Bab 15

Sedikitpun Umar tidak mau melepaskan pelukan pada kaki Firman. Ia tidak lah peduli pada petugas yang berusaha membujuknya. Tangan kecil itu masih kuat memeluk kaki Firman sambil menjerit-jerit,  hingga celana jeans Firman yang tebal basah oleh air mata bocah itu.

Firman memandang Aisyah yang tersenyum kecil padanya. Ia tidak enak hati karena sudah lama berada di sini bersama dokter muda itu.

"Sebaiknya bang Firman tidurkan dulu, setelah itu baru antarkan saya pulang." Dokter Aisyah memberi saran.

Firman mengangguk, lalu tubuh Umar di raih kedalam gendongan.

"Hikz..hikz..hikz." Terisak-isak Umar menangis karna takut di tinggal lagi. Ia tidak mau jauh dari Firman.

"Sssst...... Sudah, jangan nangis lagi. Ayah tidak pergi kemana-mana." Semakin sayu hati Firman memandang wajah Umar. Alunan nafas si kecil yang memburu dapat di rasakannya.

"Yayah, ooong. Kemalin Yayah pelgi tinggal adik cini. Hikz..hikz..hikzz." Ingus dan air mata yang mengalir di kesat dengan tangan sendiri.

"Sssshh, sudah nangisnya. Sekarang kan ayah di sini." Firman menggunakan sebelah tangannya mengesat air mata dan membuang ingus si kecil.

Dokter Aisyah yang menyaksikan pemandangan haru tersebut, merasa bersalah karna telah memberi usul pada Firman agar membuat laporan ke polisi dan meninggalkan Umar di panti ini.

Tapi walau bagaimanapun, ini untuk kebaikan Umar juga. Baik Firman atau pun dokter Aisyah sendiri tidak ada hak menjaga Umar, kecuali orang tua kandun si kecil tidak di temukan.

Firman berjalan keluar dari ruangan sambil menggendong Umar. Punggung bocah itu di usap penuh kasih. Semakin lama, tangis Umar berangsur reda.

Angin menjelang senja mengeringkan sisa tangis di wajah si kecil. Baju kemeja yang di pakai Firman masih di genggam kuat oleh tangan si kecil karna takut di tinggal pergi.

"Nanti kalau ayah sudah mendapatkan pekerjaan yang layak, ayah akan bawa adik pergi dari sini," bisik Firman di sebelah telinga si kecil. Kemudian pipi yang masih lembab terkena air mata itu di kecup, sebelum bibirnya berlabuh di ubun-ubun bocah itu.

Umar diam dalam dekapan Firman. Yang ia tahu, lelaki yang sedang menggendongnya ini adalah ayahnya. Ia merasa terlindungi. Tidak seperti saat berada dengan orang-orang asing di panti asuhan ini. Walau apapun usaha pengasuh anak di panti ini, Umar masih takut. Hati kecil itu takut dengan wajah-wajah lain selain wajah Firman.

Hembusan angin sepoi-sepoi di halaman panti di tambah rasa nyaman dalam gendongan sang ayah, membuat sepasang mata kecil itu semakin redup, hingga akhirnya tertutup di iringi dengkuran halus.

Sedikitpun dokter Aisyah tidak melepaskan matanya dari memandang Firman yang masih berdiri di luar sambil memandang langit yang kemerahan.

Perlahan dokter Aisyah mendekati lelaki yang pernah mengisi relung hatinya. Mungkin sampai sekarang pun masih sama. "Sudah tidur anak ayah."

Firman menoleh ke arah dokter muda berselendang abu-abu itu. Bibirnya juga merekahkan senyum kecil. "Aisyah, boleh saya minta tolong sesuatu?"

"Ya," balas dokter Aisyah.

"Besok, kalau Aisyah ada waktu luang, tolong datanglah kesini. Umar sepertinya juga rindu dengan Aisyah," pinta Firman. Ia tahu, Umar haus akan kasih sayang. Panti ini tidak lah membuat si kecil nyaman. Firman tahu hal itu. Rasanya ia ingin membawa si kecil pulang bersamanya hari ini. Karna rasa sayangnya pada si kecil sudah seperti anak kandung sendiri.

"Kalau bang Firman sendiri, besok ke sini lagi?" Kini Aisyah telah berdiri di samping Firman, ikut memandang langit senja yang kemerahan.

"Saya tidak bisa janji karna ada pekerjaan terakhir yang harus saya kerjakan di tempat lama. Kalau saya tidak datang, Aisyah datanglah sendiri kesini. Paling tidak Umar dapat melihat wajah yang dia kenal di sini." Masih terbayang oleh Firman ketika datang tadi. Tangis kerinduan si kecil masih jelas di mata.

"Insyaallah, kalau sempat saya datang," balas dokter Aisyah. Wajah Umar yang bersandar pada bahu Firman di elus lembut. Sama dengan Firman, sekarang Aisyah juga merasa sayang dengan si kecil.

***

Nia menyandarkan punggung sambil melipat tangan di dada. Di lihatnya pria paruh baya di depannya yang belum juga selesai membaca surat kabar harian walaupun sekarang sudah larut malam.

"Pa," panggil Nia.

Pria paruh baya itu berdehem saja tanpa memperdulikan keberadaan anak gadisnya.

"Pa, menurut Nia, Firman tidak terlibat dalam kasus ini." Kursi yang berhadapan dengan sang papa menjadi tempat Nia melabuhkan duduk.

Hari sudah larut malam, semua penghuni rumah sudah tidur. Hanya mereka berdua saja yang masih terjaga.

"Teruskan saja berhubungan dengan dia, sampai kita mendapat petunjuk," balas Iptu Darmalis.

"Tapi, Pa. Seharian tadi Nia sudah mengokuti dia. Tidak ada gerak-geriknya yang mencurigakan, dia hanya pergi kerumah seorang wanita setalah itu mereka pergi ke panti asuhan. Itu saja yang dia lakukan seharian ini." Nia menyampaikan laporannya. Seharian ini mengintai Firman, tapi tidak ada gerak-gerik Firman yang mencurigakan.

"Bagus, awasi kemana saja dia pergi."

"Tapi sampai kapan, Pa. Nia malas melayani dia, seperti Nia ini wanita gatal saja, setiap hari harus menelpon dia. Bersayang-sayang. Ishk, Nia geli lah, Pa," keluh Nia. Dari awal gadis itu sudah menolak saat sang papa yang merupakan atasannya sendiri memerintahkan agar ia menyamar menjadi mahasiswi di sebuah universitas. Peran itu berbeda jauh dengan kepribadian Nia yang tegas, tapi demi karirnya hal itu tetap di lakukan. Menjadi gadis manja, ceria dan juga berpenampilan kekinian saat berjumpa dengan Firman.

"Nia, kamu harus bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi. Tanyakan rumah dia dimana atau ajak sekali menemui keluarganya," balas Iptu Darmalis. Surat kabar pagi tadi di tutup. Kini ia fokus bicara dengan putrinya.

Sejak di pindahkan ke Setras Narkotika. Nia terpaksa menuruti perintah atasannya yang merupakan papanya sendiri.

"Nia tidak yakin kalau Firman seorang pengedar." Nia memberikan pendapatnya. Dimata gadis itu, Firman sama dengan lelaki lain, hidup di kota dengan pekerjaan tak menentu. Terkadang jadi kuli bangunan, terkadang jadi kuli panggul, terkadang juga jadi sopir travel. Begitulah cerita Firman padanya.

"Nia, kita tidak ada bukti tentang King Cobra. Hanya Firman satu-satunya yang bisa kita gunakan untuk melacak keberadaan King Cobra." tegas Iptu Darmalis.

"Tapi, Pa. Nia lihat Firman itu biasa saja. Gaya kehidupannya tidak seperti para pengedar narkoba lainya. Tes Urine dia juga negatif," balas Nia Sislani. Ia tidak ingin Firman benar-benar jatuh hati padanya. Cukup beberapa minggu belakangan ini saja Firman mengajakmya pergi keluar. Dan juga setiap malam menerima telpon pria yang baru di kenalnya itu dan bersayang-sayang.

"Nia, kamu itu tidak tahu. Sebagian pengedar ada yang hanya menjual barang saja, tanpa pernah mencoba sama sekali barang haram itu," balas Iptu Darmalis. Wajah putrinya dipandang serius.

"Dari petunjuk, Firman itu pernah beberapa kali berada di lokasi target sasaran kita. Tapi kita belum cukup bukti untuk menangkap dia. Teruskan saja rencana ini dan coba mengenalnya lebih dalam lagi. Papa tidak ingin hasil penyelidikan kita ini akan sia-sia. Bulan kemarin saja kita kembali menerima laporan kalau ada sindikat yang mengirim narkoba dari Thailand melalui jalur laut," tambah Iptu Darmalis.

"Apa Papa ingin mengatakan kalau ini ada hubungannya dengan King Cobra?" tebak Nia.

"Ya," sahut Iptu Darmalis.

"Itu hanya dugaan Papa saja. Bisa saja para mafia lain yang melakukanya. Lagian Nia juga tidak yakin King Cobra itu ada."

Iptu Darmalis berdecak mendengar jawaban putrinya. "Dikarenakan itulah kamu perlu menyelidiki Firman. Papa yakin kita akan berhasil meringkus King Cobra. BNN dan satuan setresnarkotika terus bekerja sama memberantas para mafia yang masih aktif berkeliaran bebas di kota ini. Pasukan kita juga harus bertanggungjawab untuk mengamankan daerah ini dari barang-barang haram tersebut. Jangan biarkan mereka bebas berkeliaran merusak generasi penerus negri tercinta ini."

"Baiklah, Pa," balas Nia beserta melepaskan keluhan. Lalu gadis itu mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi WhatsApp.

Di lihat pesan-pesan dari Firman yang belum di baca. Sepertinya Firman benar-benar sudah jatuh cinta pada dirinya. Photo profil nama kontak Firman yang telah berubah dibuka. Sebuah foto Firman bersama seorang anak kecil di pandang Nia.

'Pasti foto ini diambil oleh gadis yang bersamanya siang tadi.'

Nia menerka dalam hati, dari pakaian Firman dan pakaian anak kecil yang bersamanya seharian ini, Nia yakin foto tersebut diambil siang tadi saat berada di panti asuhan.

'Kalau dia seorang pengedar, bagaimana bisa beberapa hari ini dia menjaga anak kecil itu?'

Pertanyaan itu terlintas begitu saja di kepala Nia. Ada keraguan di hatinya kalau Firman adalah seorang pengedar yang sedang menjadi target operasinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!