Risa memasuki area rumahnya dan berhenti tepat di depan pintu. Ia lantas membuka pintu dan mendapati bapak yang tengah menonton TV. Risa sama sekali tak ingin menyapa beliau, langkahnya terus maju hingga sampai di depan kamarnya.
“Hari ini lumayan oke, meskipun bertemu dengan orang aneh.” Risa mendudukkan tubuhnya di ambang kasur sejenak. Ia merasakan perih yang menjalar di sekitar kakinya. Pasti karena luka cambukan kemarin belum sepenuhnya kering.
Ia beranjak lalu membuka lemarinya. Risa melihat laci lemarinya sedikit terbuka. Ia pun membuka laci itu dan memeriksa apakah bapak mengambil uang dari sana.
“Ternyata benar, untung bapak nggak ambil semuanya.” Memang hal sudah biasa terjadi. Bapak selalu mengambil uang Risa namun tidak semuanya di ambil. Entahlah, mungkin bapak masih memikirkan anaknya. Risa mengambil satu kaos dan celana untuk ia berganti pakaian.
Kurang lebih 10 menit Risa telah selesai dengan aktivitas mandinya. Ia merasakan perutnya yang sudah keroncongan. Risa membuka pintu kamarnya dan berjalan menuruni anak tangga.
Ia melihat bapak yang masih sibuk menonton TV. Risa sempat termenung di tempatnya. Ia ragu untuk melangkahkan kakinya. Tetapi jika ia terus diam di sana, cacing cacing di perutnya akan terus meronta. Dengan helaan napas panjang, Risa pun berjalan ke arah dapur.
“Bapak tadi ambil uang mu di laci.” Ujar bapak ketika menyadari keberadaan Risa.
“Iya,” jawab Risa dengan singkat.
“Em, bapak mau makan apa?” Risa memberanikan diri untuk bertanya. Sebelumnya bapak selalu makan di luar karena selalu berangkat pagi pulang pagi lagi. Terkadang bapak pulang hingga larut.
“Apa aja.” Sekitar 15 menit, Risa berkutat dengan alat masak. Ia memasak sup ayam kesukaan bapak. Dulu waktu ia masih kecil, bapak selalu memasakkan sup ayam untuknya karena bapak menyukai masakan itu.
“Makanannya udah jadi, Pak.” Bapak lantas mematikan TV yang masih menyala dan berjalan menuju meja makan. Tangannya mulai mengambil piring dan sendok. Di lanjutkan dengan nasi dan sup ayamnya. Risa terus memandang bapak yang tengah melahap makanannya.
“Kenapa?” Risa terkesiap dengan pertanyaan bapak. Ia pun menggeleng dan mulai ikut makan. Dilihatnya bapak telah selesai dengan makannya.
“Masakanmu nggak enak,” ucap Bapak seraya beranjak pergi meninggalkan Risa yang masih menyantap makanannya.
“Nggak enak tapi habis.” Risa heran akan sikap bapaknya. Ia pun mengulum senyum tipis, apakah bapak masih menyayanginya seperti dulu? Risa mengerti bahwa dibalik berubahnya sikap bapak pasti ada alasan. Mungkin untuk sekarang Tuhan belum mengizinkan Risa untuk tahu apa alasan itu. Tapi, yang Risa tangkap, bapak masih menyayanginya.
*****
Seperti biasa, Risa mengayuh sepedanya menuju sekolah Bakti Pelita. Sesampainya di sana, ia segera memakirkan sepedanya dengan jajaran sepeda motor. Terkadang Risa di olok-olok oleh siswa lain di sana. Katanya “Hari ini masih pake sepeda.” Dan masih ada kata kata nyelekit lainnya. Namun, Risa mengabaikan itu semua. Menurutnya, selagi tidak merugikan siapapun ya bodo amat.
“Hai.” Risa melirik malas orang di sampingnya ini. Bisa kalian tebak dia siapa? Ya, Jeff. Entahlah, sekarang Jeff sudah seperti jalangkung. Yang kedatangannya tidak diundang.
“Oh ya, makasih ya kemarin udah nolongin gue.” Risa mengangguk sebagai balasan. Rasanya akan sangat menguras energi jika terus menanggapinya.
Matanya terus menatap lurus ke depan hingga tak menyadari bahwa Jeff sudah tidak ada di sampingnya. Sesampainya di depan kelas, ia segera masuk dan duduk di tempatnya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel dan satu novel yang sering ia bawa.
“Ris, lo tau nggak sih.” Risa melirik sekilas Lala yang mau bercerita. Rasanya ia masih sedikit dongkol terhadap Lala.
“Gue putus sama Dimas, sedih banget tau ga. Gue udah ngemis ngemis ke dia tapi dia ninggalin gue gitu aja. Gue harus gimana coba biar Dimas balik?” Lala menatap Risa yang sedari tadi tetap fokus pada bukunya. Ia pun merampas buku dari tangannya yang membuat Risa terlonjak kaget.
“Lo nggak dengerin gue? Lo malah asik baca buku nggak berguna ini?” Lala mulai naik pitam, bagaimana tidak? Dengan berani Risa mengabaikan ceritanya. Risa melangkahkan kaki guna mengambil buku dari genggaman tangan Lala. Namun, sesuatu tak terduga dilakukan oleh Lala.
Lala mulai merobek satu demi satu lembaran kertas buku itu. Ia merusak buku Risa, menghancurkannya sehancur hancurnya. Lala tak peduli dengan perasaan Risa.
“Ini balasan karena lo berani sama gue.” Setelah mengatakan itu, Lala pergi dengan amarah yang memuncak. Risa? Ia masih diam mematung melihat robekan kertas yang berserakan.
Dadanya seakan bergemuruh, napasnya tercekat. Tubuhnya jatuh tersungkur, bersamaan dengan itu buliran bening mulai jatuh dari pelupuk matanya. Tangannya mulai memungut sisa sisa robekan kertas itu. Andai Lala tahu, andai dia tahu bahwa buku yang ia hancurkan adalah hadiah terakhir dari bapak sebelum semuanya berubah. Buku yang selama ini Risa jaga sebaik mungkin meskipun sudah berkali kali membacanya hingga habis.
Semua yang berada di kelas menatap iba pada Risa. Mereka tak menyangka Lala akan se—tega itu pada Risa. Setelah selesai memungut sisa sisa robekan kertas, Risa bangkit dan berdiri dengan tegak. Kepalanya menunduk melihat buku yang ia jaga jaga telah hancur tak berbentuk.
Sebagian orang mungkin akan menilai Risa lebay. Mereka hanya melihat apa yang mereka lihat tanpa melihat dari sudut pandang lain. Bagi mereka itu hanya sebuah buku yang kapanpun bisa dibeli lagi. Tetapi, mereka tidak tahu bagaimana berharganya buku itu. Bukan masalah harganya, tapi bagaimana tulusnya bapak memberi buku itu sebagai bentuk hadiah untuk Risa kecil.
Bapak rela menabung demi bisa membeli buku itu untuknya. Dan sekarang, buku itu telah hancur. Sekali lagi ini bukan tentang harganya, melainkan bagaimana usaha bapak demi bisa membeli buku itu untuk Risa kecilnya.
“Lebay.” Risa menatap tajam orang yang sudah mengatakannya lebay.
“Apa lo liat liat? Emang kenyataannya begitu, lo itu lebay, itu buku bisa lo beli lagi.”
“Mending lo diem kalau nggak tahu apa apa.”
“Kasian gue liat lo, udah nggak pernah ngerasain kasih sayang ibu, bapaknya juga keliatan nggak peduli. Miris.”
“Daripada lo, orang tua lengkap tapi nggak pernah dapet perannya. Sekedar di kasih hadiah aja lo nggak pernah. Sekarang siapa yang lebih miris? Lo atau gue?” Aldi—orang yang mengejek Risa tadi menatap Risa tajam. Amarahnya memuncak, ia ingin menghajar Risa namun guru datang di waktu yang tepat.
Semuanya lantas duduk di bangkunya masing masing. Risa masih membereskan bukunya. Menatapnya dengan tatapan sendu.
“Maaf, maaf, bapak.”
*****
Sedih banget ga sih liat Risa🥺 ada yang pernah di posisi Risa? Hug jauh buat kalian. Jangan lupaa untuk vote, komen dan like yaaa. Jika kalian suka jangan lupa untuk follow juga biar ga ketinggalan, terima kasih teman teman💐
HAPPY READING👀✨
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments