Cinta yang Tak Terbalas

Mira menatap punggung Reyhan yang berdiri di depan jendela kantornya. Matanya kosong, wajahnya dingin seperti biasanya. Tak ada kehangatan, tak ada cinta, hanya kebencian yang seolah tak pernah surut.

"Apa kamu tidak lelah membenciku?" suara Mira bergetar, tapi tetap tegar.

Reyhan berbalik, tatapannya tajam menusuk. "Kamu pikir aku bisa begitu saja melupakan semuanya?"

Mira menggeleng, mencoba menelan perih yang terasa semakin menyesakkan. "Aku tidak meminta itu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak akan pernah membencimu. Tidak peduli seberapa kejam kamu memperlakukanku."

Reyhan tertawa kecil, tapi itu bukan tawa yang hangat, lebih seperti ejekan. "Kamu terlalu bodoh, Mira. Aku tidak akan pernah mencintaimu."

Mira tersenyum kecil, meski hatinya hancur berkeping-keping. "Mungkin memang bodoh… tapi aku tidak bisa memilih kepada siapa hatiku jatuh."

Reyhan mendekat, matanya yang dingin kini berubah gelap, penuh amarah dan emosi yang sulit ditebak. "Lalu apa yang kamu inginkan, huh? Bertahan di sisiku dan berharap aku berubah? Itu tidak akan terjadi."

Mira mengangkat wajahnya, menatap Reyhan tanpa gentar. "Aku tidak mengharapkan apapun darimu, Reyhan. Aku hanya ingin mencintaimu dengan caraku sendiri."

Reyhan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang sekilas seperti keraguan. Tapi dengan cepat dia mengenyahkannya.

"Kamu hanya menyiksa dirimu sendiri," gumamnya.

Mira menggeleng. "Tidak. Ini pilihanku. Dan aku akan tetap di sini, mencintaimu, meski kamu terus membenciku."

Reyhan menatapnya lama, sebelum akhirnya membalikkan badan dan berjalan pergi tanpa kata.

Mira tersenyum pahit. Cintanya mungkin tidak akan pernah terbalas, tapi dia tahu satu hal, cintanya untuk Reyhan tidak akan pernah berubah.

Saat Reyhan melangkah keluar dari ruangannya, Mira masih berdiri di tempatnya, berusaha menenangkan gejolak hatinya yang baru saja dihempaskan oleh suaminya sendiri. Namun, belum sempat dia menarik napas dalam, suara Rena yang lembut tapi penuh sindiran terdengar di belakangnya.

"Oh, kamu masih di sini? Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Mira." Rena tersenyum manis, meskipun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda.

Mira mengangkat alis, menunggu kelanjutan ucapan Rena.

"Lusa, akan ada acara perusahaan. Semua eksekutif wajib hadir. Apa Reyhan mengajakmu?" Rena bertanya dengan nada polos, tapi jelas penuh maksud.

Mira terdiam sejenak. Dia tahu betul bahwa Reyhan tidak pernah mengajaknya ke acara semacam itu. Bahkan untuk sekadar makan malam di rumah pun, pria itu selalu bersikap dingin dan menjaga jarak.

"Aku tidak tahu," jawab Mira akhirnya, mencoba bersikap netral.

"Oh… kalau begitu, mungkin memang bukan urusanmu. Bagaimanapun juga, ini acara penting untuk orang-orang yang benar-benar punya peran dalam perusahaan." Rena tersenyum tipis, matanya berkilat penuh kemenangan.

Mira merasakan tusukan halus dalam kata-kata Rena, tapi dia tetap tenang. "Aku yakin kalau acara itu memang penting, suamiku akan memberitahuku sendiri."

Rena tertawa kecil, seolah Mira baru saja mengatakan sesuatu yang lucu. "Benarkah? Aku hanya tidak ingin kamu kecewa kalau ternyata Reyhan memilih datang dengan seseorang yang lebih… pantas."

 "Maksudmu dirimu sendiri?" Mira mengamati Rena dengan tajam.

Rena tidak menjawab, hanya mengangkat bahu dengan senyum penuh arti sebelum melangkah pergi.

Mira mengepalkan tangannya. Dia tidak akan mundur. Tidak peduli seberapa dingin Reyhan, seberapa menusuk sindiran orang-orang di sekitarnya dia akan tetap di sini, tetap menjadi istrinya.

Dan jika Reyhan benar-benar tidak mengajaknya, mungkin sudah waktunya dia mengambil langkah sendiri.

 

Mira menunggu.

Sejak pertemuannya dengan Rena kemarin, ia berharap Reyhan akan mengatakan sesuatu, apapun tentang acara perusahaan yang disebutkan Rena.

Namun, hingga malam tiba, suaminya tetap diam. Bahkan saat mereka duduk di meja makan yang dingin tanpa percakapan, Reyhan tidak menunjukkan tanda-tanda akan membahasnya.

Mira mencoba membuka percakapan lebih dulu. "Lusa ada acara perusahaan, kan?"

Reyhan, yang tengah menyantap makanannya tanpa ekspresi, hanya mengangguk singkat.

"Kamu akan pergi?" Mira bertanya lagi, meski sudah tahu jawabannya.

"Ya," jawab Reyhan singkat, masih tanpa menoleh.

Mira menarik napas dalam. Ia menunggu beberapa detik, berharap Reyhan akan melanjutkan, mengajaknya, atau setidaknya menyebut sesuatu tentang kehadirannya di acara itu. Tapi tidak. Keheningan kembali menyelimuti ruangan.

"Jadi… aku juga ikut?" akhirnya Mira bertanya, mencoba tetap tenang.

"Untuk apa?" Reyhan meletakkan sendoknya perlahan, kemudian menatap Mira dengan dingin.

Mira tertegun. "Karena aku istrimu?"

Reyhan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya tanpa emosi. "Acara ini formal dan hanya untuk orang-orang yang berkepentingan. Kamu tidak perlu datang."

Jawaban itu menghantam hati Mira lebih keras dari yang ia duga. Jadi benar, dia memang tidak dianggap.

"Baiklah, kalau begitu." Mira menelan rasa perih di hatinya, lalu tersenyum kecil.

Ia mencoba bersikap biasa saja, melanjutkan makannya seolah tak terjadi apa-apa. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, ini bukan sekadar acara perusahaan. Ini adalah cara Reyhan menunjukkan bahwa dia tidak menginginkan Mira di sisinya.

Dan itu lebih menyakitkan daripada apapun.

 

Malam itu, Mira berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Gaun hitam elegan membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan lekukannya tanpa terkesan berlebihan. Rambutnya disanggul rapi dengan beberapa helai tergerai lembut, menambah kesan anggun dan misterius. Riasan wajahnya sederhana, namun cukup untuk membuat siapa pun menoleh dua kali.

Ia tahu Reyhan tidak menginginkannya di acara itu. Tapi kali ini, ia tidak akan mundur.

Saat Mira melangkah masuk ke ballroom hotel tempat acara berlangsung, semua mata seolah tertuju padanya. Para tamu yang mengenalnya mulai berbisik-bisik, sebagian terkejut karena tidak menyangka istri Reyhan akan hadir.

Di sudut ruangan, Rena yang sedang berbincang dengan beberapa kolega langsung membeku saat melihat Mira. Mata wanita itu menyipit, jelas tidak menyukai kehadiran Mira yang begitu menonjol malam ini.

Sementara itu, Reyhan berdiri di dekat panggung utama, mengenakan setelan hitam yang sempurna. Ia sedang berbicara dengan beberapa pengusaha senior ketika tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sosok yang baru memasuki ruangan.

Mata Reyhan menggelap saat melihat Mira.

Ia tidak menyangka istrinya akan muncul di acara ini, terlebih dengan penampilan yang begitu memukau.

Ada kilatan emosi di matanya, antara marah, terkejut, dan… sesuatu yang lain yang bahkan ia sendiri enggan mengakuinya.

Mira berjalan mendekat, langkahnya tenang, penuh percaya diri. Begitu sampai di hadapan Reyhan, ia tersenyum manis.

"Selamat malam, suamiku," ucapnya lembut.

Sejenak, Reyhan hanya diam. Rahangnya mengencang, matanya meneliti Mira dari atas ke bawah.

“Kamu tidak diundang,” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan beracun.

"Oh? Aku pikir sebagai istrimu, kehadiranku sudah cukup sebagai undangan." Mira tersenyum lebih lebar, menatap suaminya dengan penuh ketenangan.

Reyhan tidak menjawab, tapi tatapannya tajam, seakan menelanjangi setiap niat di balik kehadiran Mira malam ini.

Mira tahu Reyhan tidak suka, tapi kali ini, ia tidak peduli. Jika Reyhan terus mendorongnya menjauh, maka ia akan melangkah lebih dekat. Dan malam ini, ia akan menunjukkan pada semua orang, terutama pada suaminya, bahwa ia bukan wanita yang bisa diabaikan begitu saja.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!