pelayan akan langsung menghentikannya. Mereka mengawasi setiap gerak-geriknya.
Matanya tertuju pada jendela yang terbuka. Angin malam bertiup masuk, membelai wajahnya dengan lembut.
Seolah dipandu oleh naluri yang lebih dalam, Yuki melangkah mendekat. Dia memandang ke bawah, melihat ketinggian dari lantai dua tempatnya berada. Tidak terlalu sulit, pikirnya.
Tanpa ragu, dia mulai memanjat keluar. Tangannya mencengkeram sisi jendela, kakinya mencari pijakan di ukiran batu di dinding kuil. Nafasnya tertahan, tapi jantungnya berdetak dengan liar—bukan karena takut, tapi karena dorongan kuat untuk pergi dari sini.
Begitu kakinya menyentuh tanah, Yuki menghela napas lega.
Dia melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Namun, dia tahu bahwa Pangeran Riana ada di lantai bawah kamarnya. Ruangan di mana dia bekerja sementara selama mereka tinggal di istana ini.
Tanpa membuang waktu, Yuki berjalan mengendap ke arah jendela besar ruangan itu. Dia mencoba membukanya, tapi terkunci rapat. Tidak ada cara untuk masuk dari sini.
Dia menggigit bibir, merasa sedikit frustrasi. Jika tidak bisa masuk dari sini, maka dia harus menemukan cara lain.
Yuki berbalik, hendak mencari pintu masuk, namun langkahnya terhenti ketika dia melihat beberapa penjaga yang berdiri di sudut halaman. Mereka tampak terkejut melihatnya berada di luar.
Sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Yuki langsung bergerak. Dia menerobos masuk melewati mereka, mengabaikan seruan terkejut yang keluar dari mulut mereka.
Pintu ruangan Pangeran Riana terbuka begitu saja ketika dia mendorongnya dengan paksa.
Di dalam, cahaya lampu baca menerangi ruangan. Pangeran Riana duduk sendirian di balik meja kerja, kepalanya tertunduk, satu tangan menopang dahinya sementara tangan lainnya memegang pena di atas dokumen yang belum selesai ditulis.
Dia tampak lelah, namun tetap tenang seperti biasanya.
Saat mendengar suara pintu terbuka dengan keras, Pangeran Riana mengangkat kepala, matanya yang tajam langsung menangkap sosok Yuki yang berdiri di ambang pintu.
Sejenak, tidak ada yang berbicara.
Yuki berdiri di sana, napasnya sedikit terengah setelah berlari. Matanya yang basah oleh kebingungan dan ketakutan bertemu dengan tatapan gelap milik Pangeran Riana.
Pangeran Riana tidak langsung bereaksi ketika Yuki tiba-tiba berlari ke arahnya, mendorong tubuhnya ke samping, lalu berjongkok dan menyelinap di bawah meja.
Dia menatap kosong ke bawah, di mana Yuki kini meringkuk dengan tangan memeluk lututnya, tubuhnya gemetar halus.
“Aku akan menunggumu di sini,” bisik Yuki, suaranya penuh permohonan.
Pangeran Riana menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi. Sejak awal, dia tahu Yuki akan melakukan sesuatu seperti ini.
Dia tidak ingin dikurung sendirian di kamar. Tidak ingin sendirian tanpa dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments