Dapat Izin

Sejak teks yang ku kirim kepadanya Tante Tania benar-benar mendiamkan ku. Aku bingung harus bagaimana, aku sudah bilang kan dua pria andalanku pun takut sekali dan patuh pada putusannya. Apalagi oma Jean yang tidak segan dibantahnya jika tidak sesuai dengan paham nya.

Bukan berarti tanteku ini jahat ya yeorobun, hanya saja memang begitulah ia mencintaiku. Ia sudah punya dua anak, yang sulung sudah menduduki senior high, yang bungsu masih primary, ah... Baginya aku lah anak sulungnya.

Anak pertamanya yang temuinya ketika usiaku lima tahun, anak pertamanya yang dimandikannya di usianya yang masih dua puluhan kala itu, akulah anak pertamanya.

Setelah menduduki senior high kala itu, aku sudah tinggal dengan papa di Seleste Ville, tidak dengan Opa dan Oma ku lagi, dan hingga sekarang aku pun masih tinggal dengan papa. Tapi kami semua tinggal di kota yang sama, Seleste Ville. Bahkan rumah kami hanya berjarak lima belas menit dengan berkendara.

Kamarku juga tersedia di rumah tanteku, aku bebas datang ke sana sesuka seenak jiwaku, kan aku sudah bilang aku lah si sulung mereka.

"Appa.... ", rengekku pada Appa Joon yang sedang bersantai di balkon lantai dua, pria 50 tahunan ini benar-benar tampan untuk ukuran ayah anak dua, ia menyesap kopinya dan meletakkannya lagi lalu menatapku dengan ekspresi yang sama sekali tidak terbacaku.

"Appa... Bantuin Vina bujuk tante."

"No honey, that's not my bussiness. Appa tidak mau ikut campur soal itu, appa belum mau jadi duda... ".

"Appa..... ", rengekku lagi.

Appa benar-benar lepas tangan, jika appa Joon saja sudah begitu, maka papaku juga tidak jauh berbeda keadaannya, bahkan lebih parah.

🍁🍁

Seminggu pun berlalu, Davina sibuk mencari tahu semua hal tentang Pandora Town, tempat yang akan di tuju nya, meski masih abu-abu ia harus tetap mempersiapkan dirinya kan? Bahkan ia sudah membeli sleeping bag untuk jaga-jaga jika tempat tidur disana kurang memadai, karena ia agak sensitif ketika tidur. Ia menatap sebuah foto yang ia buka di sebuah forum online tentang bencana alam Pandora Town.

Bagaimana berantakannya situasi disana, puing di mana-mana, jika dilihat-lihat kalau ada tenaga medis disana ia harus menetap berbulan-bulan bahkan mungkin ber tahun. Keningnya berkerut menatap kacaunya scene di foto itu.

"Udah yakin banget?", tanya seseorang dengan nada datar.

Itu, Tania.

Davina yang awalnya tengkurap di tempat tidurnya menatap ipadnya, kini sontak bangun dan duduk menghadap tantenya, pandangannya tidak lepas dari mata Tania.

"Vina tetep mau kesana, Tan." yakinnya menunjukkan pada Tania bahwa keinginannya sangat kuat.

"Vina... ", seru Tania, suaranya melemah.

Davina tahu tantenya sangat tidak rela, ia tahu ini adalah saat tantenya akan menangis.

"Tante... Vina mau berbuat baik, Vina mau jadi dokter bedah anak bukan karena semata-mata papa dan appa itu dokter. Tapi karena nyembuhin orang itu rasanya indah banget, disana katanya banyak anak-anak yang jadi korban, tan. Vina ingat masa kecil Vina, masa kecil yang sama sekali ngga enak sebelum ketemu tante. Vina mungkin ngga bisa bantu banyak, tapi Vina bisa bagi apa yang Vina punya kan? ".

Jangan tanya Tania, ia sudah terisak memeluk yang katanya anak sulung nya itu.

"Bisa ngga berbuat baiknya jangan yang kayak gitu, yang lain aja. Tante ngga mau kamu kenapa-napa disana. Pandora itu bukan tempat yang ramah, nak. Itu daerah konflik, daerah bermasalah, bencana alamnya juga ngga main-main. Tante ngga bisa nak. Cukup kehilangan Tiara, tante jungkir balik jaga kamu, mastiin kamu terjamin, sekarang kamu mau pergi dari tante. Kamu jahat banget."

"Siapa yang bilang Vina ninggalin tante? Ngga ada. Vina ngga mau ninggalin tante kok. Ntar Juan sama Yena enak banget kalo hartanya tante cuma dibagi dua, bagi tiga dong sama Vina biar adil. "

Bugh... Tania menggeplak jidat Vina. Bukannya gadis itu merasa bersalah, ia malah tertawa.

"Tante... Boleh kan? Vina mau coba, papa pernah cerita dia juga pernah jadi dokter relawan."

"Halah... Papa kamu mainnya ke tempat yang aman, cuma penyuluhan kesehatan, gaya amat. Beda banget sama tujuan kamu, itu ekstrim sayang. Kamu yakin?".

Davina mengangguk.

"Vina bisa jaga diri, tante. Izinin Vina ya, Vina coba dulu, ntar kalo ngga sanggup, Vina minta jemput, janji deh... Ngga akan sok kuat, bener. Vina mana sanggup sok ok. Boleh ya tan..."

Diikuti helaan napas yang berat, Tania mengangguk kaku, melepas anak gadisnya untuk melebarkan sayapnya lebih lagi, ke Pandora Town, 10 jam penerbangan dari Seleste Ville. Tempat yang indah namun mematikan.

🍁🍁

"Yeobo... Dia sudah besar, bukan anak lima tahun lagi. Sudah 23 tahun, sudah dewasa sayang. Jangan dikekang terus menerus, ia juga sudah siap membangun dunianya sendiri, karirnya sendiri. Itu anaknya Bryan, akalnya banyak. Tenanglah. Jika terjadi sesuatu kamu kira aku dan Iyan akan diam? Kami bisa mengangkut semua dokter yang pergi kesana dalam sekali bergerak, gwenchana... ", Joon Young menenangkan istrinya lagi.

Akhirnya Tania diam, dan pelan-pelan menata hatinya, Joon Young benar, Davina sudah sedewasa itu, tapi entah kenapa baginya Davina hanya anak kecil yang harus ia jaga.

Keesokan harinya, dengan senyum semangatnya ia mengantarkan formulir pendaftarannya, saya sebagai dokter relawan ke Pandora Town, yang akan berangkat beberapa hari lagi.

🍁🍁

Deru suara mobil masuk ke dalam area rumah yang cukup luas itu. Sejak Davina lulus senior high Bryan membeli rumah di sebuah komplek perumahan mewah untuk mereka tinggali bersama. Sepertinya pembantunya sedang membukakan gerbang untuk seseorang, dan ia yakin itu Joon Young dan rombongannya.

Bryan pun melangkah keluar rumah untuk memastikan dan melihat Tania baru saja turun di bantu Juan dan Yena mengangkat banyak barang yang entah apa.

"Kalian mau pindah kesini?", tanya Bryan keheranan dan menoleh pada Joon Young karena Tania tidak menanggapinya, dan sang suami pun menggeleng sebagai kode untuk tidak ikut campur dan akhirnya ia pun diam.

"Tante... Ini semua apaan?", tanya Davina heran keluar dari kamarnya.

"Jangan banyak protes kalau ngga mau tante berubah pikiran."

"Siap, jungjeon mama... ", seru Tania menyilangkan satu tangan di dadanya.

"Tante udah siapin semua keperluan kamu dan semua ini harus dibawa. Disana dingin, jauh lebih dingin dari pada Seleste Ville di musim gugur, ini selimut hangat, ini kasur angin sama pompanya udah tante siapin, ini cuma buat seorang, ngga usah sok sokan sharing sama orang, tante tahu kamu sensitif banget soal bantal dan kasur. Ini diffuser portable, ini power bank, baskom lipat, penyimpanan serbaguna, sleeping bag, ini jauh lebih bagus daripada yang kamu beli, lebih tebel, waterproof, ini obat-obatan ringan, sama p3k lainnya, lampu emergency, lotion anti nyamuk stok berbulan-bulan dibagiin sama temen-temen kamu nanti ya." Tania menyelesaikan kalimatnya sembari menyusun semua barang yang sudah ia jelaskan ke dalam sebuah tas berukuran sedang.

Bryan dan Joon Young sudah mematung. Sementara Davina langsung memeluk tantenya dengan haru.

"Aaaaaa.... Makasi sayangnya aku, cintanya aku... Segalanya aku... Aduh.... ", cup cup cup.. Ia membombardir pipi mulus Tania dengan kecupannya. Sementara satu bulir air mata sudah lolos dari sana.

"Ayo yeobo kita pulang...", serunya.

"Jigeum? ", kaget Joon Young.

"Eoh.. Jigeum... ", balasnya sambil mencium lama kening Davina. " Jaga diri baik-baik ya nak. Tante ngga bisa anter, tante sibuk banget. Maaf... ".

Tanpa menunggu jawaban Davina yang masih bingung dan mematung, Tania membawa kembali semua rombongannya dan keluar dari pekarangan rumah Bryan tanpa banyak bicara. Joon Young tahu istrinya sedang terluka dan cemas, tapi ia juga tidak cukup egois untuk menahan keinginan Davina.

"Semua akan baik-baik aja sayang, trust me...".

.

.

.

TBC... 🍁

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!