Mira berjalan tanpa arah, kakinya terasa begitu berat seolah-olah dunia ini tak lagi membutuhkannya. Hatinya remuk, pikirannya kosong. Kata-kata Reyhan terus menggema dalam kepalanya, berulang-ulang seperti rekaman rusak yang tak bisa dihentikan.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu selama aku hidup… kecuali kau mati."
Dia sudah melakukan segalanya untuk mendapatkan tempat di hati suaminya. Dia sudah mencoba bersabar, menahan air mata, bertahan dalam luka. Tapi pada akhirnya, semua terasa sia-sia.
Jika kehadirannya hanya membawa dendam bagi Reyhan, untuk apa ia terus bertahan?
Mira memasuki kamar miliknya yang dingin dan sunyi. Napasnya berat, dadanya sesak, seakan tubuhnya sendiri pun menolak untuk hidup. Dengan langkah lunglai, ia menuju kamar mandi.
Perlahan, ia membuka keran bathtub, membiarkan air hangat mengalir memenuhi bak besar itu.
Uap mulai mengepul, tapi tidak menghangatkannya sedikit pun. Tangannya gemetar saat ia melepas gaunnya, lalu perlahan masuk ke dalam air yang semakin penuh.
"Aku hanya terlalu mencintaimu, Reyhan..." Mira melepaskan cincin pernikahannya.
Saat tubuhnya tenggelam perlahan, pikirannya melayang ke masa lalu.
Ia mengingat saat pertama kali bertemu Reyhan. Saat itu, Reyhan adalah pria yang hangat, meskipun tidak banyak bicara.
Tapi sekarang… tatapan itu dingin, penuh kebencian. Tidak ada lagi sisa kasih sayang di matanya, hanya kemarahan dan dendam yang seakan tidak akan pernah padam.
Air terus naik, merendam lehernya, lalu dagunya, sampai akhirnya menutupi seluruh wajahnya.
Mira menutup matanya.
'Apa ini akhirnya?'
Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa damai. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi tangisan, tidak ada lagi penolakan.
Lalu semuanya menjadi gelap.
---
Reyhan menjatuhkan map cokelat di atas meja kerjanya. Surat perceraian yang dikirim oleh Mira tergeletak di dalamnya, lembaran putih yang begitu sederhana, tapi entah kenapa terasa lebih berat dari apa pun yang pernah ia pegang.
Tawa kecil lolos dari bibirnya, dingin dan penuh kemenangan. Akhirnya, dia menyerah. Setelah satu tahun penuh penderitaan, setelah semua air mata dan usaha sia-sia Mira untuk mendapatkan perhatiannya, akhirnya wanita itu memilih pergi.
"Hah… akhirnya."
Dia menyandarkan punggung di kursi, menghela napas panjang, seolah beban yang selama ini menggantung di pundaknya perlahan mulai terangkat. Namun, semakin ia menatap surat itu, semakin perasaan aneh mengusiknya.
Ada sesuatu yang salah.
Selama ini, Mira tidak pernah menyerah. Dia adalah wanita yang selalu menantangnya, yang terus bertahan meski Reyhan mendorongnya berkali-kali.
Jadi, kenapa tiba-tiba… dia memilih menyerah?
Reyhan memejamkan matanya, mencoba mengabaikan rasa tak nyaman yang merayapi pikirannya.
'Bukankah ini yang aku inginkan? Bukankah ini alasan dia menikahi Mira? Untuk menyiksanya, membiarkannya merasakan penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan?'
Reyhan mengusap wajahnya, frustrasi. Seharusnya ini tidak mengganggunya. Seharusnya dia senang. Tapi entah kenapa, ada lubang kosong dalam dadanya yang semakin membesar.
Suara ketukan di pintu membuatnya tersadar.
"Masuk."
Bimo melangkah masuk, wajahnya serius. "Gue dengar kabar dari pengacara Mira."
Reyhan menatapnya datar. "Dan?"
"Lo harus baca ini." Bimo menyodorkan sebuah amplop kecil ke arahnya.
Dengan alis berkerut, Reyhan mengambil amplop itu dan membukanya. Lalu, matanya membelalak saat membaca isi surat yang ada di dalamnya.
"Reyhan, aku menyerah. Aku tahu kamu tidak akan pernah mencintaiku, dan aku lelah berusaha. Aku akan pergi, seperti yang selalu kamu inginkan. Tapi sebelum aku pergi, aku ingin kamu tahu satu hal…"
Reyhan menggenggam surat itu erat-erat. Jantungnya berdegup lebih cepat.
"Apa maksudnya ini?" suaranya bergetar tanpa ia sadari.
Bimo menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. "Mira benar-benar pergi, Rey. Dia bahkan nggak ada di rumahnya sekarang."
Reyhan mencengkeram surat itu lebih erat. Pergi?
Sesuatu yang dingin merayapi tubuhnya. Ini bukan hanya tentang perceraian. Ini bukan hanya tentang dia menyerah. Mira benar-benar… pergi.
Dan untuk pertama kalinya, Reyhan merasa panik.
Reyhan melempar surat itu ke atas meja dengan ekspresi tak acuh. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi, menyilangkan tangan di dada, lalu menatap Bimo dengan tatapan dingin.
"Dia cuma sedang menyendiri. Biarkan saja," ucapnya santai, seolah surat itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan.
Bimo mengernyit, jelas tidak percaya dengan sikap sahabatnya.
"Lo yakin? Mira nggak kayak gitu, Rey. Dia bukan tipe yang pergi tanpa alasan."
Reyhan mendengus, mengambil rokok dari sakunya dan menyalakannya. Asap putih mengepul di udara saat dia menghisapnya perlahan.
"Memang siapa dia sampai berani menggugat cerai gue? Kalau ada yang harus pergi dalam hubungan ini, itu gue, bukan dia." suaranya terdengar dingin, penuh dengan keangkuhan.
Bimo menggelengkan kepala. "Lo beneran nggak ngerti atau pura-pura bego, sih? Lo pikir Mira pergi karena dia udah nggak cinta sama lo?"
Reyhan mendadak terdiam. Kata-kata Bimo menohok sesuatu dalam dirinya.
"Dia pergi karena lo yang maksa dia buat pergi, Rey. Dia udah berusaha buat bertahan, tapi lo terus-terusan dorong dia sampai dia nggak punya pilihan selain ninggalin lo." lanjut Bimo.
Reyhan mengerutkan dahi. Dia tidak suka mendengar itu. Dia tidak suka membayangkan Mira benar-benar menyerah.
Tapi apa bedanya? Bukankah itu yang dia inginkan?
Dengan cepat dia menepis perasaan aneh yang mulai mengganggunya.
"Kalau dia pergi, ya bagus. Gue nggak peduli," katanya datar.
Bimo mendengus. "Serius, Rey? Lo beneran nggak peduli?"
Reyhan tidak menjawab. Dia hanya menatap map berisi gugatan cerai, tapi kali ini tarikan napasnya sedikit lebih dalam. Matanya menatap kosong ke jendela, tapi pikirannya mulai berputar.
'Kalau dia nggak peduli, kenapa rasanya nggak enak?'
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments