Mira menggenggam ponselnya erat, napasnya tersengal saat pikirannya berusaha menerima kenyataan. Tangannya gemetar ketika dia membaca ulang artikel itu, berharap ada kesalahan, tetapi semua fakta tetap sama. Ayahnya telah menghancurkan keluarga Reyhan.
Baru saja Mira ingin mencari informasi lebih lanjut, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Reyhan berdiri di ambang pintu, jasnya masih rapi, tapi sorot matanya lebih dingin dari sebelumnya.
"Kamu mencari tahu sesuatu, Mira?" tanyanya, suaranya datar tapi mengandung ancaman.
Mira menelan ludah, menutup laptopnya dengan cepat. "Aku hanya bekerja…"
Reyhan mendekat, langkahnya perlahan tapi penuh tekanan. Dia meraih dagu Mira, membuat istrinya menatap langsung ke matanya.
"Kamu menggali masa lalu, bukan?" suaranya hampir berbisik, tapi Mira bisa merasakan amarah yang terselubung di baliknya.
"Aku hanya ingin tahu… Kenapa kamu sangat membenciku, Reyhan? Apa benar… karena ayahku?" suara Mira bergetar, tapi dia memaksa dirinya tetap kuat.
Reyhan tersenyum sinis, lalu melepas genggamannya dengan kasar. Dia berjalan ke jendela, menatap keluar dengan tatapan penuh kebencian.
"Kamu ingin tahu kebenarannya, Mira?"
Mira mengangguk pelan.
Reyhan tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Ayahmu bukan hanya menghancurkan keluargaku. Dia juga… membunuh ayahku."
"Apa?"Jantung Mira seperti berhenti berdetak.
Reyhan berbalik, matanya gelap dan penuh luka yang tersembunyi. "Setelah perusahaan kami bangkrut, ayahku terkena serangan jantung. Tapi itu bukan sekadar penyakit biasa. Dia mendapat ancaman, Mira. Ancaman dari ayahmu."
"Tidak… Ayahku tidak mungkin…" Mira menggeleng, air matanya menggenang.
"Kamu pikir dia pria baik? Ayahmu tidak hanya mengambil segalanya dari keluargaku. Dia juga memastikan ayahku tidak punya pilihan untuk bangkit kembali. Dan sekarang, aku akan memastikan kamu merasakan penderitaan yang sama." ujar Reyhan tajam.
"Apa maksudmu…?" Mira melangkah mundur, tubuhnya mulai gemetar.
Reyhan mendekat, membenamkan dirinya dalam bayangan yang mengintimidasi.
"Aku menikahimu bukan karena cinta, Mira." Dia menunduk, membisikkan kata-kata berikutnya tepat di telinga Mira. "Aku menikahimu… karena aku ingin menghancurkanmu, seperti ayahmu menghancurkan keluargaku."
Air mata Mira jatuh. Hatinya seperti diremukkan tanpa ampun.
"Tapi… aku mencintaimu, Reyhan…" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Reyhan terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Namun, dalam sekejap, ekspresinya kembali dingin. "Sayangnya, perasaanmu tidak berarti apa-apa bagiku."
Lalu, tanpa peringatan, Reyhan pergi, meninggalkan Mira yang kini tenggelam dalam rasa sakit dan ketakutan yang lebih dalam.
Tapi satu hal yang belum Reyhan sadari…
Ada rahasia lain yang belum terungkap. Rahasia yang bisa menghancurkan semua yang selama ini dia yakini.
Reyhan melangkah masuk ke gedung megah Hartono Pratama, satu-satunya peninggalan ayahnya yang masih berdiri kokoh. Perusahaan ini adalah bukti terakhir dari kerja keras dan kehormatan keluarganya, sesuatu yang tidak akan dia biarkan jatuh ke tangan siapa pun, terutama keluarga Mira.
Setelah pernikahan yang terasa seperti jebakan, dia semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Jika dia tidak bisa menghancurkan Mira dengan kata-kata, maka dia akan menghancurkannya dengan kekuatan yang lebih besar.
"Dalam waktu enam bulan, aku ingin kita menguasai pasar real estate di Jakarta dan Surabaya," perintahnya dingin kepada para direksi dalam rapat pagi itu.
Mereka mengangguk patuh, meskipun ada beberapa yang tampak ragu dengan ambisi besar Reyhan. Tapi tidak ada yang berani membantahnya. Reyhan bukan hanya pewaris, dia adalah penguasa di sini.
Setelah rapat selesai, sekretarisnya, Karin, masuk dengan ekspresi cemas. "Tuan Reyhan, saya baru mendapat kabar dari bagian hukum. Ada seseorang yang menggugat kepemilikan saham minoritas perusahaan ini."
Reyhan menyipitkan mata. "Siapa?"
Karin menelan ludah sebelum menjawab, "Bu Mira."
Darah Reyhan mendidih. Istrinya, wanita yang dia anggap sebagai musuh, berani menantangnya di ranah bisnis?
"Dia bermain api," gumam Reyhan sambil menyeringai sinis.
Tanpa berpikir panjang, dia meraih ponselnya dan menekan nomor Mira. Setelah beberapa nada sambung, suara lembut tapi penuh ketegasan itu terdengar.
"Kamu benar-benar berani, Mira."
Di ujung telepon, Mira tidak terdengar gentar. "Aku hanya mengambil apa yang memang seharusnya menjadi hakku. Kamu lupa, aku juga memiliki saham di perusahaan ini melalui ibuku."
Reyhan tertawa kecil, tapi tawa itu dipenuhi dengan ketidakpercayaan. "Kamu pikir kamu bisa melawanku?"
"Aku tidak melawan. Aku hanya ingin tahu… apa yang sebenarnya terjadi antara keluargaku dan keluargamu. Mungkin dengan memiliki sebagian dari perusahaan ini, aku bisa menggali lebih dalam rahasia yang selama ini kamu sembunyikan." jawab Mira tenang.
Reyhan mengepalkan tangan. Mira bukan hanya wanita yang lemah dan mudah dihancurkan. Dia juga cerdas, dan itu semakin membuatnya berbahaya.
"Jangan menyesal, Mira. Kamu baru saja menyatakan perang." ujar Reyhan dingin.
Mira menghela napas sebelum menjawab, "Ku yang lebih dulu mengumumkan perang, Reyhan. Aku hanya memutuskan untuk tidak lagi diam."
Telepon terputus. Reyhan menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras.
Jika Mira ingin bermain, dia akan memastikan permainan ini berakhir dengan kehancurannya.
Mira menatap punggung Reyhan yang berdiri tegap di depan jendela besar kamar mereka. Sejak gugatan saham itu, Reyhan semakin dingin, seolah keberadaannya tidak lebih dari bayangan di dalam rumah megah ini.
Setiap pagi, Reyhan berangkat kerja tanpa sepatah kata. Setiap malam, dia pulang larut, dan jika pun mereka bertemu, tatapannya hanya berisi kebencian yang menyakitkan. Tapi Mira tidak akan menyerah.
Malam itu, saat Reyhan masuk ke kamar setelah seharian bekerja, Mira sudah menunggunya. Mengenakan gaun satin berwarna biru gelap, rambutnya terurai lembut, dan matanya menatap Reyhan dengan tekad yang baru.
"Aku akan membuatmu mencintaiku, Reyhan," ucapnya pelan namun penuh keyakinan.
Reyhan berhenti di ambang pintu, matanya menyipit tajam. "Kamu sedang bercanda?"
Mira menggeleng. "Aku serius. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, tapi aku tidak akan membiarkan pernikahan ini hanya diisi oleh kebencian."
Reyhan mendekat, sorot matanya seperti es yang membakar. "Jangan buang waktumu, Mira. Aku tidak akan pernah mencintaimu."
Mira menatapnya tanpa gentar. "Kita lihat saja nanti."
Reyhan tertawa sinis, lalu melangkah ke kamar mandi, mengabaikan keberadaan Mira. Tapi Mira tidak kecewa. Itu hanya awal dari rencananya.
Keesokan harinya, Mira mulai bergerak. Dia datang ke kantor Reyhan dengan membawa makan siang yang ia buat sendiri, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Saat masuk ke ruangan Reyhan, pria itu hanya meliriknya sebentar sebelum kembali menatap layar laptopnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya datar.
Mira meletakkan kotak makan di atas meja. "Aku membawakan makan siang untukmu."
Reyhan mendecakkan lidah. "Jangan bertingkah seperti istri perhatian. Aku tidak membutuhkannya."
Mira tersenyum kecil. "Tapi aku ingin melakukannya. Kamu tidak harus memakannya jika tidak mau."
Mira berbalik dan berjalan keluar tanpa menunggu jawaban. Beberapa karyawan yang melihatnya berbisik-bisik, tak menyangka istri dingin CEO mereka ternyata perhatian.
Saat Reyhan membuka kotak makan itu, aroma makanan rumahan menyapa hidungnya. Dia tidak ingin mengakuinya, tapi makanan itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang lama ia abaikan.
Namun, alih-alih tersentuh, Reyhan mengepalkan tangan. Mira pikir ini cukup untuk melunakkan hatinya?
"Jangan terlalu percaya diri, Mira," gumamnya sambil menutup kotak makan itu.
Tapi dia tidak membuangnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments