Penolakan Naya berakhir sia-sia. Kini ia bahkan sedang berdiri sembari memaparkan materi yang diamanahkan kepadanya. Jika ditanya apakah dirinya gugup? Jawabannya tentu saja IYA. Namun ia bisa apa? Tidak bisa apa-apa selain melakukan perintah. Semua mata kini memandang ke arahnya, namun tatapan yang dilayangkan Ryan berbeda dari yang lain. Naya bisa merasakan teduh dan damai pada tatapan tajam itu, hal yang tidak dimiliki oleh semua orang. Kalian pasti juga pernah merasa tenang hanya karena tatapan seseorang, isn't it?
"Jika ada yang belum dipahami, raise your hand dan silahkan bertanya!" ucap Kevin selaku moderator.
Ada 3 orang yang mengangkat tangannya, salah satunya adalah Ryan. Dengan pembawaan yang luwes, Naya menjawab tiga pertanyaan tadi dengan sangat baik. Meskipun pada pertanyaan Ryan terdapat sedikit adu argumen.
Suara ribut-ribut yang berasal dari luar ruangan menarik atensi mereka semua yang berada dalam ruangan. Seorang ibu-ibu terlihat marah-marah di depan ruangan OSIS yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan gugus Sejahtera.
"HEH, SEENAKNYA SURUH ANAK SAYA BAWA POT BUNGA, BAWA TEMPAT SAMPAH, BAWA PERMEN, KALIAN GAK PUNYA UANG KAH SAMPAI MENGEMIS LEWAT CARA INI?"
"Nay!" Kevin dengan cepat menyusul Naya yang meninggalkan ruangan.
"Jangan keluar dari pintu." pesan Erwin. Ia tahu betul bagaimana karakter seorang Naya.
Naya berdiri mendampingi ketua OSIS nya, "Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanyanya dengan penuh kelembutan.
"GAK ADA! SAYA GAK BUTUH BANTUAN DARI ANAK KECIL SEPERTI KALIAN." jawab si ibu.
"Terus kenapa ibu marah-marah?" heran Naya.
"KARENA KALIAN TIDAK BECUS. MENGEMIS LEWAT CARA MURAHAN SEPERTI INI. GAK SEKALIAN ANAK SAYA DISURUH BAWA LOGAM MULIA?"
"Bagian mana yang membuat ibu berpikir bahwa kami mengemis?"
"Nay!" Haris Maulana selaku ketua OSIS menahan bahu Naya untuk tidak banyak bicara.
"Lepas, Haris!" ucap Naya, ia menatap tajam temannya sekilas.
"POT BUNGA DAN TEMPAT SAMPAH SEBANYAK ITU UNTUK APA KALAU GAK DIJUAL LAGI? PERMEN? KALIAN BENAR-BENAR GAK PUNYA UANG KAH?"
"Bu, pelan kan suaranya." Naya memperingati. "Telinga kami di sini masih berfungsi dengan baik. Nama anak ibu siapa?"
"Fara."
Naya menatap Erwin, seolah meminta tolong untuk mencari anak yang namanya Fara. Kurang dari dua menit, seorang adik kelas datang.
"Bu, kenapa ke sini?" tanya si anak. Ia sepertinya kaget dan juga malu mendapati sang ibu marah-marah di sekolah.
"Ibu hanya mengajari para kakak kelasmu ini." jawab si ibu dengan sangat angkuh.
"Bu, tempat sampah yang kami suruh bawa tidak akan disimpan di sekolah ini, tapi akan dibawa pulang ke rumah masing-masing peserta MOS begitu kegiatan selesai. Adapun pot bunga yang disuruh bawa, itu untuk ditanami bibit buah oleh mereka semua lalu dibawa pulang sebagai kenang-kenangan MOS mereka. Sementara permen yang berjumlah 30 butir itu akan mereka bagikan kepada masing-masing teman gugus mereka. Saya pikir keberadaan kami di sekolah ini sudah sangat mampu membuat ibu berpikir bahwa tidak ada yang mengemis atau semacamnya, karena ibu tahu sendiri berapa banyak biaya untuk masuk ke sini dengan kata lain tidak ada yang miskin di sini. Kecuali ibu yang memang tidak mampu untuk membeli tempat sampah, pot bunga dan juga permen 30 butir." ucap Naya panjang lebar sebelum kembali ke ruangannya.
"Huuu!"
"Awokawok"
Muka si ibu merah padam, sepertinya sangat malu. Ia langsung pergi tanpa berkata apapun lagi.
"Ngeri kali kak Naya." celetuk Kiki.
"Wah, diam seolah tak bertenaga, bergerak seperti macan." teman sebangkunya menimpali.
"Nay, minum dulu!" Erwin memberikan air minum kepada Naya.
Naya lalu menghabiskan air yang diberikan oleh Erwin, "terima kasih." ucapnya. "Silahkan pulangkan mereka, sekarang sudah jam 3. Saya mau ke toilet dulu."
Tepat pukul 3, para peserta MOS meninggalkan ruangan masing-masing.
"Kak!"
Langkah Naya terhenti, ia tidak menoleh karena malu, wajahnya sembab setelah menangis.
"Ini tissue, barangkali kak Ara membutuhkannya."
Naya mengambil tissue itu, "terima kasih."
Melihat Naya yang melangkah pergi, Ryan juga ikut pergi. Meskipun kepalanya penuh dengan rasa penasaran tentang seniornya yang satu itu.
✨✨✨
Glabela Naya nampak begitu membaca notifikasi pada layar ponselnya, Arrayan Marimahesa mengirimi Anda permintaan pertemanan . Jarinya keseleo, tanpa sengaja menyentuh ikon Terima . Tidak lama kemudian sebuah pesan masuk. (Bdw, ini jaman FB yaaww ^_^)
Arrayan Marimahesa: you okay kak?
Entah kenapa hati Naya tergerak untuk membalasnya.
Nayara Vaneesha: Okay. Terima kasih tissue nya. Nanti saya ganti yaa.
Arrayan Marimahesa: Bayarannya bisa dalam bentuk lain?
Nayara Vaneesha: Apa?
Arrayan Marimahesa: Kak Ara hanya perlu menjawab pertanyaan ini, kenapa tadi nangis? Padahal kak Ara gak salah.
Nayara Vaneesha: Saya tuh paling gak bisa marah. Kalau marah, ujung-ujungnya nangis.
Arrayan Marimahesa: Aneh sih, tapi keren. Ngeri juga.
Nayara Vaneesha: :))
Arrayan Marimahesa: Aseek, dikasih senyum sebelum tidor. Selamat tidur kak, see you tomorrow!
Naya tidak lagi membalas pesan Ryan, karena ia keburu tertidur.
✨✨✨
"Ada yang marah-marah nih." goda Naka pada adiknya.
"Apa sih kak?" pipi Naya bersemu merah. Ia bisa menebak jika kakaknya sudah mengetahui perihal kejadian kemarin.
Naka tertawa terbahak-bahak, "sarapan gih, nanti kakak anterin."
"Ihh, tumben baik. Biasanya adek disuruh jalan kaki, mana jauh pula."
"Karena papa yang suruh." jujur Naka.
Naya mencebikkan bibirnya, lalu menyantap makanannya. Papanya kemana? Tentu saja sedang lari pagi. Mamanya? Sejak kecil ia ditinggal oleh sang ibu dan hanya hidup bertiga dengan papa dan kakaknya.
"Kakak bingung, papa meminta kakak untuk daftar PAPK."
"Terus?"
"Kakak gak mungkin ninggalin kamu, dek. Disisi lain papa juga sangat ingin anaknya jadi abdi negara."
"Nanti adek bantu ngomong ke papa." janji Naya.
Naka berseru senang karena janji adiknya. Soal rayu merayu, berikan kepada Nayara Vaneesha, dia adalah jagonya.
"Tapi kalau dikasih pilihan, kakak harus pilih yaa, gak boleh lari dari kenyataan terus-terusan." Naya mengingatkan.
"Siap, sistaah!" Naka hormat. Apapun ia lakukan asalkan tidak jauh dari adik dan papanya.
Setelah sarapannya habis, Naya lalu meminta untuk diantar. Ia benar-benar ingin menghemat tenaga dan juga waktu pagi ini. Jarak satu kilo meter bukanlah hal mudah baginya jika moodnya sedang berantakan seperti sekarang ini.
Tiba di depan gerbang sekolah, Naya mencium punggung tangan kakaknya. "Terima kasih kak!" ucapnya.
Naka merapikan rambut adiknya, "Semangat senior!" katanya. "Ini jajan untuk hari ini." ia memberikan selembar uang pecahan 20 ribu.
Naya nyengir, "Asek asek!" ia mengajak kakaknya berhi-5.
"Wah, saya juga mau kak." seru Kevin dari gerbang.
"Dasar bocil!" gerutu Naka, tapi tetap mengeluarkan uang 5 ribu dari saku celananya.
Namun meskipun begitu, Kevin tetap berseru senang. "Xie Xie!" ia menundukkan badannya sekilas.
Interaksi mereka tidak luput dari perhatian orang-orang yang lewat. Bagi pelajar lama, ini tentu bukan hal yang baru, tapi tetap saja mereka nyengir ketika menyaksikannya. Bagi murid baru yang masih menjalani MOS, hal tadi mengundang tanya dan juga tawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments