Sore ini Naya diantar pulang oleh Kevin sampai ke depan rumah.
"Berarti pekan ini ko nda pulang ke rumah yang disana?" tanya Kevin.
Naya mengangguk, "kan besok nginap di sekolah. Kalau nginap cuma semalam yaa mana kerasa " katanya. "Mau ikut yaa?"
Kevin nyengir, "rindu makan kentang rebus buatan nenek Ija." jawabnya.
"Nanti saya ajak. Makasih yaa, mau mampir dulu?"
"Ohh tidak bisa, takutnya ibu negara ngamuk." Kevin dengan cepat membelokkan motornya. "Bye-bye Nay!" serunya sebelum menarik pedal gasnya.
Naya memasuki halaman rumah yang penuh dengan bunga kesukaannya. Rumahnya berada di daerah perkotaan, tidak besar karena hanya jadi rumah singgah. Papanya membeli rumah ini sekitar 10 tahun yang lalu dengan alasan biar dia dan kakaknya tidak capek pulang pergi. Rumah utama ada di desa, di ujung jalan bagian utara kabupaten. Untuk kesana, butuh waktu hampir satu jam dan mesti menaklukkan medan yang berat. Kebanyakan anak desa yang sekolah di kota memilih untuk tinggal di asrama yang letaknya berada di depan sekolah. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan kota madya yang merupakan ibu kota provinsi. Malahan untuk ke ibu kota terasa lebih dekat ketimbang pulang ke rumah desa.
"Lho, papa baru akan menelpon." sambut pak Nadim kepada anak perempuannya.
Naya memeluk papanya yang masih mengenakan apron, beliau sepertinya sedang masak makan malam. "Tadi dianterin Kevin." katanya.
"Kevin gak diajak masuk kah?"
"Sudah pulang, takut mamanya ngomel." jawabnya. Ia merasakan kepalanya dielus, lalu dikecup.
"Adek bersih-bersih gih. Sudah hampir gelap soalnya." suruh pak Nadim.
Naya berjalan ke kamarnya yang ada di lantai atas. Ia sempat membuka pintu kamar kakaknya yang ternyata sedang kosong. Entah kemana kakaknya pergi.
Jam 7 malam, Naya turun kembali sambil membawa ponsel dan juga surat izin. Ia meletakkan keduanya di atas meja ruang keluarga.
Suara motor juga terdengar memasuki halaman rumah, sepertinya kakaknya sudah pulang.
Mereka bertiga lalu makan dalam diam. Pak Nadim memang menerapkan tidak bercakap-cakap ketika sedang makan.
"Jadi kamu lebih pilih lanjut S2 daripada daftar PAPK?" tanya pak Nadim kepada anak laki-lakinya.
Naka mengangguk, "iya, pa." jawabnya.
"Kenapa?"
"Naka tidak bisa jauh dari adek dan papa." jujurnya. "Apalagi dalam waktu yang lama, belum juga jika dilempar tugas keluar."
Pak Nadim mengangguk mengerti, "Yaa tidak apa-apa, papa tidak akan memaksa. Papa menyarankan kamu daftar PAPK supaya kamu bisa hidup tenang dikemudian hari karena hidupmu akan dijamin negara. Namun karena memilih melanjutkan pendidikan, itu berarti kamu siap dengan konsekuensinya juga dan otomatis melanjutkan usaha yang ada."
"Iya paa." Naka mengangguk.
Naya menunggu giliran untuk ditanya-tanya. Ini memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh kepala keluarga.
"Naya, itu kertas apa nak?" tanya pak Nadim.
Naya tersenyum, ia membuka lebar kertasnya lalu memberikan kepada papanya, "surat izin, pa." jawabnya.
Pak Amin terlihat membaca setiap kata yang tertera pada kertas ditangannya. "Nginap ya di sekolah?"
"Iya, paa. Besok hari terakhir MOS, ada kegiatan outdoor nya. Karena waktunya terbatas, makanya diambil sampai malam." jawab Naya.
"Ada gurunya kan yang ikut?" tanya Naka.
"Ada, kak. Besok bahkan ada tentara dan polisi yang ikut bawa materi."
"Ya tahu, tapi mereka kan datangnya pagi, gak mungkin pelatihan baris berbaris sampai malam."
Naya nyengir, "ada gurunya ihh yang ikut." katanya.
"Pulpen nya mana?" tanya pak Nadim.
Naya memberikan pulpen kepada papanya, "ini papa."
"Karena besok adek nginap di sekolah, papa dan kakak akan ke kabupaten F untuk cek lokasi. Papa berencana untuk menambah SPBU lagi, mumpung kakak tidak mau jadi abdi negara." beritahu pak Nadim.
Senyum Naka merekah, ini adalah tantangan pertama yang papanya berikan.
"Disana berapa hari?" tanya Naya.
"Setelah mengantarkan adek ke sekolah besok pagi, papa dan kakak langsung berangkat. Disana hanya cek lokasi, waktu satu hari sepertinya sudah cukup. Mungkin tiba larut malam di sini." jawab pak Nadim.
Naya mengangguk, "okay deh." katanya. "Pot kosong masih ada gak yaa?" tanyanya kemudian. Ia baru ingat perihal pot.
"Ada, warna biru tapi. Bukan hitam." Naka yang menjawab.
"Gak apa-apa deh." Naya beranjak ke halaman belakang yang tidak luas, hanya ada tempat untuk jemur pakaian dan juga tempat untuk barang-barang yang jarang digunakan. Ternyata potnya masih banyak, namun ia hanya mengambil satu.
"Kamu kan panitia, kok bawa pot juga?" heran Naka.
"Ya kan biar satu rasa. Hitung-hitung mengukir kenangan juga, biar bibitnya nanti disimpan di kantor papa. Supaya papa gak lupa kalau punya anak cantik macam adek ini." Naya lalu menaik turunkan alisnya menggoda dua lelaki kesayangannya.
"Mana pernah papa lupa kalian?" pak Nadim menimpali.
"Yaa pernah, bahkan lupa pulang karena nganterin temannya pulang." Naka yang menjawab. Ketika dia masih SMP, papanya pulang terlambat karena mengantar seorang pegawainya pulang.
Pak Nadim meringis, "itu sudah lama, kenapa harus diingat lagi? Lagian papa tidak lupa kalian, tapi memang pekerjaan papa menumpuk saat itu makanya pulang terlambat. Bukan hanya karena mengantarkan pegawai papa pulang." ia tentu saja menyangkal. Baginya, dua anaknya sudah cukup, tidak perlu lagi ada orang lain.
"Sekarang kalian bersih-bersih, lalu tidur!"
"Siap, papa!" kompak Naya dan Naka.
Naya tak lupa memeluk dan mencium pipi papanya sebelum naik ke lantai atas. Ia juga harus menyiapkan perlengkapan untuk besok. Notifikasi ponselnya membuat ia berhenti sejenak.
+6281xx : Permisi, paket!
+6281xx : Dengan Bu Ara?
+6281xx : Yaah, dicuekin. Padahal centang dua juga.
+6281xx : Sepertinya sudah tidur. Baiklah, selamat tidur senior.
Naya memilih untuk membacanya saja. Juniornya yang satu itu memang rada-rada.
+6281xx is calling....
"Apalagi Ar?" tanya Naya langsung.
"Wuhuii, santui senior, santui."
Naya menghela napasnya, "Iya, ada apa? Ada yang bisa dibanting?"
"Perlu bawa sekop kecil gak kak?" tanya Ryan di sebelah sana.
"Kalau gak mau antri, sebaiknya bawa kalau memang ada." jawab Naya. Ia me-loudspeaker ponselnya agar bisa melanjutkan kegiatannya.
"Kalau bawa hati?"
"Ya memang harus bawa hati, mana bisa kamu hidup tanpa hati?"
Terdengar kekehan Ryan. "Maksudnya untuk senior cantik yang bernama Nayara."
"Gak usah repot, junior badung. Hati saya masih ada dan masih utuh."
"Alhamdulillah, syukurlah kalau hati senior masih utuh. Tolong dijaga yaa untuk junior yang satu ini, jangan sampai retak atau hancur. Baiklah, sampai disini dulu perbincangan kita malam ini senior, selamat malam dan semoga mimpi ketemu junior yang tampan ini."
Tut Tut Tut
Naya berdecih, "dasar junior badung!" ia segera menyimpan nomor Ryan dengan nama Junior Badung .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments