Hendi menghela napas panjang saat mobilnya berhenti di depan apartemen mewah tempat Mira tinggal.
Sudah berhari-hari ia tidak bertemu Mira. Telepon dan pesan yang ia kirimkan hanya dibaca tanpa balasan. Ini tidak seperti Mira yang biasanya selalu membalas, meski hanya dengan satu kata.
Ia turun dari mobil dengan perasaan gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres. Langkahnya cepat menuju lobi apartemen, menekan tombol lift dengan tidak sabar. Begitu pintu lift terbuka di lantai tempat Mira tinggal, ia langsung berjalan ke depan pintu apartemen itu.
Klek!
Gagang pintu tak bergerak.
Terkunci.
Hendi mengetuk pelan.
"Mira? Ini aku, Hendi."
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, lebih keras.
"Mira, kamu di dalam?"
Hening.
Jantung Hendi mulai berdetak lebih cepat. Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar apakah ada suara dari dalam.
Sunyi.
Tanpa berpikir panjang, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Mira. Nada sambung terdengar, tapi tidak diangkat.
"Mira, angkat teleponnya…" gumamnya sambil terus mencoba menelepon berulang kali.
Semakin lama, perasaannya semakin tidak enak. Apalagi setelah ia mendengar kabar bahwa Reyhan bahkan tidak peduli dengan perceraian ini.
Mira mencintai Reyhan dengan sepenuh hati, dan sekarang… ia sendirian.
Hendi mundur beberapa langkah, matanya menatap pintu apartemen itu dengan keraguan. Lalu, ia mengambil keputusan.
"Aku tidak akan diam saja."
Ia segera pergi mencari bantuan. Jika Mira tidak mau membuka pintu, maka ia harus masuk dengan cara lain.
Ada sesuatu yang harus ia pastikan dan ia tidak akan membiarkan dirinya menyesal karena terlambat bertindak.
Sementara itu...
Lampu neon di dalam bar berkelap-kelip, menciptakan bayangan yang menari di wajah Reyhan. Di tangannya, segelas wiski hampir kosong. Botol minuman keras di hadapannya sudah berkurang setengah, tapi ia masih ingin lebih.
Malam ini, ia ingin merayakan kebebasannya.
Tanpa Mira.
Tanpa perempuan yang selama ini terus berusaha mendekatinya meski ia sudah begitu jelas menunjukkan kebenciannya. Tanpa wanita yang ia nikahi bukan karena cinta, tetapi karena dendam.
"Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya," pikirnya sinis, menyesap minumannya lagi.
Reyhan tertawa kecil. Betapa ironisnya, menikah selama setahun tapi tidak pernah benar-benar menjadi suami bagi istrinya. Dan sekarang, Mira akhirnya menyerah. Mengajukan gugatan cerai.
"Bagus," batinnya.
Seharusnya ia merasa puas. Tapi mengapa ada sesuatu yang mengganjal di dadanya?
"Apa aku terlihat seperti seseorang yang baru saja bercerai?" tanyanya kepada bartender dengan nada setengah mabuk.
Bartender itu hanya tersenyum tipis. “Tuan lebih terlihat seperti seseorang yang sedang melarikan diri.”
Reyhan terkekeh, menggelengkan kepala. "Melarikan diri dari apa? Aku bebas sekarang."
Tapi kata-kata itu terasa hampa.
Di sudut lain bar, seorang wanita seksi mendekatinya. Matanya penuh godaan, bibirnya melengkung menggoda.
"Malam ini kamu terlihat sendiri, tampan."
Reyhan menatapnya sekilas. Biasanya, godaan seperti ini akan menarik perhatiannya. Namun, entah kenapa, malam ini rasanya berbeda.
Ia ingin melupakan Mira, tapi semakin ia menenggak minumannya, bayangan wanita itu justru semakin jelas dalam pikirannya.
Tatapan matanya.
Suaranya yang lembut namun penuh luka.
Kesabarannya yang selalu ia anggap sebagai kelemahan.
Dan saat Mira memohon maaf seolah ia yang bersalah. Seolah ia yang harus menanggung semua beban masa lalu.
---
Bimo melangkah masuk ke dalam bar dengan langkah lebar, diikuti oleh Rena yang tampak enggan. Matanya langsung menangkap sosok Reyhan di meja bar, duduk dengan gelas kosong di depannya.
Beberapa botol minuman keras berserakan, dan aromanya bercampur dengan bau alkohol yang menyengat.
“Reyhan,” panggil Bimo dengan nada tegas, berjalan mendekat.
Reyhan mendongak, matanya sedikit merah karena alkohol, tetapi sorot tajamnya masih ada. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.
“Lihat siapa yang datang… Sahabat baikku dan… Rena.”
Rena mendesah, menyilangkan tangan di depan dada. “Aku harus lihat sendiri bagaimana seorang Reyhan Pratama merayakan perceraiannya. Dan ternyata benar, kamu hanya lelaki menyedihkan yang minum untuk menutupi kekosongan.”
Reyhan tertawa pendek.
“Kekosongan? Aku justru sedang menikmati kebebasanku.” Ia mengambil botol dan menuang minuman ke dalam gelas, lalu mengangkatnya ke udara.
“Untuk kehidupan baru tanpa wanita yang terus memohon cinta dariku.”
“Cukup, Rey. Kamu bukan pria seperti ini.” Bimo mendengus, lalu merebut gelas Reyhan sebelum pria itu sempat meminumnya.
Reyhan menatapnya tajam, tetapi Bimo tidak gentar.
“Kamu boleh membenci Mira, kamu boleh menganggap pernikahan itu hanya formalitas, tapi kamu tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirimu yang mengganjal soal perceraian ini,” lanjut Bimo.
“Kamu pikir aku peduli?” Reyhan menghempaskan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan tawa hambar.
“Kamu tidak perlu menjawab, tapi jika kamu benar-benar tidak peduli, kenapa kamu ada di sini, tenggelam dalam alkohol? Kenapa bukan bersama wanita lain, menikmati kebebasanmu?” Bimo balas dengan tenang.
Reyhan terdiam.
Rena, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya ikut bicara.
“Reyhan, kamu harus sadar satu hal. Mira bukan wanita yang mudah menyerah. Jika dia sampai meminta cerai, berarti sesuatu benar-benar telah terjadi.”
“Biar saja,” gumam Reyhan. “Dia yang ingin pergi, bukan aku yang mengusirnya.”
Bimo menggeleng, menatap sahabatnya dengan kecewa. “Benarkah? Atau sebenarnya selama ini kamu hanya menutupi sesuatu? Mungkin… kamu takut?”
Reyhan menegang. “Takut? Aku?”
“Kamu takut kehilangan dia, Rey,” ucap Bimo mantap.
Keheningan menyelimuti mereka.
Reyhan tertawa lagi, kali ini lebih pelan. Ia mengambil gelasnya kembali, tapi alih-alih meminumnya, ia hanya menatap cairan cokelat di dalamnya.
Bimo mendekat, meletakkan tangannya di bahu Reyhan. “Aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun, Rey. Tapi satu hal yang pasti, kamu tidak bisa terus begini.”
Bimo menambahkan. “Dan jika kamu tidak segera melakukan sesuatu, mungkin Mira akan benar-benar pergi dari hidupmu… selamanya.”
Untuk pertama kalinya malam itu, kata-kata Bimo membuat sesuatu dalam diri Reyhan berguncang.
"Sudahlah, nikmati saja malam ini, pesan banyak minuman!" Kata Reyhan pada Mira dan Bimo.
"Aku selalu siap menggantikan posisi Mira di hidupmu," Rena bergelayut manja dipundak Reyhan.
Reyhan meremas gelasnya, merasa frustasi.
"Kenapa aku masih memikirkan dia?"
Ia menenggak habis minumannya, lalu berdiri dari kursi bar. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya melayang. Ia butuh udara segar.
Namun, saat ia melangkah keluar dari bar, angin malam yang dingin tidak mampu menghapus resah yang menyesakkan dadanya.
"Hey.. Mau kemana?"
Sebuah perasaan aneh mulai merayap masuk sesuatu yang selama ini ia tolak untuk diakui.
"Apa aku benar-benar ingin Mira pergi?"
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments