Mati

Mira berdiri di depan pintu rumah, menatap punggung Reyhan yang semakin menjauh. Ia tidak tahu sudah berapa kali dirinya dibiarkan seperti ini, dibiarkan menunggu, berusaha, dan akhirnya kecewa.

Angin pagi berembus pelan, menggoyangkan rambut panjangnya. Mata Mira sedikit memanas, tapi ia menahan dirinya untuk tidak menangis.

"Aku akan membuatmu mencintaiku, Reyhan..." bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia menghela napas panjang dan kembali masuk ke dalam rumah.

 

Di kantor Pratama Group, Reyhan memasuki ruangannya dengan ekspresi dingin. Rena yang sudah menunggunya langsung berdiri dan tersenyum.

"Bagaimana kabarmu pagi ini?" tanyanya dengan nada menggoda.

Reyhan tidak menjawab, hanya melirik sekilas sebelum berjalan melewatinya.

Rena mengikuti langkahnya, tetap dengan senyum di bibirnya. "Aku dengar Mira semakin gigih mendekatimu. Kenapa kamu tidak menyerah saja, Reyhan? Nikmati saja permainannya."

"Aku tidak tertarik membahas ini." Reyhan menghela napas lelah, melepas jasnya, dan duduk di kursi dengan ekspresi datar.

Rena tertawa pelan. "Tapi aku tertarik. Mira benar-benar perempuan yang keras kepala, ya?"

Reyhan tidak menjawab. Ia mengambil dokumen di mejanya dan mulai membaca, tapi Rena tidak berhenti.

"Apa kau tidak takut, Reyhan?" tanyanya tiba-tiba.

Reyhan mengangkat alisnya. "Takut?"

Rena mendekat, meletakkan tangannya di meja. "Takut kalau akhirnya kamu benar-benar jatuh cinta padanya."

Reyhan terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya tertawa kecil.

"Itu tidak akan pernah terjadi."

 

Di rumah, Mira duduk di ruang kerjanya, menatap berkas yang baru saja ia temukan.

Berkas itu adalah laporan lama yang berhubungan dengan keluarganya dan keluarga Reyhan. Ia mulai membaca dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa Reyhan begitu membenciku...?" gumamnya pelan.

Ia menggigit bibirnya, perasaannya semakin tidak tenang. Ia tahu ada sesuatu yang besar di balik semua ini, sesuatu yang selama ini tidak ia ketahui.

Dan ia akan menemukannya.

Apa pun yang terjadi, ia harus menemukan alasan di balik semua ini, alasan mengapa Reyhan begitu membencinya, alasan mengapa ia harus menanggung semua ini.

Karena hanya dengan mengetahui kebenaran, ia bisa menemukan jalan untuk masuk ke dalam hati suaminya.

Atau mungkin, justru sebaliknya.

Ia akan menemukan sesuatu yang bisa menghancurkan segalanya.

 

Mira menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Sejak pagi, Reyhan tidak pulang, dan ia juga tidak bisa menghubunginya. Jantungnya berdetak tidak karuan, ada firasat buruk yang mengganggunya sejak kemarin.

Saat ia baru saja hendak menelepon lagi, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Langkah berat Reyhan terdengar memasuki rumah, membuat Mira segera berlari menghampirinya.

"Reyhan! Dari mana saja kamu?" tanyanya cemas.

Reyhan tidak menjawab, hanya melepas jasnya dengan ekspresi dingin. Matanya menatap Mira dengan tajam, berbeda dari biasanya, ada sesuatu yang lebih gelap di sana, sesuatu yang membuat Mira bergidik ngeri.

"Kita harus bicara."

Mira menelan ludah. "Bicara soal apa?"

Reyhan melangkah lebih dekat, membuat Mira tanpa sadar mundur. Sudut bibirnya terangkat, tapi tidak dengan cara yang lembut.

"Soal hutang keluargamu."

Mata Mira membesar. "Apa maksudmu?"

"Kamu tidak lupa kan kenapa aku? Aku menikahimu karena aku ingin menghancurkanmu. Sama seperti bagaimana keluargamu menghancurkan keluargaku." Reyhan tertawa dingin.

Mira merasa dadanya seperti dihantam benda berat. "Reyhan... aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan."

Reyhan mencengkeram dagunya dengan kasar. "Tentu saja kamu pura-pura tidak tahu. Keluargamu mencuri segalanya dari keluargaku. Dan aku akan memastikan kamu merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan."

"Reyhan... aku bukan musuhmu." Mira menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Reyhan tersenyum sinis. "Tapi kamu bagian dari mereka."

Ia melepaskan dagu Mira dengan kasar, lalu berbalik pergi.

Mira berdiri di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat.

Air mata mulai jatuh di pipinya.

Reyhan benar-benar memulai balas dendamnya. Dan ia, tanpa daya, hanya bisa menerima.

Mira mengetuk pintu dengan ragu. "Reyhan… biarkan aku bicara sebentar."

Tidak ada jawaban.

Mira berdiri di depan kamar Reyhan, tangannya terkepal erat, berusaha menahan gemetar yang merayapi seluruh tubuhnya.

"Aku tidak tahu apa yang ayahku lakukan di masa lalu, tapi aku bersumpah, aku tidak terlibat. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku akan melakukan apa pun yang kamu inginkan, asal kau tidak membenciku seperti ini."

Hening.

Lalu terdengar suara langkah kaki. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Reyhan yang dingin.

"Apa pun?" katanya dengan nada mencemooh.

Mira mengangguk tanpa ragu. "Apa pun."

"Kamu ingin menebus dosamu? Kamu ingin aku memaafkanmu?" Reyhan menatapnya tajam, matanya seperti mata pisau yang mengulitinya hidup-hidup.

Mira menelan ludah. "Iya…"

Reyhan mendekat, membuat Mira mundur tanpa sadar, tapi Reyhan menahannya dengan mencengkeram pergelangan tangannya.

"Bagaimana caramu meminta maaf pada orang yang sudah mati, Mira?" bisiknya dingin.

Mira terdiam.

"Aku kehilangan keluargaku karena keluargamu. Aku kehilangan satu-satunya orang yang paling aku cintai di dunia ini, dan kamu pikir aku bisa begitu saja memaafkanmu?"

Air mata Mira jatuh, tapi Reyhan tidak peduli.

"Aku tidak akan memaafkanmu selama hidupku. Satu-satunya cara bagimu untuk menebus kesalahan keluargamu adalah dengan mati, Mira."

Kata-kata suaminya tadi masih terngiang di telinganya, menggema seperti palu godam yang menghancurkan hatinya berkeping-keping.

Matanya menghangat, dadanya terasa sesak. Napasnya tersengal, bukan hanya karena sakit hati, tetapi juga karena ketidakberdayaan yang melilit dirinya. Sejak awal, ia tahu pernikahannya dengan Reyhan tidak didasari cinta. Tapi ia tidak pernah menyangka bahwa dendam Reyhan sedalam ini.

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu selama aku hidup… kecuali kamu mati."

Jantung Mira berhenti berdetak sesaat.

"Apa maksudmu?" bisiknya lemah.

Reyhan melepaskan cengkeramannya dan berbalik. "Kamu dengar sendiri. Jika kamu benar-benar ingin aku memaafkanmu, maka mati saja."

Mira merasa tubuhnya lemas. Reyhan melangkah masuk ke kamarnya dan menutup pintu tanpa melihatnya lagi.

"Reyhan…" suara Mira hampir tak terdengar.

Tapi suaminya tidak akan menjawabnya.

"Kamu benci padaku?"

"Setiap menit, bahkan setiap detik kamu disamping aku, rasanya aku ingin sekali membunuhmu! Pergi dari hadapanku sekarang juga!"

Mira berdiri di sana cukup lama, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan ke luar kamar. Malam sudah larut, angin dingin menusuk kulitnya, tapi ia tidak peduli. Kata-kata Reyhan terus berputar di kepalanya, menyiksa dirinya dengan kejam.

"Kecuali kamu mati."

Langkah Mira terus berlanjut, menuju kamarnya sendiri yang terletak disamping kamar Reyhan.

Jika kematiannya bisa membuat Reyhan berhenti membencinya, maka apa gunanya ia bertahan?

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!