"Kalau begitu biar aku saja yang membunuh kau, bodoh!" Seketika kerah baju yang di pakai Firman di cengkram kuat oleh Jack. Walau ia tahu dirinya bukanlah lawan Firman. Tapi resiko itu nekat diambilnya untuk menyadarkan sahabatnya dari mimpi yang tidak akan pernah terwujud.
Jack dan Firman bergabung dengan King Cobra sudah 8 tahun. Banyak rahasia yang mereka ketahui, seluk beluk dan strategi King Cobra menyelinapkan barang-barang haram ke tanah air ini. Disebabkan itulah sangat mustahil Togar sebagai pemimpin King Cobra membiarkan anak buahnya bebas begitu saja. Bagai pesugihan, setiap anggota yang akan keluar akan mati. Baik di tangan Togar sendiri atau pun di tangan anggotanya yang lain.
"Lepas Jack! Aku tidak mau ribut dengan kau!" Gigi geraham Firman sudah saling bergelatuk.
"Tapi aku ingin ribut dengan kau! Biar kau sadar!" balas Jack tanpa rasa takut.
"Baiklah." Firman lansung memukul tangan Jack yang mencengkram kerah bajunya, hingga tangan Jack terlepas dan mengaduh kesakitan. "Jack, jangan paksa aku! Aku tidak mau ribut dengan kau. Tolong mengerti."
Bugh!
Bukannya takut dengan peringatan sahabatnya, Jack malah menambah lagi satu pukulan ke wajah Firman. "Kau yang tidak mengerti, Man!"
Malam menjadi saksi keributan mereka. Pukulan yang di layangkan Jack membuat kepala Firman terteleng kesamping. Mata Jack berkaca. Tubuhnya bergetar. Pukulan yang di layangkannya pada Firman bagai memukul dirinya sendiri. Hatinya perih menyakiti sahabatnya.
"Kau yang tidak paham, Man. Kau akan mati kalau keluar dari King Cobra. Aku peduli dengan kau, Man! Aku sayang kau!" teriak Jack sekuat hati. Suaranya bergema di kamar itu.
Firman menoleh sesaat pada Umar yang masih tidur nyenyak diatas ranjang. "Aku juga sayang kau Jack. Aku juga ingin kau keluar dari King Cobra. Aku ingin kau ada masadepan sebelum terlambat. Sebelum polisi menangkap kita dan pengadilan mungkin akan memutuskan hukuman mati untuk kita berdua."
Jack berdecak lidah. "Berhentilah bermimpi, Man! Kau kira keluar dari King Cobra semudah membalikkan telapak tangan? Tidak, Man. Di depan mataku sendiri Togar membunuh mereka, Man!" Tanpa sadar, cairan bening mengalir menuruni pipi Jack. Air mata itu dibiarkan saja mengalir. Jack menatap Firman tanpa berkedip.
"Heisk! Lap air mata kau itu, jijik aku melihatnya," sinis Firman."Sekarang antarkan aku. Kita habiskan stock barang kita malam ini."
"Kenapa susah sekali bicara dengan kau, Man. Aku tidak ingin kau mati!" teriakan Jack menghentikan langkah Firman. Ia kembali berjalan ke arah Jack dan memegang kedua belah bahu sahabatnya.
"Aku tidak akan mati, Jack. Akan kupastikan kau juga selamat. Percayalah, kita pasti bisa keluar dari dunia hitam ini. Tolong, percaya padaku Jack." Firman meyakinkan Jack. Hal ini memang sudah dipikirkannya sejak tumbuh rasa sayang pada Umar. Ia ingin hidup tenang bersama anak angkatnya kelak.
"Sudah, jangan cengeng. Kau itu bukan banci. Kita pergi sekarang." Pundak Jack di tepuk Firman beberapa kali, lalu Firman mengambil jaket kulitnya yang tergantung di balik pintu.
***
Malam semakin larut. Firman mengajak Jack pulang setelah menghabiskan semua paket haram mereka.
Diskotik dan tempat hiburan malam, di sanalah Firman dan Jack sering bertransaksi. Terkadang mereka juga mengantar paket tersebut lansung ke pelanggan.
Firman mulai cemas karna mobil yang di kemudikan Jack terasa oleng, terkadang menepi hingga ke bahu jalan, terkadang juga melaju di tengah jalan. Untung saja keadaan jalan malam itu sepi, tidak ada kendaraan lain saat mobil melaju di tengah jalan.
"Jack, kau kenapa?" tegur Firman. Sejak tadi di perhatikannya Jack tak henti menguap sepanjang jalan.
"Aku ngantuk banget, Man," jawab Jack sambil menguap lebar.
"Kalau kau mengantuk, berhentilah dulu." Firman memberi saran. Ia tahu kecelakaan sering terjadi di sebabkan pengemudi yang mengantuk.
Honda Accord Metalic itu akhirnya berhenti di bahu jalan. Jack tidak kuat lagi menahan kantuk.
"Man, kai gantikan aku menyetir. Mataku tidak bisa lagi diajak kompromi," keluh Jack sambil menguap. Berair matanya karna tidak henti menguap.
Firman menggeleng. "Aku tidak bisa, Jack."
"Ayo lah, Man," desak Jack. Ia tahu selama ini Firman selalu menolak mengemudi di waktu malam tanpa pernah memberi alasan yang jelas.
"Kau tidur saja dulu. Nanti aku bangunkan, setelah itu kita lanjutkan lagi perjalanan. Aku benar-benar tidak bisa menyetir malam," balas Firman. Bukan dirinya rabun malam hanya saja ada alasan lain yang membuat Firman tidak bisa mengemudi saat malam hari.
"Ayo lah, Man. Aku tau kau bisa. Sudah, ayo tukar tempat." Jack segera turun dari mobil dan berjalan ke samping pintu sebelah Firman. "Man, buruan. Kau tidak kasihan dengan anak kau. Di rumah tidak ada siapa-siapa, kalau dia bangun dan melihat tidak ada orang? Kau tahu sendiri, bocah itu tidak pernah bisa jauh dari kau," omel Jack.
Firman masih diam membatu. Jack yang telah membuka pintu mobil di sebelahnya di biarkan saja berdiri di luar.
Mata di pejamkan erat sebelum pindah duduk ke bangku kemudi. Stir mobil berlogo 'H' di pandang lama. Kemudian Firman menoleh pada Jack yang telah duduk di sebelahnya.
"Cepatlah, Man. Bensin mobil kita tidak banyak. Paling cukup ke Pertamina depan," desak Jack. Jaket Firman di balutkan ke badannya. Hawa dingin menjelang subuh mulai terasa menusuk tulang.
Firman mengangguk pelan. Rem tangan di lepaskan, pedal gas di injak pelan. Perasaannya mulai tidak menentu.
Mobil mulai berjalan pelan membelah malam.
Firman bisa merasakan alunan nafasnya sendiri yang tidak teratur. Sesekali ia menoleh pada Jack yang telah menurunkan kursi dan berbaring di sana.
Firman mengatur nafas yang semakin tak teratur. Selama 8 tahun ini ia tidak pernah mengemudi di malam hari.
Tiba-tiba Firman merasa jalan yang di laluinya berubah. Ia melihat kiri dan kanan jalan.
Benar, ini jalan yang pernah ia lalu dulu.
"Kenapa aku bisa di sini?" bisik hati Firman.
Gas mobil masih di injak, matanya masih memperhatikan jalan yang tidak asing baginya.
"Awas, Man!"
Streeett!
Braaaak!
"Kau kenapa, Man? Untung aku bangun dan masih sempat menekan rem. Kalau tidak sudah mati kita masuk jurang!" omel Jack memarahi Firman. Jantungnya juga berdetak kencang. Pandangannya tertuju pada besi pengaman jalan yang telah bengkok setelah di tabrak mobil mereka.
Jack menghela nafas. Kemudian beralih memandang Firman yang masih diam mematung. Helaan dan hembusan nafas sahabatnya bisa di dengar Jack.
"Man," panggil Jack.
Tidak ada respon, Firman masih diam mematung.
"Tidak apa-apa, aku tidak marah. Mobil kita hanya penyok sedikit saja." Jack menggaruk kepala.
'Apa tadi suaraku begitu keras membentak dia?'
"Man?" panggil Jack sekali lagi, namun Firman masih tidak merespon apa-apa.
Lalu Jack menghidupkan lampu untuk melihat wajah Firman. "Astagfirullah, Man! Kau tidak apa-apakan?" Bukan main kaget Jack melihat cairan merah di bibir Firman.
"Man, jawab aku. Kau baik-baik saja kan?" Jack menggoyangkan tubuh sahabatnya yang masih tidak merespon apa-apa.
Firman tersentak, lalu menggeleng.
"Jack, a-aku sudah bilang, a-aku tidak bisa menyetir malam," jawab Firman dengan suara yang bergetar.
"Ya, ya. Aku tau. Sudah, jangan di pikirkan, mobil kita hanya rusak sedikit saja. Sekarang yang terpenting kau dan aku selamat. Sorry, tadi aku membentak kau. Kau baik-baik saja, kan?" Lega sedikit hati Jack mendengar suara Firman.
"Tidak Jack. Aku tidak baik-baik saja." Suara Firman masih bergetar. Air matanya juga mengalir begitu saja. Bayangan 8 tahun lalu masih belum bisa ia lupakan.
30 menit setelah kecelakaan terjadi, mobil polantas dan ambulan terdengar mengaung. Firman dan Jack pun keluar dari mobil ketika iringan itu berhenti di belakang mobil mereka.
"Selamat malam, pak," ucap salah satu polantas.
"Ya selamat malam juga, pak," jawab Jack santai.
Sedangkan Firman di bawa oleh pihak medis untuk mendapatkan perawatan di dalam mobil ambulan.
"Boleh tunjukkan SIM dan surat-surat kendaraan," pinta polisi seperti biasa.
"Ya bisa." Jack mengeluarkan apa yang di minta polisi.
Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi tentang penyebab kecelakaan terjadi, Jack mendekati Firman yang juga sudah selesai diobati tenaga medis.
"Gimana luka teman saya dok?" tanya Jack.
"Bibirnya luka, mungkin di sebabkan terbentur oleh benda keras. Tapi tidak serius kok. Lukanya juga sudah saya jahit," jawab dokter. Kemudian alat-alat medis kembali di masukkan ke tempatnya.
"Terimakasih, dok," balas Jack. Kemudian ia menoleh pada Firman yang masih termenung. "Man, tadi polisi bilang kita harus membuat laporan dan membayar penghalang jalan yang bengkok itu besok. Tapi kau tidak usah khawatir, kita bisa claim asuransi."
Firman masih bergelut dengan trauma masa lalunya. Walaupun sudah 8 tahun berlalu, tapi ilusi yang di yang di di laluunya tadi seperti nyata. Firman merasa sedang melewati jalan di rumahnya, lurus tanpa ada belokan.
"Man." Jack menepuk pundak sahabatnya. "Ini bukan salah kau. Jangan di pikirkan lagi," bujuk Jack. Menyesal juga ia membentak Firman tadi.
"Jack, aku tidak mau lagi membawa mobil. Aku takut Jack, aku takut," balas Firman.
"Iya, iya. Setelah ini aku tidak akan memintamu menyetir lagi. Sudah, ayo kita pulang," bujuk Jack.
Firman pun berdiri mengikuti Jack masuk ke mobil.
Honda Accord itu kembali dikemudikan Jack. Hilang sudah rasa kantuknya dikarenakan kejadian tadi. Kini, malah Firman yang tidur di sebelah Jack.
Walau sudah berteman lama, tapi Jack tidak pernah tau trauma apa yang pernah di lalui sahabatnya. Firman pun tidak pernah bercerita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments