Reyhan berjalan cepat di lorong, matanya menajam saat melihat beberapa tamu berlalu-lalang.
Ketika ia melewati kamar mandi wanita, langkahnya melambat. Hatinya berdegup lebih cepat tanpa alasan yang jelas.
Sebuah suara lirih terdengar samar dari dalam.
"Tolong..."
Reyhan langsung menegang. Itu suara Mira!
Tanpa pikir panjang, ia mendorong pintu kamar mandi dengan kasar.
Brak!
Pemandangan di depannya membuat darahnya mendidih.
Seorang pria berdiri terlalu dekat dengan Mira, tangannya mencengkeram pergelangan tangan istrinya. Mira tampak ketakutan, wajahnya pucat dengan tubuh yang jelas melemah.
Reyhan menatap Mira yang tampak lemah dan pria asing yang masih berdiri di dalam kamar mandi. Matanya berkilat dengan amarah yang luar biasa.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya dingin, penuh ancaman.
Pria itu segera mundur dengan gugup. "Aku... aku hanya—"
Pria itu menoleh dengan kaget, lalu buru-buru melepaskan cengkeramannya.
"Aku... aku hanya membantu—"
Reyhan tidak membiarkan pria itu menyelesaikan ucapannya. Dengan satu langkah panjang, tinjunya melayang keras ke rahang pria itu.
Bug!
Pria itu terhuyung ke belakang, terjatuh ke lantai dengan erangan kesakitan.
"Reyhan..." Mira terkesiap.
Alih-alih menunjukkan kepedulian, Reyhan justru menatapnya dingin. "Aku sudah bilang, kamu seharusnya tidak datang."
Mira mencoba berdiri tegak, menahan rasa sakit di hatinya. "Dan aku sudah bilang, aku istrimu. Aku berhak berada di sini."
Mira merasakan tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan.
"Menyusahkan saja!" Dengan sigap, Reyhan meraih pinggangnya, menahannya agar tidak jatuh.
Pria yang tergeletak di lantai mencoba bangkit. "Aku hanya disuruh—"
"Siapa yang menyuruhmu?" potong Reyhan dengan suara dingin yang berbahaya.
Pria itu terdiam, ragu-ragu.
"Bicara, atau aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini dengan utuh." Reyhan mencengkeram kerah bajunya, menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.
Pria itu gemetar. "Seorang wanita... dia yang memintaku..."
Mata Reyhan menyipit. "Siapa namanya?"
Pria itu menelan ludah. "Aku tidak tahu namanya, tapi... dia punya rambut panjang, memakai gaun merah..."
"Rena..." Mira yang masih dalam pelukan Reyhan tersentak.
Reyhan melepaskan pria itu dengan kasar. Ia menatap Mira yang masih tampak lemah.
"Kita pulang," ujarnya tanpa kompromi.
"Tapi—"
"Tidak ada tapi."
Reyhan menyelipkan satu tangan di bawah lutut Mira dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkatnya dalam gendongan. Mira hanya bisa membiarkan dirinya dibawa pergi, terlalu lemah untuk melawan.
Di luar kamar mandi, Rena menunggu dengan penuh antisipasi.
Ia ingin melihat bagaimana Mira keluar dengan wajah memerah karena malu, bagaimana Reyhan akan menatapnya dengan jijik, bagaimana Reyhan akhirnya sadar bahwa Mira tidak pantas berada di sisinya.
Namun, semua harapannya hancur dalam sekejap ketika ia melihat Reyhan keluar dari lorong... sambil menggendong Mira.
Mata Rena membulat. 'Tidak! Ini tidak sesuai rencana!'
Reyhan tidak menatapnya sama sekali saat ia berjalan melewatinya dengan tatapan dingin.
"Reyhan..." panggil Rena lirih.
Reyhan berhenti sesaat, menoleh dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.
"Mau menjelaskan sesuatu, Rena?" tanyanya tajam.
Rena menggigit bibirnya, berusaha mencari alasan, tetapi Reyhan sudah kehilangan kesabarannya.
"Satu kesalahan lagi, Rena, dan aku pastikan kamu tidak akan bisa muncul di hadapanku lagi. Pergi dari hadapanku sebelum aku benar-benar kehilangan kendali," desisnya.
Rena terpaku, ia tidak punya pilihan selain mundur.
Reyhan kembali berjalan, meninggalkan Rena yang hanya bisa menatap mereka pergi dengan hati yang terbakar oleh kemarahan dan kebencian.
Ballroom yang semula penuh dengan kemeriahan mendadak dipenuhi dengan bisik-bisik begitu sosok Reyhan Pratama muncul dari lorong.
Namun, bukan sekadar kehadirannya yang mengejutkan tamu undangan, melainkan pemandangan yang menyertainya.
Di dalam pelukannya, Mira tampak lemah, tubuhnya basah dengan helaian rambut yang menempel di wajahnya.
Gaun indah yang ia kenakan kini melekat di tubuhnya, membuatnya tampak lebih rapuh dari sebelumnya. Nafasnya tersengal, dan wajahnya pucat seperti seseorang yang baru saja mengalami kejadian buruk.
Tamu-tamu mulai berbisik, tatapan mereka mengikuti langkah Reyhan yang tetap tenang namun penuh aura berbahaya.
“Astaga, itu istrinya, kan?”
“Apa yang terjadi? Kenapa bu Mira basah kuyup seperti itu?”
“Kenapa Pak Reyhan terlihat marah sekali?”
Rena yang berdiri di dekat pintu ballroom meremas jemarinya, tubuhnya menegang saat melihat pemandangan yang tak pernah ia duga.
Seharusnya bukan seperti ini! Mira seharusnya menjadi bahan ejekan, bukan malah digendong oleh Reyhan seperti seorang pria yang berusaha melindungi wanitanya.
Bimo yang baru saja kembali dari berbicara dengan rekan bisnis langsung berlari menghampiri.
"Rey! Apa yang terjadi?"
Tanpa menghentikan langkahnya, Reyhan hanya menatapnya sekilas, tatapannya dingin dan menusuk.
“Jaga tempat ini. Aku akan membawa Mira pergi.”
Bimo mengernyit, tapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Reyhan sudah berjalan melewatinya dengan cepat.
Mira membuka matanya yang berat, menatap suaminya dengan pandangan kabur.
"Reyhan..." suaranya lirih, hampir tak terdengar di tengah kebisingan ballroom.
Reyhan menunduk sedikit, memastikan ia masih sadar.
“Diam. Kita akan pulang,” katanya dengan nada tegas.
“Tapi... orang-orang melihat...” Mira mencoba menggeliat, merasa malu karena semua mata tertuju padanya.
“Biar saja mereka melihat, mereka punya mata!” Reyhan semakin mengeratkan pelukannya.
Di sudut ruangan, Rena mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rencana jahatnya benar-benar gagal. Ia tidak hanya gagal mempermalukan Mira, tetapi justru melihat sisi Reyhan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, perlindungan tanpa syarat.
Tamu-tamu masih berbisik ketika Reyhan akhirnya mencapai pintu keluar ballroom. Seorang pelayan hotel buru-buru membukakan pintu untuknya, dan dalam sekejap, mereka menghilang ke dalam malam.
Di dalam mobil, suasana terasa begitu hening. Mira menyandarkan kepalanya di bahu Reyhan, tubuhnya masih menggigil.
Sopir yang melihat keadaan Mira melalui kaca tengah tampak ragu.
"Pak Reyhan, apakah kita langsung ke rumah atau ke rumah sakit dulu?"
Reyhan menatap Mira yang matanya mulai sayu, seperti kehilangan tenaga. Hatinya mencelos melihatnya seperti ini.
"Rumah," jawabnya singkat.
Sopir segera melajukan mobil menuju kediaman mereka, meninggalkan ballroom yang masih diwarnai dengan bisik-bisik dan pertanyaan yang belum terjawab.
Mira masih merasa tubuhnya lemas saat mereka tiba di rumah. Kepalanya berdenyut, dan ada sensasi aneh yang merayapi tubuhnya.
Pikirannya kacau, dan ia mulai menyadari ada yang tidak beres. Sejak tadi di ballroom, ia merasa aneh, dan sekarang efeknya semakin terasa.
Reyhan membopongnya masuk ke dalam kamar Mira dan menidurkannya di ranjang dengan hati-hati.
“Kamu kenapa?” tanya Reyhan dengan nada datar, tapi matanya mengawasi setiap gerakan Mira dengan tajam.
Mira menatapnya, bibirnya sedikit terbuka, ingin menjelaskan, tapi tubuhnya mulai bereaksi aneh. Napasnya terasa berat, jantungnya berdebar cepat, dan ia mulai merasa suhu tubuhnya naik.
“Aku… aku merasa aneh, Rey…” bisiknya.
"Apa yang kamu makan di pesta tadi?" Reyhan menyipitkan mata, menyadari sesuatu.
"Aku hanya minum champagne… lalu… lalu aku merasa lemas." Mira mencoba mengingat, tapi kepalanya terasa melayang.
Reyhan mengepalkan tangannya. Sesuatu jelas telah terjadi pada Mira. Ia segera berbalik, berniat menelepon dokter, tapi saat itulah teleponnya bergetar.
Nama Rena tertera di layar.
Di apartemennya, Rena bersandar di sofa dengan segelas wine di tangannya. Senyumnya licik saat mendengar suara Reyhan yang dingin di seberang telepon.
"Ada apa?" tanya Reyhan, terdengar tidak sabar.
“Kamu meninggalkan pesta begitu cepat. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Rey…” suara Rena terdengar manja.
"Aku tidak punya waktu untuk ini."
“Oh, jadi kamu lebih memilih pulang dan mengurus istrimu yang bahkan kamu benci? Kamu tahu, Rey, aku bisa menemanimu malam ini… kalau kau mau." Rena tertawa kecil.
Reyhan mendengus. “Aku tidak tertarik.”
“Tapi mungkin nanti kamu akan berubah pikiran, karena aku yakin, efek obat itu akan membuat Mira tak bisa berpikir jernih. Kau tahu efeknya, kan?” kata Rena dengan nada menggoda.
Darah Reyhan langsung mendidih. "Apa maksudmu?"
Rena tertawa pelan. “Oh, ayolah, Reyhan. Aku hanya ingin sedikit bermain-main. Tapi kamu harusnya tahu, obat itu akan membuatnya semakin panas… semakin menginginkan sesuatu yang mungkin tak bisa kamu berikan padanya.”
Reyhan mengepalkan rahangnya. Ia menutup telepon tanpa mendengar ocehan Rena lebih jauh.
Matanya beralih ke Mira yang masih terbaring di ranjang, tubuhnya bergerak gelisah, bibirnya sedikit terbuka dengan napas memburu. Ia terlihat seperti tengah berjuang melawan sesuatu di dalam tubuhnya sendiri.
Sial.
Reyhan tahu benar apa yang telah dilakukan Rena. Dan sekarang, Mira harus menanggung akibatnya.
Bersambug...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments